Indonesia Gagal "Move On" Korupsi

 

Para koruptor berupaya mengamputasi KPK dari berbagai sisi.

Negeri ini pernah sepakat, korupsi adalah kejahatan luar biasa, seluar biasa terorisme, narkotika, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Seiring berjalannya waktu, kesepakatan itu berubah.

Perdebatan revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) adalah cermin kesepakatan yang berubah itu. Sebagian unsur korupsi masuk kategori pidana umum, misalnya, penyuapan.

Padahal, dalam Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), pelaku penyuapan—yang memberi, menerima, yang berniat memberi, dan menerima—terancam hukuman tertinggi. Jika revisi kedua kitab tersebut disahkan, tak ada lagi yang takut suap-menyuap.

Ada pula soal penyadapan. Senjata Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini bakal ditarik jika revisi itu diteruskan untuk disahkan. Penyadapan juga penyitaan, strategi memiskinkan koruptor pada awal penyidikan, harus melalui persetujuan hakim komisaris (hakim pendahuluan). Ini pola birokrasi yang menghambat kecepatan pemberantasan korupsi.

Ketua KPK, Abraham Samad, sangat terpukul mengetahui hal yang terselubung ini. Sampai-sampai ia mengatakan, KPK lebih baik dibubarkan jika korupsi dianggap bukan kejahatan luar biasa. Itu ditambah dengan kewenangan penyadapan dan penyitaan yang dipersulit.

"Sifat extraordinary crime menjadi hilang kalau dimasukkan ke buku II KUHP. Padahal, ini sama seperti narkotika, terorisme, dan kejahatan kemanusiaan. Oleh karena itu, karena hilang sifat extraordinary-nya, konsekuensinya lembaga-lembaga yang punya kompetensi, seperti KPK, PPATK, dan BNN menjadi tidak relevan atau bisa dikatakan bubar bila kejahatan luar biasa itu dipaksakan masuk ke buku II," ia menegaskan.

Koruptor Orang Nekat

Wakil Ketua KPK, Zulkarnain mengatakan, Indonesia mengalami kemunduran jika korupsi dimasukkan kategori pidana umum. Dengan indeks prestasi yang masih berada di peringkat bawah, tidak wajar mengembalikan korupsi ke pidana umum.

Korupsi saat ini makin canggih, dilakukan orang-orang yang luar biasa nekatnya. Sangat tidak mungkin ditangani dengan cara yang biasa. UU Tipikor pada dasarnya, menurut Zulkarnain, tidak boleh diotak-atik.

"Kita ketahui, tipikor merupakan hal yang sangat vital. Kalau dimasukkan ke KUHP sebagai tindak pidana umum, berarti kita mundur dari sisi perundang-undangan. Karena dulu, bagian tipikor dari KUHP dikeluarkan menjadi tindak pidana khusus. Jadi, tipikor seperti suap-menyuap, hukumannya diperberat, cakupannya diperluas, pembuktiannya diperkuat. Ada pembuktian terbalik dan terbatas. Kalau dikembalikan ke KUHP, berarti mundur dari sisi perundang-undangan," ia menjelaskan.

Tentu tidak ada yang ingin berjalan mundur di saat semua negara move on dari keterpurukannya gara-gara korupsi. Sia-sialah ratifikasi UU internasional tentang pemberantasan korupsi (UNCAC).

Zulkarnain menyatakan, sebenarnya KPK diserang dari berbagai arah, tapi tidak dari depan. "Memang tidak dilemahkan dari depan, berarti UU KPK ini dicabut, Tapi, lembaga ini diserang dari belakang, samping, yang tanpa disadari bisa melemahkan KPK," tutur mantan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Timur ini.

Politik 2014

Perdebatan yang muncul jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 adalah sinyalemen kuat ada upaya menyelamatkan pihak-pihak tertentu agar bisa melaju terus sebagai penguasa. KPK pun menyadari hal ini.

Abraham Samad memilih melihat itu dari jauh sembari tetap fokus memberantas korupsi. Tidak masalah, katanya, jika lembaga yang dipimpinnya diamputasi pihak-pihak tersebut hingga harus berjalan hanya dengan satu kaki.

"Kami tetap on the track, sebagaimana mestinya. Kalau ada orang yang berkepentingan memotong sebelah kaki KPK sehingga larinya tertatih, insyallah kami tetap berjalan dengan kaki sebelah," ujar Abraham.

Pemerintah, dalam hal ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), diyakini mengambil langkah konstruktif. Abraham percaya, Presiden SBY mendukung pemberantasan korupsi, meski partai yang dipimpinnya, Partai Demokrat, adalah penyumbang terbesar koruptor di negeri ini.

Saat ini, KPK hanya menunggu keputusan pemerintah dan DPR. Baik Abraham maupun Zulkarnain berharap, pembahasan ditunda, paling tidak hingga dilantiknya anggota DPR yang baru untuk periode selanjutnya.

Harapan ini bukan karena takut kewenangannya dipangkas. Lebih dari itu, kepentingan umatlah yang dipikirkannya. Negeri ini masih terpuruk karena korupsi. Kemiskinan terjadi di pelosok negeri oleh kejahatan moral oleh petinggi.

Kalaupun seruan mereka tidak dihiraukan, hanya pasrah yang bisa KPK lakukan. Sebagai lembaga pelaksana UU, KPK diharuskan taat. "Ini tidak mudah," ujar Zulkarnain.

Perubahan dalam KUHAP dan KUHP akan memantik perubahan di UU Tipikor. Perubahan ini harus lagi diimplementasikan di seluruh lembaga penegak hukum dari pusat ke daerah, dari jajaran tertinggi ke terendah. Biaya dan tenaga yang diperlukan tidak sedikit. Jika perubahan KUHAP dan KUHP berasas kemajuan penegakan hukum, tentu tidak perlu dipermasalahkan.

Oleh karena itu, DPR sebaiknya berpikir ulang dan menelaah lebih dalam pada masa-masa yang cukup ini. Pembahasan saat ini hanya menimbulkan mudarat karena distraksi kegiatan jelang Pemilu 2014 tidak bisa dielakkan.

"Sekarang, DPR sibuk pemilu. Kehadiran-kehadiran juga sudah sangat berkurang. Dari situ gambarannya kalau tidak serius dan menggunakan pakar. Secara substansi, tidak dapat hasil yang baik," Zulkarnain memaparkan.


Sumber : Sinar Harapan