Pendahuluan
Laju perkembangan teknologi informasi dewasa ini, menyebabkan penggunaan fasilitas chatting, facebook, twitter dan
jaringan sosial media lainnya di Internet tidak lagi hanya milik “anak
gaul” saja. Saat ini, tentara yang sedang bertempur di medan perang yang
dilengkapi komputer laptop juga dapat melakukan fasilitas tersebut sebagai bagian dari sistem komando dan kendali (siskodal).
Itulah fakta dari kondisi perang canggih cyber warfare yang dilaksanakan dewasa ini di berbagai belahan dunia. Sementara kegiatan komunikasi melalui fasilitas email, chatting, facebook, twitter dan lainnya, sebenarnya hanyalah visualisasi dari sebagian kecil kemampuan dalam perang cyber warfare.
Cyber warfare (Cyberwar), merupakan perang yang sudah menggunakan jaringan komputer dan Internet atau dunia maya (cyber space) dalam bentuk strategi pertahanan atau penyerangan sistim informasi lawan. Cyber warfare juga dikenal sebagai perang cyber yang mengacu pada penggunaan fasilitas www (world wide web) dan jaringan komputer untuk melakukan perang di dunia maya.
Kegiatan cyber warfare dewasa ini sudah dapat dimasukan dalam kategori perang informasi berskala rendah (low-level information warfare) yang dalam beberapa tahun mendatang mungkin sudah dianggap sebagai peperangan informasi yang sebenarnya (the real information warfare).
Seperti contoh, pada saat perang
Irak-AS, disana diperlihatkan bagaimana informasi telah diekploitasi
sedemikian rupa mulai dari laporan peliputan TV, Radio sampai dengan
penggunaan teknologi sistim informasi dalam cyber warfare untuk
mendukung kepentingan komunikasi antar prajurit serta jalur komando dan
kendali satuan tempur negara-negara koalisi dibawah pimpinan Amerika
Serikat.
Berbagai aksi cyber warfare atau cyber information,
berupa kegiatan disinformasi atau propaganda oleh pasukan koalisi yang
telah terbukti menjadi salah satu faktor peruntuh moril dari pasukan
Irak.
Di dalam konsep cyber warfare, penggunaan
teknologi sistim informasi dimanfaatkan untuk mendukung kepentingan
komunikasi antar prajurit atau jalur komando yang difasilitasi oleh satu
sistem komando kendali militer modern, yaitu sistem NCW (Network Centric Warfare).
Apakah Network Centric Warfare (NCW) itu?
Network Centric Warfare (NCW) merupakan
konsep siskodal operasi militer modern yang mengintegrasikan seluruh
komponen atau elemen militer ke dalam satu jaringan komputer militer NCW berbasis teknologi satelit dan jaringan Internet rahasia militer yang disebut SIPRNet (Secret Internet Protocol Router Network).
Dengan adanya teknologi NCW yang didukung infrastruktur SIPRNet, berbagai komponen atau elemen militer di mandala operasi dapat saling terhubung (get connected) secara on-line system dan real-time, sehingga keberadaan lawan dan kawan dapat saling diketahui melalui visualisasi di layar komputer atau laptop.
Keterhubungan
secara elektronik berlaku mulai dari tataran strategis, taktis
hingga operational dari suatu operasi militer gabungan, mulai
dari para panglima perang di markas komando atau para komandan
pasukan di Puskodal hingga ke unit-unit pasukan tempur di medan
pertempuran. Dengan adanya teknologi Internet SIPRNet serta
penggunaan satelit mata-mata dan satelit GPS, memungkinkan NC
memvisualisasikan seluruh kegiatan operasi militer, memungkinkan NC memvisualisasikan seluruh kegiatan operasi militer gabungan yang sedang berlangsung di medan pertempuran (battle field) ke layar lebar ruang yudha (military operation room), yang mungkin jaraknya terpisahkan ribuan kilometer jauhnya. Maksudnya, pusat komando dapat secara on-line system dan real-time mengendalikan operasi militer yang sedang berlangsung secara jarak jauh (remotely).
Berbagai informasi tempur digital
(video, grafik, peta, suara, data dan sebagainya) yang tersedia terkait
dengan pelaksanaan operasi militer gabungan, tidak hanya dapat di akses
oleh para Pimpinan di markas komando saja, tetapi juga dapat diteruskan
(information sharing) ke seluruh komandan unit pasukan tempur di lapangan.
Tujuan utama dari NCW, dalam lingkup Siskodal, adalah tercapainya keunggulan informasi (information superiority) sehingga dapat membantu Panglima Perang atau Komandan Pasukan mengambil keputusan (decision making) secara tepat, cepat dan akurat guna memenangkan suatu pertempuran (battle).
Namun, konsep NCW hanya dapat
diimplementasikan dengan cara melakukan revisi atau penyesuaian
doktrin operasi militer gabungan terlebih dahulu, sebagai acuan dalam
penyelenggaraan operasi militer gabungan (joint military campaign).
Hal ini dimungkinkan karena doktrin operasi militer selalu bersifat
dinamis menyesuaikan laju perkembangan zaman dan perkembangan lingkungan
global.
Di dalam doktrin operasi militer gabungan, siskodal NCW “mengharuskan” seluruh elemen atau komponen militer beroperasi secara bersama-sama (interoperability) di dalam suatu Joint Task Force Command (JTFC). Sehingga konsep NCW
pada akhirnya akan merubah paradigma militer lama yang menyatakan bahwa
suatu medan pertempuran dapat dimenangkan hanya oleh satu komponen
militer saja.
Tidak banyak diketahui publik, bahwa 5
jam sebelum jam “J”, hari “H”, tanggal 19 Maret 2003, atau sesaat
sebelum pasukan koalisi menginvasi Irak dalam misi Operation Iraqi Freedom, terjadi perubahan rencana operasi militer secara mendadak.
Hal ini bermula ketika pihak intelijen
Amerika secara tiba-tiba menerima laporan intel dari informannya di
Baghdad, yang menyebutkan bahwa dia mengetahui secara pasti lokasi
menginap penguasa Irak Saddam Husein.
Dalam hitungan menit Informasi berharga tersebut sudah masuk ke Markas Komando Gabungan Pasukan Amerika (US Join Task Force Command)
untuk dibahas sekaligus diambil tindakan yang diperlukan. Hasil
keputusan rapat komando adalah perubahan rencana operasi dengan
memerintahkan penyerangan langsung (direct physical attack) terhadap gedung bertingkat yang diyakini tempat menginap Presiden Irak Saddam Husein.
Harapannya, dengan sekali serangan mematikan yang bombastis dapat membunuh Sadam Husein sehingga misi Operation Iraqi Freedom
tidak perlu dilaksanakan. Seluruh informasi tentang gedung termasuk
lantai dan kamar yang menjadi target telah diketahui secara pasti,
termasuk posisi lokasi dan koordinat gedung yang didapat secara akurat
melalui penginderaan satelit mata-mata Amerika.
Menindak lanjuti perubahan rencana tersebut, pusat komando JTFC melalui jalur siskodal NCW via saluran Internet Militer SIPRNet, memerintahkan Komandan Skadron Udara Pembom Siluman (Stealth Fighter) di Maladi Air Force Base - Qatar, untuk segera menerbangkan 2 (dua) Stealth dengan muatan bom JDAM (Joint Direct Attack Munition) yang terkenal sangat akurat karena dipandu Satelit GPS.
Target pengeboman adalah satu gedung
bertingkat di kota Baghdad yang diyakini tempat menginap Sadam Husein.
Perintah lainnya diberikan kepada beberapa Komandan Kapal Perang dan
Kapal Selam Amerika yang sedang beroperasi disekitar perairan teluk
untuk segera meluncurkan sebanyak 40 (empat puluh) rudal penjelajah Tomahawk dengan target yang sama.
Seluruh
kegiatan siskodal serta komunikasi Digital antara markas komando dengan
pesawat Stealth dan Kapal Perang serta Kapal Selam Amerika menggunakan
siskodal NCW via saluran Internet Militer SIPRNet serta satelit GPS
dimana pergerakan bom JDAM dan Rudal Tomahawak di atas wilayah udara
Irak dapat dipantau detik demi detik dari pusat kontrol kontrol NCW di
Washington DC.
Ketika subuh menjelang, seluruh bom JDAM dan rudal Tomahawk
secara seketika dan bersamaan menghantam gedung bertingkat yang menjadi
target tersebut. Dapat dibayangkan, dalam sekejap seluruh gedung
bertingkat hancur luluh berantakan. Memang misi penghancuran (direct attack) yang dipandu oleh siskodal NCW tersebut berhasil dengan sukses dan gemilang.
Ironisnya...Presiden Sadam Husein tidak
jadi menginap di Gedung bertingkat tersebut!. Namun, kisah tersebut di
atas menunjukkan kepada dunia bagaimana Angkatan Bersenjata Amerika
Serikat telah mampu mengaplikasikan siskodal NCW dalam medan tempur sesuai tuntutan doktrin militer terbaru mereka yaitu Doktrin Transformasi Militer.
Doktrin Militer dalam Cyber Warfare
Dalam mengimplementasikan cyber warfare
dalam doktrin militer, berbagai angkatan bersenjata atau militer di
berbagai negara melakukan penyesuaian akan hal tersebut. Angkatan
Bersenjata Amerika mengikutinya dengan membuat Doktrin Transformasi
Militer AB Amerika yang merupakan perubahan atau revisi dari doktrin
militer lama dengan tujuan menghadapi perubahan situasi medan tempur di
abad 21 atau modern warfare.
Doktrin Transformasi Militer ini dicetuskan pertama kali pada tanggal 11 Januari 2001, oleh Donald Rumsfeld selaku US Secretary of Defense, yang menginginkan postur AB Amerika yang lebih efektif, efisien dan modern.
Harapannya, pada perang modern masa
depan AB Amerika tidak perlu mengerahkan pasukan dalam jumlah besar
untuk memenangkan suatu pertempuran, tetapi cukup mengerahkan pasukan
yang lebih sedikit (proporsional) namun lebih efektif dan efisien didukung sistem kodal berbasis NCW yang modern dan saluran Internet Militer SIPRNet.
Di dalam Doktrin Transformasi Militer AB Amerika Serikat terdapat 3 (tiga) kemampuan kunci sebagai tulang punggung, yaitu: Knowledge, Speed and Precision. Pengertian dari Knowledge (IT Based knowledge)
adalah kemampuan untuk mempelajari sekaligus mengimplementasikan
pengetahuan teknologi informasi dan sistem informasi seperti sistem
satelit, sistem GPS, sistem komunikasi digital, sistem jaringan komputer
dan fasilitas Internet kedalam satu sistem komando dan kendali
terintegrasi medan tempur (integrated battle field command & control system). Hal tersebut sudah di aplikasikan AB Amerika dalam teknologi NCW yang didukung infrastruktur Internet rahasia SIPRNet dan satelit militer.
Pengertian Speed (Strategic Speed),
maksudnya kemampuan untuk mengerahkan pasukan dan peralatan militer
Amerika dan koalisinya ke berbagai lokasi yang menjadi target di seluruh
belahan dunia secara cepat (rapidly).
Sedangkan Precision, yang dimaksud adalah kemampuan untuk menghancurkan target operasi militer secara tepat (precisely) guna menghindari korban dari kalangan sipil yang tidak berdosa (non combatant).
Doktrin baru tersebut dapat diimplementasikan terutama dengan terus dikembangkannya bom-bom pintar (smart boms)
oleh AB Amerika. Saat itu Amerika telah berhasil membuat satu jenis bom
tercanggih dan sudah dipergunakan di Irak, bom tersebut bernama bom
JDAM (Joint Direct Attack Munition), dimana sistim kontrol dan kendalinya yang mutakhir dipandu oleh satelit GPS AB Amerika Serikat.
Memang pada saat disampaikan oleh US Secretary of Defence
Donald Rumsfeld di depan Kongres, doktrin NCW tersebut masih berupa
wacana atau teori saja. Namun situasi berubah secara drastis, ketika
Teroris berhasil melakukan serangan bunuh diri menggunakan pesawat sipil
tanggal 11 September 2001 (dikenal dengan istilah 911) ke gedung WTC
dan Markas AB Amerika di Pentagon.
Sehingga dalam rangka kampanye mengejar Teroris ke ujung dunia (Global War on Terrorism),
Pemerintah Amerika melalui AB nya mulai mengimplementasikan Doktrin
Transformasi melalui uji coba latihan gabungan militer Amerika terbesar
di bulan Juli 2002.
Latihan tersebut melibatkan sebanyak
30.000 ribu pasukan yang dibagi menjadi dua kelompok, kelompok pertama
adalah pasukan Amerika dan koalisi sedangkan kelompok kedua adalah
kelompok Teroris atau negara yang dianggap Amerika mendukung terorisme.
Dalam operasi militer gabungan tersebut konsep baru siskodal NCW diperkenalkan dan diuji coba pertamakali, namun di tengah jalan latihan terpaksa diulang (re-set) karena belum semua elemen atau komponen militer dapat berintegrasi, berinteraksi serta berinteroperasi (interoperability) di dalam sistem komando dan kendali NCW yang baru tersebut.
Namun, pada akhir latihan gabungan, siskodal NCW
hanya dianggap sebagai bentuk pengetahuan baru atau pemahaman baru saja
bagi pasukan Amerika, daripada menentukan suatu kemenangan atau
kekalahan.
Sistem kodal NCW juga pernah diuji coba di medan tempur secara terbatas pada operasi militer Enduring Freedom
di Afganistan tahun 2002, dalam rangka menangkap tokoh Al Qaeda yaitu
Osama bin Laden serta menggulingkan pemerintahan Taliban yang dianggap
pro Teroris oleh Amerika.
Namun secara faktual, siskodal NCW dalam konteks operasi militer gabungan AB Amerika dan Koalisinya, baru pertama kali diaplikasikan pada saat Operation Iraqi Freedom tanggal 19 Maret 2003.
Kemungkinan Penerapan Cyber Warfare dalam Siskodal TNI
Setelah membaca uraian singkat tentang cyber warfare diatas, kemudian muncul suatu pemikiran, bagaimana kemungkinan untuk menerapkan siskodal NCW di lingkungan Tentara Nasional Indonesia.
Secara teori pada prinsipnya hal
tersebut sangat dimungkinkan, apabila melihat berbagai potensi,
kapabilitas dan infrastruktur komunikasi serta jaringan komputer
Internet yang dimiliki TNI saat ini.
Berbagai potensi dibidang Air Power, Territory, Maritime, ISR (Intelligence, Surveillance & Reconaisance),
Komnika, Pernika, Infolahta serta potensi kemampuan sumber daya
personil militer dan pasukan tempur yang dimiliki TNI, merupakan modal
dasar yang kuat dan cukup signifikan.
Sehingga dengan optimis dan berkeyakinan positif, bukanlah merupakan satu hal yang berlebihan jika suatu saat siskodal seperti NCW juga dapat diimplementasikan dalam operasi militer gabungan TNI dalam rangka menghadapi cyber warfare.
Beberapa kegiatan memang perlu dilakukan
untuk merealisasikan hal tersebut, seperti melakukan riset bidang
militer secara intensif dan komprehensif, tentunya didukung dana riset
yang mencukupi, untuk membuat suatu terobosan siskodal TNI berbasis NCW,
yang didisain khusus untuk keperluan militer.
Hal ini dimaksudkan agar dalam
pelaksanaan operasi militer gabungan TNI, seluruh matra TNI beserta
elemen dan komponen yang terkait dapat berintegrasi, berinteraksi serta
berinteroperasi (interoperability) dalam satu kodal (unity of command) berbasis teknologi sistem informasi, seperti pada siskodal berbasis NCW.
Tidak dapat dihindari lagi, di masa
depan ketika cara berperang atau jenis konflik sudah berubah dari
konvensional menuju ke bentuk perang cyber warfare, maka TNI
pun dituntut kesiapannya mengimplementasikan teknologi perang modern
guna menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sebagai penutup, menarik untuk dicermati
kenyataan bahwa setelah beberapa tahun pasca perang modern dewasa
ini, seperti yang telah dilakukan oleh pasukan Amerika dan koalisinya
(NATO) dipelbagai operasi militer di berbagai negara (Irak, Afganistan,
Somalia, Serbia dan Bosnia), ternyata belum menjamin keberhasilan
menguasai keadaan atau kontrol situasi secara keseluruhan (absolut).
Pasca tertangkapnya Presiden Irak Sadam Husein di dalam salah satu bunker
bawah tanah, atau setelah tewasnya pimpinan gerilyawan Irak, Abu Musab
Al-Zarqawi, terutama dengan terbunuhnya Osama Bin Laden dalam berbagai
serangan pasukan Amerika, terbukti bahwa justru perlawanan serta
resistensi terhadap tentara Amerika dan koalisinya (NATO) lebih semarak
lagi.
Memang tidak dapat dipungkiri pada saat
diinvasi oleh pasukan Amerika dan koalisinya, tentara Irak tidak dapat
memberikan perlawanan tempur yang berarti menghadapi teknologi
persenjataan militer tercanggih di dunia saat ini. Apalagi didukung
siskodal NCW yang modern di medan pertempuran, semakin membuat pasukan Irak kocar-kacir tak berdaya.
Namun situasi berubah cepat, bentuk
model baru perlawanan bermunculan, tentara Amerika dan koalisi saat ini
menghadapi jenis medan pertempuran yang sama sekali diluar perkiraan,
yaitu taktik perang gerilya dalam kota (hit & hide),
bom-bom mobil dan pasukan bom bunuh diri, yang berdampak tidak hanya
banyak memakan korban Tentara Amerika dan koalisinya, namun termasuk
penduduk sipil yang tidak berdosa (non combatant).
Sehingga muncul satu pertanyaan, apakah hanya dengan teknologi militer yang modern yang diimplementasikan dalam konsep perang cyber warfare sudah dapat memenangkan suatu perang ? (It is true, that the most advanced military technology in cyber warfare may win the Battle…but can it win the War ?).
No comments:
Post a Comment