Attachment(s) from Jendela Ide
1 of 1 Photo(s)
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
Attachment(s) from Jendela Ide
1 of 1 Photo(s)
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
Updates in Your Groups |
aliceayame posted a link jobs in saudi arabia |
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
JAKARTA — Pilpres 2014 ternyata bukan hanya menjadi dibidik oleh para politisi. Terbukti sejumlah mantan jenderal juga berminat bersaing untuk menjadi orang pertama di Indonesia. Salah satunya adalah mantan Panglima TNI, Jenderal (Purn) Djoko Santoso. Karena tak memiliki parpol, dia mempertimbangkan akan mengikuti konvensi capres Partai Demokrat.
"Yah nanti akan saya pertimbangkan untuk konvensi itu. Konvensi (Capres) Demokrat itu kan baik dengan membuka pintu kepada Capres dari mana saja," kata Djoko.
Menurut Djoko, untuk maju sebagai capres, seseorang harus menyiapkan diri mendapat dukungan dari rakyat atau pemilih apalagi dia tidak memiliki partai politik (Parpol).
"Saya ini kan partai nggak punya. Jadi ya tergantung dukungan rakyat saja. Kalau ada dukungan dan ada partai yang bersedia ya saya maju," kata dia. Untuk saat ini, Djoko Santoso satu-satu purnawirawan jenderal TNI yang ingin ikut konvensi Capres Demokrat.
Selain Djoko Santoso, Purnawirawan Jenderal TNI yang juga ingin maju Capres adalah Ketua Umum Partai Gerindra Letjen (TNI) Prabowo Subianto dan Ketua Umum Partai Hanura Jenderal (Purn) Wiranto.
Sementara itu Sekretaris Fraksi Hanura DPR RI, Saleh Husin, memastikan partainya akan mencalonkan kembali Ketua Umum, Wiranto sebagai presiden dalam Pilpres 2014 mendatang.
"Kami begitu kencang mengusung Pak Wiranto bukan karena dia Ketua Umum Hanura, tapi kami lebih melihat kemampuan leadership dan keberanian dalam mengambil keputusan serta tentu pengalaman dan jam terbangnya yang sangat mumpuni, dan itu yang paling utama," kata Saleh.
Sebelumnya mantan Panglima TNI, Jenderal (Purn) Endiartono Sutarto juga mengaku siap menjadi calon presiden pada 2014. Sutarto kini masuk dalam anggota dewan pembina Partai Nasional Demokrat.
"Kalau masyarakat yang mengharapkan itu, harapan itu mesti kita jawab," kata Endriartono usai acara Forum Peduli Memerangi Korupsi di Gedung Purna Wira, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Jenderal lain yang digadang-gadang bakal dicapreskan adalah Menko Polhukam Djoko Suyanto dan adik ipar Presiden SBY, Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo. (kinoy/terbit)
JAKARTA – Pertemuan SBY dengan sejumlah pensiunan jenderal dinilai sama sekali tak ada artinya. Alasannya, saat ini rakyat sudah pintar sehingga tak akan terpengaruh oleh langkah politis yang dilakukan oleh ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat tersebut. Adalah politisi senior PDIP, AP Batubara, kemarin, di Jakarta.
"Pertemuan SBY dengan tujuh jenderal purnawirawan tersebut, sama sekali tak ada artinya," tegas AP Batubara.
"Kalau di Malaysia, para tentara pensiun disebut sebagai Askar Tak Begune, karena mereka tak lagi memiliki prajurit. Jadi seperti yang sudah saya katakan, pertemuan itu sama sekali tak ada artinya."
Seperti diberitakan, setelah bertemu dengan Prabowo, SBY sehari kemudian melakukan pertemuan dengan 7 jenderal purnawirawan, di antaranya Letjen Purn Luhut Binsar Pandjaitan.
Menurut AP, pertemuan itu terkesan seperti direkayasa menyusul dukungan yang diberikan para jenderal purnawirawan usai bertemu SBY di Istana Negara.
"Soal rekayasanya mau kemana, biar rakyat yang menilai sendiri," tegasnya.
Khusus soal Luhut Panjaitan, AP Batubara menyarankan agar yang bersangkutan fokus saja sebagai pengusaha.
"Lebih baik Luhut fokus saja sebagai pengusaha," katanya berkelakar.
"Sekarang ini mau jual jenderal gak laku. Rakyat udah pintar. Lebih baik menjual penyanyi seperti Ayu Ting Ting. Pasti laku," tegasnya.
Jadi, janganlah SBY beranggapan kalau dia telah melakukan pertemuan dengan para purnawirawan, akan berdampak positif pada elektabilitas Partai Demokrat, katanya.
"Dulu memang ada jenderal yang begitu dicintai rakyat Indonesia. Mereka antara lain Jenderal Sudirman dan Jendetal AH Nasution," sergahnya.
"Tapi sekarang ini tak ada lagi jenderal yang seperti mereka," tutup AP Batubara.
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
JAKARTA-Komisi Yudisial (KY) menyebutkan calon hakim agung (CHA) terkaya berasal hakim karir dengan harta mencapai Rp4,922 miliar.
"Harta kekayaan, jumlah terbanyak dimiliki salah seorang peserta dari karir sebesar 4.921.624.074," kata Juru Bicara KY Asep Rahmat Fajar, di Jakarta, Minggu.Sedangkan jumlah harta terkecil dimiliki oleh salah satu peserta dari non karir sebesar Rp316,760 juta.
Namun Asep tidak menyebut peserta CHA yang terkaya dan calon termiskin tersebut. Dia hanya menyebutkan bahwa pada awal pekan ini hingga akhir pekan depan pihaknya akan melakukan verifikasi rekam jejak dan harta kekayaan para peserta seleksi CHA.
"Verifikasi dilakukan oleh Komisoner KY ke tempat tinggal dan tempat aktifitas para peserta," kata Asep.
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
A United Nations special rapporteur has arrived in Indonesia to gauge the government's commitment to ensuring adequate housing for all.
A statement from the office of the UN High Commissioner on Human Rights said that Raquel Rolnik would be in the country from May 30 to June 11 to visit communities in Jakarta and elsewhere.
"Indonesia … faces a unique combination of challenges in promoting and protecting the right to adequate housing, such as rapid urbanization, a high proportion of households living in informal settlements and acute vulnerability to climate change," Rolnik said.
"I see this visit as a great opportunity to assess the various policies and programs the government has been developing to address these compound challenges."
During her time here, she will meet with senior government officials, representatives of the UN system, the donor community, nongovernmental organizations, individuals and communities.
A comprehensive report with her findings and recommendations will be presented in a report to the UN Human Rights Council in March 2014.
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
Rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi dan pemberian kompensasi kepada rakyat kecil mendapat kritikan dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA). FITRA memandang banyak kebohongan yang tidak diucapkan pemerintah kepada rakyat dibalik rencana kenaikan harga BBM. Kenaikan harga BBM disebut hanya proyek sebagian elit menyusupkan program kepentingan partai politik jelang pemilu 2014.
Sekretaris Jenderal FITRA Yuna Farhan mengatakan salah satu kebohongan pemerintah dalam menaikkan BBM subsidi adalah mengenai penghematan yang mencapai Rp 30 triliun. Namun menurut Farhan, penghematan Rp 30 triliun tersebut hanya akal-akalan pemerintah untuk mengelabui rakyat. Faktanya, dalam data FITRA, alih-alih mengurangi alokasi belanja subsidi, subsidi yang diajukan pemerintah dalam Rancangan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2013 justru membengkak sebesar Rp 16,1 triliun.
Selain itu, Farhan juga menuding pemerintah dalam rencana penyesuaian harga BBM subsidi ini hanya akan menjadi ajang tawar-menawar antar partai politik di DPR. Hal ini diindikasikan dari keputusan pemerintah yang ingin membahas ini bersama DPR dengan dalih meminta izin pemberian kompensasi. Padahal pemerintah sudah punya hak penuh untuk menaikkan harga BBM jika subsidi sudah membahayakan anggaran.
Berangkat dari kebohongan pemerintah ini, FITRA akan menyurati DPR agar menolak pembahasan RAPBN-P 2013 yang diajukan oleh pemerintah. Serta FITRA minta agar mengembalikan diskresi penyesuaian harga BBM kepada pemerintah.
"RAPBN-P sarat kepentingan politik menjelang pemilu 2014, kita akan menyurati DPR walaupun ini terlambat tapi masih memungkinkan," ucap Farhan dalam konfrensi pers di Sekretariat Nasional FITRA, Jakarta, Minggu (2/6).
Menurut FITRA yang berkantor di Mampang ini, ternyata pemerintah tidak hanya bohong masalah kenaikan harga demi penghematan. Berikut daftar 5 akal-akalan pemerintah dalam mengelabui rakyat soal kebijakan BBM versi FITRA seperti dirangkum merdeka.com. (merdeka)
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
JAKARTA - Identitas jasad pelaku bom bunuh diri di Mapolres Poso, Sulawesi Tengah, hingga kini masih gelap. Tim DVI dan inafis Mabes Polri masih meneliti sampel DNA yang diambil dari jasad tersebut. Meski begitu, hampir bisa dipastikan si pelaku merupakan bagian dari kelompok Santoso.
Kemarin, Mabes Polri mempublikasikan ciri-ciri khusus yang ada pada jasad pelaku. Sebelumnya, Kapolres Poso hanya menyebutkan ciri umum pelaku. Yakni, berusia antara 30-35 tahun, rambut gondrong sedikit keriting, berwajah lebar, dan berparas tampan. Hasil identifikasi awal, tim DVI, pelaku memiliki beberapa ciri khusus.
Di antaranya, tinggi badan antara 165-170 sentimeter, kulit sawo matang, ada tahi lalat berambut di dada kiri dan tangan kiri depan. "Selain itu ada bekas jahitan di lengan bawah kiri bagian depan," terang Karopenmas Mabes Polri Brigjen Boy Rafli Amar kemarin.
Ciri khusus tersebut diumumkan karena belum ada satu pihak pun yang mengklaim memiliki hubungan dengan pelaku. Baik keluarga, tetangga, maupun rekan. Sehingga, pengambilan sampel pembanding juga belum bisa dilakukan. Tubuh pelaku yang sebagian sudah tercerai berai kini dikumpulkan menjadi satu di kamar mayat RS Bhayangkara Palu, Sulawesi Tengah.
Dugaan jika pelaku merupakan bagian kelompok Santoso juga kian kuat. Selain dari ciri bom yang khas kelompok Santoso, serangan juga dilakukan dengan sasaran aparat kepolisian. Serangan tersebut mirip yang dilakukan di Mapolsek Pasar Kliwon, Surakarta, pada 20 November 2012.
Bedanya, tidak ada aksi bom bunuh diri di mapolsek tersebut. Bom rakitan hanya diletakkan di samping musala mapolsek sebelum ditemukan oleh penjual angkringan. Bom itu diyakini milik jaringan Farhan, terduga teroris yang tewas dalam baku tembak dengan anggota Brimob beberapa waktu sebelumnya.
Farhan berafiliasi pula dengan Santoso karena pernah menjalani I'dad asykari (latihan militer) di Tamanjeka, Sulawesi Tengah. Para peserta dari berbagai daerah. Santoso sendiri kini menjadi buronan Densus 88 Antiteror. "Selain itu ada Autad Rawa alias Sabar, dan Upik Lawang, tokoh di Sulawesi Tengah," lanjut mantan Kabidhumas Polda Metro Jaya itu.(byu)
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
Indonesia's development has accelerated significantly during the past decade, but remains stifled by a single factor — the lack of progress on gender equality. Indeed, while the country has made some progress toward gender equality since the end of the Suharto area, improvements remain to be made to guarantee equal rights and opportunities for men and women.
Indonesia lags behind some of its major Asian rivals in the United Nations Development Program's Gender Inequality Index. Its ranking of 121 out of 148 countries leaves it far behind the Philippines (114) and China (101).
Studies show gender equality contributes to increasing economic prosperity, given it opens up productive economic activity to half the population.
Further, improving opportunities for women is part of the broader goal of human development, transcending simple national growth and improving quality of life in terms of education, health and mental wellbeing.
Indonesia's success will rely on its ability to engage talent within the entire population — and gender equality must remain on the political agenda if the country is to become a modern and industrialized nation.
This means providing women and men equal access to education, health, and the freedom to choose opportunities to improve their lives. It means giving women equal status to men in society. It means equal and fair treatment. It means acting against discriminatory practices.
So what does Indonesia's gender equality picture look like now and how can it be improved?
Indonesia has made significant progress in enrolment rates in primary, secondary and tertiary education. But there remains a gap between females' education and the opportunities they encounter in the job market. Gender differences in terms of participation and access to resources are actually widening.
Improvements need to be made so that women can fulfill their potential and take up jobs based on their education and skill. Indonesia has moved forward on this front.
The number of female legislators, senior officials and managers has increased in the past two decades. Affirmative action and quotas imposed in elections helped boost the number of parliamentary seats held by women from 12 in 1990 to 19 in 2011.
Improving health care is also vital. The mortality rate for women is still alarming, with many more female deaths each year than male, due to high maternal death rates when giving birth.
Improvements have been made, with more women receiving prenatal care and births being increasingly attended by qualified health-care professionals, but universality is still far off.
Health issues are coupled with regional inequalities in terms of health-care access, where needs are not necessarily met and extra efforts have to be made to bring in better services to remote and rural areas. Developing an efficient prenatal and postnatal care network could be a solution to limit maternal and child deaths.
The right of women to take control of their own bodies and future is also increasing, with contraceptive use increasing from 50 percent in 1990 to 61 percent in 2011, but large scale coverage is still a long way off.
In 2011, for example, 15 percent of women's contraception needs were unmet. Further developments of the family planning program could be a way to help women make their own childbearing choices.
Women are still particularly vulnerable to poverty. Considerable gender inequalities persist in terms of income distribution, access to resources, credit and employment.
Women are also disproportionately involved in the informal economy, where they tend to be employed mostly as domestic servants.
Women in these types of informal roles are vulnerable to poverty or dangerous situations, as they do not benefit from any legal or health protections. Greater efforts still need to be made to guarantee protection for these workers.
Finally, a stronger step worthy of consideration is legal enforcement of gender anti-discrimination schemes in order to guarantee effective protection.
Indonesia has already enacted laws combating violence against women, but these are not necessarily implemented throughout the country, since the sources of this violence — poverty, lack of education, harmful gender stereotypes and impunity for violence against women — have not disappeared. Ensuring that women know their legal rights through better education, and proper law enforcement are future steps to take action on this issue.
Guaranteeing women's rights, safety and access to justice through a stronger legislative framework is both important to human rights and development policy. Indonesia needs to work harder to implement these objectives.
Furthermore, women are still discriminated against in a marriage code that allows for polygamy and bylaws that limit their ability to exercise their rights in dress, morality and religious matters. Reviewing discriminatory laws and improving women's rights as part of a broader national strategy is needed.
Gender equality sparks passionate debate. Most of its detractors, often women themselves, say that gender equality contradicts their own traditions and religious beliefs.
Gender equality is about empowering women to make their own choices and have an equal voice. It is about giving women who aspire to have a career different to that imposed by society the freedom to fulfill their own wishes.
Engaging all Indonesians is essential to achieving human and economic development. Equal rights, responsibilities and opportunities should be given to everyone, regardless of gender. Such changes would benefit not only women, but society as a whole.
Melisande Couespel is a researcher at Strategic Asia, a consultancy promoting cooperation among Asian nations. She can be contacted at melisande.couespel@strategic-asia.com
.
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
Wiendu Nuryanti. TEMPO/Subekti
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |