Iklan Capres dan Pemiskinan Politik

 

dok / ist

Dalam iklan politik capres di media berlangsung pembongkaran rasionalitas dan logika publik.

Ingar-bingar panggung politik Tanah Air terus bergemuruh seiring tahapan proses politik menuju Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Derasnya iklan politik calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang membanjiri layar media, khususnya televisi, semakin menggenapi fakta itu.

Hubungan simbolik dengan konstituen yang sebelumnya tercipta karena ikatan ideologis dan loyalitas tradisional, kini tergantikan karisma dan popularitas figur yang dibangun media.

Media menjadi modal sosial paling efektif membangun citra visual kandidat dan merebut ruang "diskursus". Visualisasi citra kandidat secara massif ini diharapkan mampu membangkitkan ingatan kolektif pemilih sehingga akan memberikan dukungan suara saat momentum elektorat itu digelar.

Kenyataan ini menggambarkan betapa media memainkan peran penting dalam struktur politik. Keduanya memiliki "ikatan darah", meski terkadang tak searah. Bahkan, dalam relasi itu sejumlah media tampak menjadi corong kepentingan politik tertentu. Kerja media seolah menjelma menjadi kerja kampanye politik.

Akibatnya, fungsi media bukan lagi alat kontrol yang independen dan netral terhadap proses politik. Sebaliknya, eksistensi media kini justru dikontrol politik. Kondisi ini tak bisa dilepaskan dari kedekatan antara kandidat capres atau cawapres dengan pemilik media yang juga mempunyai kepentingan politik-ekonomi.

Ada juga campur tangan juragan media yang berafiliasi dengan partai politik, bahkan malah menjadi kandidat politiknya. Pola dan struktur kepemilikan media serta relasinya dengan politik ini memahamkan kita, betapa media tidaklah berdiri otonom dan netral.

Simulasi Politik

Dalam eksperimen demokrasi saat ini, setiap kandidat atau partai politik (parpol) memang memiliki kesempatan yang sama untuk memanfaatkan modal sosial mereka, seperti media, teknologi informasi, dan komunikasi dalam berkompetisi.

Namun, pemanfaatan modal sosial (teknologi media) untuk beriklan sejauh ini justru menciptakan kultur simulasi politik. Kerja politik digiring berjalan dalam sebuah realitas maya (virtual reality), ketika citra lebih mendominasi daripada fakta, kuantitas lebih penting dari kualitas, dan persepsi lebih utama dari realitas.

Terbukti, kekuatan iklan politik capres di media bukan terletak pada gagasan, program, atau soliditas informasi kebijakan yang terkait langsung dengan kebutuhan dasar

rakyat. Kekuatan itu lebih kepada figur personal kandidat yang akan dijual.

Isu-isu patronase dan primordialisme kerap diketengahkan untuk membangkitkan respons emosional publik. Padahal, penggunaan argumen emosional (dalam beriklan) itu, menurut Franklyn Haiman (1958), cenderung

direkayasa mengarahkan publik menyingkirkan alasan logis.

Oleh karena itu, sesungguhnya dalam iklan politik capres di media berlangsung pembongkaran rasionalitas dan logika publik secara gigantik (dahsyat). Apalagi, kultur masyarakat kita masih berbasis visual. Budaya menonton lebih kuat ketimbang membaca. Jadi, publik terlihat pasif dan hanya menjadi konsumen tunakuasa di relasi media dan politik.

Dengan beriklan di media, publik dirancang memasuki wilayah—dalam istilah Jean Baudrillard (1981), reality by proxy—ketidakmampuan kesadaran dalam membedakan antara realitas dan fantasi. Bahkan, publik didorong memilih berdasarkan emosi daripada rasionalitas atas informasi yang disampaikan iklan politik.

Situasi ini jelas mendistorsi pertukaran gagasan, menampikan perdebatan ideologi dan mengabaikan diskusi nilai tentang prioritas, yang pada gilirannya akan membunuh partisipasi publik. Inilah gejala pemiskinan politik, perendahan derajat dan pendangkalan proses politik dalam menjawab tuntutan orientasi pemilu yang berkualitas dan demokrasi yang lebih bermakna.

Keberlimpahan informasi yang disajikan iklan politik di media menjadikan diskursus politik miskin pengetahuan. Hal ini menyempit ke dalam pragmatisme kepentingan yang berorientasi jangka pendek demi mendapat dukungan.

Ruang publik yang terbuka, otonom, dan bebas juga tak luput tereduksi menjadi pasar yang diperebutkan untuk kepentingan elektorat. Makna demokrasi pun terlucuti sebatas hitung-hitungan kepala tanpa memperhitungkan isi kepala (aspirasi publik).

Harus Emansipatif

Harus diakui, publik sudah jenuh dengan visualisasi politik citra kemasan media yang penuh kepalsuan. Iklan politik semacam itu diisi wajah-wajah kemunafikan yang lihai menguantifikasi harapan tanpa korelasi dengan kualitas kenyataan.

Iklan sejatinya murni wilayah komersial yang di dalamnya sarat pembujukan (persuading) agar penonton menerima apa yang ditawarkan. Ketika hal itu ditarik ke ranah politik, harus ada keterbukaan, kejujuran, kebenaran informasi, serta penghormatan terhadap kepentingan publik.

Karena itu, politik menurut Hannah Arendt (1958) merupakan seni mengabadikan diri dengan menjamin kebebasan setiap individu dalam mengupayakan kesejahteraan bersama. Pemilu adalah salah satu lokusnya.

Untuk itu, rakyat selayaknya harus dipahami sebagai subjek pemilu. Modernisasi iklan capres lewat media sebagai gejala umum politik pencitraan harus emansipatif. Artinya, konstruksi iklan capres tersebut harus bertumpu pada penggalian nalar, perspektif, persepsi, dan kualitas argumentasi pemilih dalam memanfaatkan suara saat pemilu serta harapan yang melekat dalamnya.Pembuatan iklan capres

di media sedapat mungkin menyentuh aspirasi dan segala macam persoalan atau isu yang relevan dengan kebutuhan publik. Upaya inilah yang dipandang Jurgen Habermas (1995) sebagai syarat lahirnya demokrasi deliberatif, ketika pemilu merupakan hasil pemakaian publik atas hak-hak komunikatif itu terus-menerus.

Kini, publik harus mendapat akses informasi dalam spektrum politik yang lebih luas, akurat, tidak ambigu, dan emosional, bukan propaganda, agitasi atau klaim kebenaran atas informasi palsu yang dibungkus secara verbal maupun visual lewat iklan. Mereka harus benar-benar terinformasikan dan terdorong untuk beralasan logis dalam menjatuhkan pilihannya kelak. Inilah dasar terjadinya transformasi politik yang lebih bermakna bagi keadaban publik.

*Penulis adalah analis politik pada program pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.