Monday, February 24, 2014

[media-jabar] Masyarakat Pasca-Kolonial dan Pengelolaan TV ala Orba

 

Masyarakat Pasca-Kolonial dan Pengelolaan TV ala Orba
Oleh: Holy Rafika
Dalam tulisan berjudul "Penjajah dan Yang Terjajah Dalam Tayangan Televisi Indonesia" di Remotivi, saya sudah menjelaskan bagaimana ruang kultural yang terjajah berusaha diubah sesuai ruang kultural penjajah. Namun, perubahan itu tak berarti bahwa ruang kultural satu menggantikan ruang kultural yang lain. Dua ruang itu sama-sama berjalan hingga sekarang, saling berkonflik satu sama lain, dan membentuk hibriditas[1]dalam diri masyarakat bekas negara jajahan.  Apa hubungannya kemudian hibriditas itu dengan televisi, juga Orde Baru?
Hibriditas Kita Membaca Media
Media bukan barang netral. Media adalah fenomena historis. Namun bukan hanya media yang punya sejarah,  tetapi juga cara pandang masyarakat terhadap media. Hal penting dari cara pandang terjajah yang coba disehatkan penjajah adalah cara pandang terhadap teks (tulisan), sebuah bentuk mula media di Hindia. Pada 1867, Van Der Chijs melaporkan bagaimana pribumi Hindia "membaca" teks:
Penduduk Bumiputera mengenal dua cara membaca; pertama, dengan cara seperti kita, bedanya mereka jarang memahami tujuan resitasi; kedua, membaca dengan cara menyanyikannya (nembang/maca). Mereka hanya menggunakan cara pertama, apabila cara kedua tidak mungkin, karena bagi mereka cara kedua pasti sangat digemari dan betul-betul dirasakan sebagai cara yang benar[2].
Mendaras Alquran juga disinggung Chijs dalam laporannya. Ia menyebut mendaras sebagai pembacaan mekanik[3]. Mendaras Alquran yang merupakan ritual dianggapnya sebagai tindakan yang tak bertujuan untuk mengerti atau memahami arti teks yang sedang dibaca. Chijs menyimpulkan bahwa pembacaan masyarakat pribumi terhadap teks adalah pembacaan yang tak rasional. Cara yang benar menurut pribumi, bukan dengan membaca dalam hati dan kemudian menginterpretasinya, melainkan menyanyikannya.
Penyerapan media oleh pribumi berbeda dengan penyerapan media oleh penjajah. Namun, dalam kacamata penjajah, penyerapan pribumi tersebut didiagnosis sebagai tindak irasional. Membaca tanpa tahu artinya itu perlu disehatkan! Lalu muncullah sekolah, buku dan surat kabar yang menjadi instrumen penjajah melatih pribumi agar dapat "membaca" dengan baik.
Hasilnya, penyerapan media oleh penjajah mulai dilakukan dengan baik oleh pribumi. Pada 1914, DK Ardiwinata menyimpulkan ketidakmampuan masyarakat Sunda dalam menciptakan prosa atau puisi disebabkan masyarakat Sunda tak bisa "membaca", melainkan "menembang". Kesimpulan yang mirip dengan ide dalam laporan Chijs. Katanya, dengan menembang dan bukan membaca, tak ada karangan yang bisa disebut sebagai prosa dalam karya tulis Sunda. Kalaupun ada karangan bebas dari masa lalu adalah "wawacan", yaitu –lagi-lagi: "cerita yang ditembangkan/dilagukan, seperti di Jawa"[4].
 Baca selengkapnya >>> www.remotivi.or.id
--
REMOTIVI
"Hidupkan Televisimu, Hidupkan Pikiranmu"
www.remotivi.or.idTwitter | Facebook


Remotivi adalah sebuah inisiatif warga untuk kerja pemantauan tayangan televisi di Indonesia. Cakupan kerjanya turut meliputi aktivitas pendidikan melek media dan advokasi yang bertujuan (1) mengembangkan tingkat kemelekmediaan masyarakat, (2) menumbuhkan, mengelola, dan merawat sikap kritis masyarakat terhadap televisi, dan (3) mendorong profesionalisme pekerja televisi untuk menghasilkan tayangan yang bermutu, sehat, dan mendidik.

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment