Saturday, August 17, 2013

[media-jabar] Siaran Pers Walhi Jabar : Tolak dan Batalkan Proyek PLTSa di Kota Bandung

 

Siaran Pers

 PLTSa, Membakar Sampah = Membakar Uang

Tolak dan Batalkan Proyek PLTS di Kota Bandung dan Jawa Barat

 

Kebijakan Walikota Bandung Dada Rosada untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa)  yang menggunakan teknologi incinerator/pembakaran skala besar dengan PT Bandung Raya Indah Lestari (BRIL) sebagai pemenang tender pembangunan infrastuktur PLTSa harus ditolak dan dibatalkan. Ada beberapa aspek yang menjadi alasan mengapa Walhi Jawa Barat menolak PLTSa diantaranya aspek prosedur kebijakan dan mekanisme lelang, biaya pembangunan dan beban tipping fee, penolakan warga, dampak lingkungan hidup dan pengalaman buruk di negara lain.

Pertama, dari prosedur kebijakan daerah, pembangunan infrastruktur PLTSa di Gedebage Kota Bandung membutuhkan payung hukum berupa Perda tahun jamak, karena pembangunan PLTSa dijalankan dalam kurun waktu lebih dari satu tahun anggaran. Namun, saat ini, Pemerintahan Kota Bandung belum menyusun peraturan daerah yang mengatur pembangunan PLTSa dalam kontrak tahun jamak sementara MOU antara Pemkot Bandung dan PT BRIL pada tanggal 3 September 2013 akan disepakati dan tandatangani. Sistem PLTS dengan Incenerator juga bertentangan dengan UU No 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

Kemudian, dari aspek mekanisme lelang/tender, sejak tahun 2005 proses penunjukan PT Bandung Raya Indah Lestari (BRIL) sebagai pemrakarsa oleh walikota di luar belasan pilihan teknologi yang diajukan oleh tim ahli, kemudian tahun 2007 PT BRIL membuat Feasebility Study dan Amdal yang bermasalah. Pada, proses lelang lanjutan tahun 2012-2013 dengan menyisakan tiga perusahaan yang kemudian menetapkan PT BRIL pada bulan Juli 2013 sebagai pemenang. anehnya, sebelum ditetapkan pada sebagai pemenang tender pada bulan Juli 2013, PT BRIL ditunjuk sebagai pemrakarsa pelelangan pembangunan infrastruktur pengolahan sampah berbasis teknologi incinerator berdasarkan Surat Keputusan Wali Kota Bandung No. 568.1/Kep.101-Bappeda pada tanggal 3 Januari 2012. Artinya Pemkot dan PT BRIL sudah melakukan praktik lelang yang cacat prosedur peraturan lelang. Proses pelelangan tidak dilakukan secara transparan. Ada indikasi pemerintah Kota Bandung melakukan kebohongan publik selama proses lelang berlangsung.

Menurut ahli persampahan, anggota tim penasehat bidang persampahan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) Guntur Sitorus Penetapan Badan Usaha dalam hal ini PT Bandung Raya Indah Lestari (BRIL) sebagai pemrakasa dalam pelelangan proyek PLTSa Gedebage tersebut bertentangan dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur pasal 10 butir (a) yang berbunyi : badan usaha dan badan hukum asing dapat mengajukan prakarsa proyek kerjasama penyediaan infrastruktur kepada Menteri/Kepala lembaga/Kepala Daerah dengan kriteria sebagai berikut: a. Tidak termasuk dalam rencana induk pada sektor yang bersangkutan. Artinya, andaikan terdapat tender atas sistem pengolahan sampah dengan sistem incinerator apabila telah tercantum dalam rencana induk sektor kebersihan/persampahan kota Bandung sebelumnya, maka tidak dapat dilakukan penetapan Pemrakarsa Proyek.

Kedua, pembangunan PLTSa membutuhkan biaya pembangunan infrastruktur yang sangat besar mencapai Rp 562 milyar. Selain itu,  beban biaya jasa pengolahan (tipping fee) diluar biaya pengangkutan sampah yang akan dibebankan kepada rakyat/warga sangat besar. Tipping fee PLTSa kota Bandung mencapai Rp 350.000 per ton, jika sampah yang diangkut sebesar 700-1000 ton/hari maka biaya yang harus dikeluarkan mencapai Rp 245 juta-350 juta perhari atau Rp 89,5 Milyar-127,8Milyar/bulan di luar biaya pengangkutan, biaya bottom ash-fly ash ke TPA. Dari total sampah kota Bandung 1800 ton/hari, bagaimana dengan sisa sampah yang tidak bisa diolah?. Selain itu tidak ada kepastian bahwa listrik yang dihasilkan dibeli oleh PLN. Bahkan, jika sistem operasi PLTSa gagal menjadi beban siapa? kemungkinan menjadi beban anggaran pemerintah kota Bandung. Sangat dimungkinkan ke depan, biaya tarif sampah oleh pemkot akan sangat besar dan membebani warga.

Ketiga, dari aspek lingkungan hidup, PLTSa dengan menggunakan incinerator dapat menambah menjadi bencana, mengganggu kesehatan dan menjadi beban polusi udara kota Bandung dan menghasilkan zat racun berupa dioxin yang membahayakan sistem syaraf. Selain itu, tipikal sampah kota Bandung yang kebanyakan merupakan sampah organik jika dibakar membutuhkan bahan bakar tambahan seperti batu bara misalnya. sistem Incenerator menyaratkan sebuah sistem pengelolaan 3R (reduce, reuse dan recycle) yang ketat dari sumbernya, bila tidak inceneratornya akan cepat sekali rusak. Incenerator hanya bagian akhir dari sistem pengelolaan sampah (bila diperlukan) bukan sebagai solusi cepat. sampai saat ini pengelolaan sampah dikota bandung dari awal hingga akhir tidak sesuai dengan pra syarat incenerator.

Keempat, sampai saat ini, rencana pembangunan PLTSa mendapat penolakan dari warga sekitar lokasi PLTSa dan warga Bandung lainnya. Warga di pemukiman Griya Cempaka Arum (GCA) menyatakan penolakannya terhadap rencana pembangunan PLTSa bahkan warga di Cekungan Bandung pun menolak pembangunan PLTSa di Gedebage kota Bandung. Selain itu, rencana proyek Pembangunan PLTS di Kota Bandung masih dalam evaluasi Kementerian Pekerjaan Umum (PU) RI.

Kelima, penerapan pengolahan sampah melalui PLTS dengan sistem Incenerator menuai kegagalan dan menimbulkan beban keuangan yang sangat besar bagi pemerintah. Pengalaman di Kota Harrisburg Pennsylvania AS, kegagalan penerapan PLTS incenerator telah menimbulkan beban pengeluaran anggaran yang cukup besar dan menimbulkan krisis keuangan kota. Dari kegagalan ini, membakar sampah = membakar uang. selain itu, pengalaman di Cina, dampak adanya incinerator menimbulkan sebagian warga menderita penyakit syaraf otak karena polusi yang ditimbulkan terhadap warga sekitar.

Walhi Jawa Barat berpandangan bahwa solusi pengelolaan sampah Kota Bandung dan wilayah kabupaten/kota ke di Jawa Barat ke depan harus melibatkan partisipasi aktif warga dan penghasil sampah serta menguntungkan secara ekonomi terhadap warga. Beberapa solusi yang bisa dilakukan ke depan diantaranya:

  1. Penyusunan dan penerapan kebijakan pengolahan sampah sesuai dengan mandat Undang-Undang No 18 tahun 2008 dan PP No 81 tahun 2008 dan peraturan turunan lainnya.
  2. Dalam Jangka pendek, Pemrop Jawa Barat dan Pemkot Bandung harus bersinergi memperbaiki manajemen sistem TPA di Sarimukti dan TPA regional lainnya.
  3. Penerapan kebijakan pengelolaan sampah dengan menerapkan sistem 3R terdesentralisasi di wilayah administratif dan komunitas, dimana potensi pengelolaan oleh komunitas sangat besar.
  4. Pemerintah Kota Bandung harus aktif melakukan upaya pendidikan dan pemberdayaan terhadap kelompok warga/komunitas yang aktif melakukan pengelolaan sampah di warga termasuk memberdayakan keberadaan pemulung.

Berdasarkan pertimbangan alasan di atas, maka Walhi Jawa Barat menyatakan menolak kebijakan dan proyek PLTS di Kota Bandung yang melibatkan PT BRIL termasuk menolak kebijakan pembangun PLTS yang direncanakan oleh Pemerintah Propinsi Jawa Barat dan membatalkan proyek PLTS di Kota Bandung. Walhi Jawa Barat juga mengajak semua pihak untuk mendukung penolakan dan berpartisipasi aktif dalam mengurangi sampah dan melakukan upaya pengelolaan sampah dalam skala kecil di komunitas/wilayahnya masing-masing.

 

Bandung, 18 Agustus 2013

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Barat

 

 

Dadan Ramdan

kontak 082116759688



--
"Selamatkan Rakyat dan Pulihkan Lingkungan Hidup Jawa Barat"
 **********************************************************************************
 Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Barat
 Jalan Piit Nomor 5 Bandung 40133
 Telp/Fax. +62 22 250 7740
 E-mail : jabar@walhi.or.id, walhijabar@gmail.com, walhi@walhijabar.org
 ***********************************************************************************

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
.

__,_._,___

[batavia-news] KPK: Pemberantasan Korupsi Selama Ini Hanya Ramai Riuh

 

res: Kalau tidak riuh ramai, bunga rampai, nanti dibilang tidak dilakukan pemberantasan korupsi. Jadi harus lakukan politik "Tong kosong nyaring bunyinya"
 
 
 

KPK: Pemberantasan Korupsi Selama Ini Hanya Ramai Riuh

  • Penulis :
  • Icha Rastika
  • Sabtu, 17 Agustus 2013 | 19:32 WIB
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto | LUCKY PRANSISKA

JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto mengungkapkan, ada yang salah dengan upaya pemberantasan korupsi selama ini. Bambang mengatakan, pemberantasan korupsi selama ini hanya dilakukan dengan melihat persoalan korupsi itu sebagai persoalan hukum sehingga pendekatannya hanya melalui penanganan kasus.

"Pemberantasan korupsi selama ini hanya rame dan riuh," kata Bambang di Jakarta, Sabtu (17/8/2013) dalam acara peluncuran Radio "KanalKPK".

Padahal, lanjutnya, di sisi lain masyarakat pun menyadari bahwa pengadilan yang ada selama ini justru membawa ketidakadilan.

"Pengadilan adalah tempat ketidakadilan. Bahkan sampai hari ini, yang namanya lembaga pemasyarakan kita bisa memproduksi narkoba. Jadi bagaimana mungkin pengadilan bisa menjadi satu-satunya institusi untuk melakukan penegakan hukum," ucap Bambang.

Karena kondisi yang demikian itu, menurut Bambang, penanganan korupsi harus dilakukan melalui suatu proses yang lebih baik. KPK, lanjutnya, kini mulai mengintegrasikan antara penindakan dengan pencegahan.

"Kami mencoba tidak hanya penindakan dan pencegahan tapi juga preventif, karena ke depan kita akan memproduksi yang namanya fraud control system," katanya.

Adapun Radio "KanalKPK" yang diluncurkan hari ini, menurut Bambang, merupakan bagian dari strategi pencegahan KPK, khususnya melalui bidang kehumasan. Strategi kehumasan KPK, katanya, akan berubah. Tidak hanya menyampaikan informasi melalui satu pintu, namun juga menjadikan gerakan antikorupsi yang tersebar luas melalui media, salah satunya program radio.

"Jadi dia akan melakukan kampanye-kampanye, yang bersifat masif, strategis, dan terstrukutur. Lompatan pertamanya di situ," ujar Bambang.

Selain itu, lanjutnya, pemberantasan korupsi tidak dapat dilakukan tanpa melibatkan masyarakat secara intensif. Dia juga mengungkapkan bahwa Radio "KanalKPK" diharapkan dapat bermanfaat dalam menyambut perhelatan politik terbesar, yakni pemilihan umum (Pemilu) Presiden 2014.

Radio "KanalKPK" dapat menjadi media penyampaian pesan mengenai pelaksanaan Pemilu yang berintegritas dan jauh dari

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
http://groups.yahoo.com/group/batavia-news
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup 
--------------
.

__,_._,___

[batavia-news] Tiga Juta Bendera Meriahkan Peringatan HUT RI di Aceh

 

 
 

Tiga Juta Bendera Meriahkan Peringatan HUT RI di Aceh

  • Penulis :
  • Kontributor Banda Aceh, Daspriani Y Zamzami
  • Sabtu, 17 Agustus 2013 | 14:42 WIB
Petugas Polsek Bandaraya membagikan bendera kepada seorang warga di kawasan Mibo, Banda Aceh, Kamis (15/8/2013) | KOMPAS.COM/DASPRIANI

BANDA ACEH, KOMPAS.com — Sedikitnya 3 juta bendera merah putih dipasang di seluruh wilayah di Aceh dalam rangka peringatan HUT Ke-68 Republik Indonesia. Bendera-bendera ini dibagikan oleh aparat pemerintahan dan petugas kepolisian di seluruh Aceh.

Panglima Kodam Iskandar Muda Mayjen Zahari Siregar mengatakan, peringatan HUT Ke-68 RI berlangsung meriah di seluruh Aceh. "Tidak perlu meragukan keamanan di Aceh, suasana sudah kondusif sejak lama, dan hari ini peringatan HUT Ke-68 RI diperingati dengan meriah di mana-mana, dan luar biasa sekali," jelas Mayjen Zahari Siregar usai mengikuti peringatan detik-detik proklamasi yang dipusatkan di Blang Padang, Banda Aceh, Sabtu (17/8/2013).

Pangdam juga menyampaikan rasa terima kasih kepada masyarakat Aceh yang sudah ikut memeriahkan peringatan HUT Ke-68 RI. Peringatan HUT Ke-68 Kemerdekaan Indonesia ini juga dimeriahkan dengan atraksi terjun payung yang dilakukan oleh 240 prajurit TNI dari Batalyon Linud 320/Kostrad.

Para penerjun ini melakukan atraksi terjun payung di tiga wilayah, yakni Kecamatan Seunuddon, Kabupaten Aceh Utara, Cot Gapu Kabupaten Bireuen, Krueng Sabe Kabupaten Aceh Jaya, dan di Blang Padang Kota Banda Aceh.

Atraksi terjun payung ini dilaksanakan pada pagi hari sebelum peringatan detik-detik proklamasi. Sementara itu, peringatan detik-detik proklamasi di Banda Aceh dipusatkan di Lapangan Blang Padang Banda Aceh.

Gubernur Zaini Abdullah memimpin langsung upacara bendera tersebut. Suasana upacara berlangsung dengan khidmat. Lapangan Blang Padang dipenuhi warga yang ingin menyaksikan langsung peringatan HUT Ke-68 RI tahun ini.
Editor : Kistyarini

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
http://groups.yahoo.com/group/batavia-news
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup 
--------------
.

__,_._,___

[batavia-news] SBY: Pendapatan per Kapita RI Capai 5.000 Dollar AS pada 2014 + Tahun Depan Gaji PNS dan TNI/Polri Naik Lagi

 

res: Hebat bin ajaib baru pada tahun 2014 pendapatan per capita US$ 5000,—  Rumah-rumah gubuk seperti pada gambar  tertera pada artikel ini pasti sudah akan hilang lenyap tahun depan. Apakah semprotannya ini karena akan diadakan Pemilu dan agar supaya PD dipilih lagi mendudukii kursi empuk pemberi rejeki nomplok? SBY juga menjanjikan gaji PNS akan dinaikan tahun depan.
 
 
 

SBY: Pendapatan per Kapita RI Capai 5.000 Dollar AS pada 2014

  • Penulis :
  • Sakina Rakhma Diah Setiawan
  • Jumat, 16 Agustus 2013 | 15:00 WIB
Ilustrasi Kemiskinan di pinggiran Kota Jakarta | KOMPAS/AGUS SUSANTO

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah menargetkan di akhir tahun 2014 pendapatan per kapita Indonesia dapat mencapai angka 5.000 dollar AS.

"Dengan usaha dan kerja keras kita bersama, insya Allah pada akhir tahun 2014, PDB per kapita kita akan mendekati 5.000 dollar AS," ungkap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pidato kenegaraan yang disampaikannya di Gedung DPR MPR, Jumat (16/8/2013) pagi.

SBY mengatakan kemampuan Indonesia untuk meningkatkan prpduktivitas nasional telah menunjukkan hasil yang nyata. Hal ini terlihat pada meningkatnya PDB per kapita Indonesia dalam 10 tahun terakhir.

Peningkatan ini berdampak peningkatan jumlah kelompok kelas menengah di tanah air. "Kemampuan kita untuk meningkatkan produktivitas nasional telah menunjukkan hasil yang nyata. Hal ini tercermin pada peningkatan pendapatan per kapita, sekaligus menjelaskan semakin membesarnya jumlah kelas menengah di tanah air," ungkap SBY.

SBY memaparkan PDB per kapita Indonesia yang kian meningkat. Pada tahun 2004 PDB per kapita Indonesia mencapai 1.177 dollar AS. Pada tahun 2009, Indonesia berhasil meningkatkan PDB per kapita menjadi 2.299 dollar AS. Terakhir, tahun lalu tercatat PDB per kapita Indonesia mencapai 3.592.

Hari ini Presiden SBY menyampaikan pidato kenegaraannya dalam rangka HUT ke-68 proklamasi kemerdekaan RI di Gedung DPR/MPR. Pidato ini disampaikannya di hadapan anggota parlemen, para menteri kabinet Indonesia Bersatu jilid II, duta besar negara-negara sahabat, dan tamu undangan lainnya.
Editor : Bambang Priyo Jatmiko
 
+++++
 
 

Tahun Depan Gaji PNS dan TNI/Polri Naik Lagi

Dalam RAPBN 2014, alokasi anggaran belanja pegawai Rp276,7 triliun.

ddd
Jum'at, 16 Agustus 2013, 16:14 Arinto Tri Wibowo, Suryanta Bakti Susila, Alfin Tofler
Pidato Kenegaraan Presiden SBY di DPR.
Pidato Kenegaraan Presiden SBY di DPR. (VIVAnews/Anhar Rizki Affandi) +
 
 
 
VIVAnews - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengungkapkan, pemerintah merencanakan penyesuaian gaji pokok PNS serta anggota TNI dan Polri sebesar 6 persen, dan pensiun pokok sebesar 4 persen. Rencana ini diungkapkan SBY dalam pidato tentang RAPBN 2014 di gedung DPR, Jakarta, Jumat 16 Agustus 2013.

"Penyesuaian gaji pokok PNS serta anggota TNI dan Polri sebesar 6 persen, dan pensiun pokok sebesar 4 persen ini untuk mengantisipasi laju inflasi," kata Presiden.

SBY mengungkapkan, dalam RAPBN 2014, alokasi anggaran belanja pegawai direncanakan sebesar Rp276,7 triliun. Angka ini meningkat 18,8 persen dari belanja pegawai dalam APBNP 2013.

Selain itu, SBY mengungkapkan, anggaran belanja non kementerian dan lembaga dalam RAPBN 2014 direncanakan sebesar Rp636,4 triliun. Alokasi anggaran ini antara lain untuk belanja subsidi dan pembayaran bunga utang.

Belanja subsidi direncanakan sebesar Rp336,2 triliun, atau turun sekitar 3,4 persen dari anggaran belanja subsidi dalam APBNP 2013. Anggaran sebesar itu, menurut SBY, akan dialokasikan untuk subsidi energi dan non-energi, yang mencakup berbagai subsidi pangan, pupuk, dan benih.

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
http://groups.yahoo.com/group/batavia-news
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup 
--------------
.

__,_._,___

[batavia-news] Pidato Kenegaraan Presiden SBY ibarat Cerita Fiksi Ilmiah

 

Res: Abunawas adalah pembual terkenal, jadi kalau ada yang mau dibodohkan untuk percaja dongenganya, silahkan, monggo-monggo, pliss
 
 

Pidato Kenegaraan Presiden SBY ibarat Cerita Fiksi Ilmiah

  • Penulis :
  • Suhartono
  • Sabtu, 17 Agustus 2013 | 06:44 WIB
 
JAKARTA, KOMPAS.com — Pidato kenegaraan yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Rapat Paripurna Gabungan DPR dan DPD menyambut hari ulang tahun ke-68 kemerdekaan Republik Indonesia, Jumat (16/8/2013), dinilai menyerupai cerita fiksi yang berbau ilmiah.

"Seperti pidato SBY lainnya, pidato kenegaraan kemarin juga kebanyakan bumbu-bumbu," kecam anggota DPR asal Fraksi PDI Perjuangan Rieke Diah Pitaloka kepada Kompas, Sabtu (17/8/2013) pagi. Terutama, sebut dia, "bumbu" berupa istilah dan teori berbahasa Inggris.

Kesannya, kata Rieke, pidato tersebut ilmiah karena disertai dengan angka-angka yang seolah-olah memperlihatkan akurasi keberhasilan. "Namun, apakah angka-angka itu berbasis pada data dan realitas sesungguhnya? Atau sekadar fiksi belaka untuk pembungkus pencitraan?" ujar Rieke Diah Pitaloka, Sabtu pagi.

Padahal, tambah mantan calon gubernur Jawa Barat pada pilkada terakhir Jabar ini, masyarakat sekarang sudah cerdas dan mampu menilai apa yang sesungguhnya terjadi. Rieke mengambil contoh soal peningkatan pendapatan domestik bruto (PDB).

PDB tak menggambarkan realita

Bila dilihat angka-angkanya saja, kata Rieke, memang PDB terus meningkat. Pada 2004, PDB tercatat 1.177 dollar AS, lalu pada 2009 menjadi 2.290 dollar AS, berlanjut pada 2012 menjadi 3.092 dollar AS dan ditargetkan pada 2014 mencapai 5.000 dollar AS. "Pertanyaannya, jika PDB itu mengukur produk barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara, siapa yang menikmati besarnya PDB itu?" tanya dia.

Namun, kata Rieke, ternyata yang menikmati PDB tersebut bukanlah seluruh rakyat Indonesia, melainkan hanya mereka yang memiliki akses di bidang ekonomi. Sebagai contoh, dia mengambil Provinsi Papua. Provinsi ini, ujar Rieke, memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia. "Tetapi, angka kemiskinannya tertinggi pula," tegas dia.

Karenanya, Rieke mengatakan, PDB 5.000 dollar AS per kapita bukan berarti pendapatan penduduk benar-benar Rp 50 juta per tahun atau Rp 4,2 juta per bulan. Faktanya, sebut dia, data Badan Pusat Statistik menyebutkan masyarakat yang memiliki kemampuan belanja di atas Rp 1 juta per bulan hanya 16 persen. Masyarakat dengan penghasilan Rp 500.000 sampai Rp 1 juta juga tercatat mencapai 30 persen, dan yang berpenghasilan di bawah Rp 500.000 bahkan mencapai 55 persen.

"Kesejahteraan apa yang dimaksud Presiden SBY bila sebanyak 85 persen rakyat justru daya belinya di bawah Rp 1 juta per bulan?" tanya Rieke. Dengan data penghasilan tersebut, imbuh dia, dapat terbayangkan pula bagaimana penurunan daya beli yang terjadi setelah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak pada 22 Juni 2013.

Data BPS di atas, lanjut Rieke, sudah diakui belum menghitung dampak kenaikan harga BBM. "Jadi, PDB macam apa yang dialami rakyat kita sekarang ini? Sederhana saja, lihat kemiskinan dan pengangguran yang semakin terbentang di hadapan kita sehari-hari di jalanan hingga di pelosok-pelosok," ujar dia

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
http://groups.yahoo.com/group/batavia-news
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup 
--------------
.

__,_._,___

[batavia-news] Solidaritas Mesir, Jangan Lupakan Jasa Mesir bagi Indonesia

 

res: Benarkah Mesir mengakui kemerdekan RI pada tgl 22 Maret 1946? Kalau diakui apa saja sumbangan konkritnya?
 
 

Solidaritas Mesir, Jangan Lupakan Jasa Mesir bagi Indonesia

  • Penulis :
  • Ummi Hadyah Saleh
  • Sabtu, 17 Agustus 2013 | 06:10 WIB
Ribuan orang dari sejumlah ormas Islam yang tergabung dalam Aksi Solidaritas Peduli Mesir memadati Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Jumat (16/8/2013), menuju Markas Perwakilan PBB di Jakarta. | KOMPAS.com/RAHMAT PATUTIE
JAKARTA, KOMPAS.com — Ratusan orang yang tergabung dalam South East Asia Humanitarian Committee (SEAHUM) berunjuk rasa di depan kantor PBB di Jakarta, sebagai bentuk solidaritas kepedulian atas "pembantaian" di Mesir. Masyarakat juga diingatkan bahwa Ikhwanul Muslimin Mesir sudah banyak berjasa bagi Indonesia.

"Pengakuan kemerdekaan RI secara de facto oleh Mesir pada 22 Maret 1946 atas desakan rakyat mesir bernama Ikhwanul Muslim," tegas Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ahyudin, Jumat (16/8/2013). Dari sisi lain, imbuh dia, kasus Mesir harus dilihat sebagai sebuah aksi damai masyarakat sipil yang disikapi oleh pemerintah sementara Mesir dengan kekuatan bersenjata militer.

"Berbagai lapisan masyarakat turun menyuarakan aspirasinya, memprotes pengambilalihan kekuasan hasil demokrasi oleh kekuatan militer. Tak ada senjata, tak ada kekerasan dalam aksi protes ini. Anak- anak, perempuan, manula, tak luput dari sasaran kekerasan (aparat keamanan Mesir)," papar Ahyudin.

Selain itu, tambah Ahyudin, Mesir punya peran penting terhadap pendidikan, termasuk bagi Indonesia. Tak kurang dari 5.000 mahasiswa Indonesia kini masih belajar di Mesir, terutama di Al-Azhar. Bertahun-tahun, kata dia, intelektual Indonesia banyak pula yang mendapatkan pendidikan dari Mesir.

Krisis politik Mesir, tambah Ahyudin, juga berpotensi menjadikan kalangan intelektual yang terlibat dalam aksi damai terhadap penggulingan Presiden Mesir Muhammad Mursi menjadi korban.

"Rabu Berdarah" di Mesir berawal dari upaya paksa pihak keamanan Mesir mengusir demonstran pendukung Presiden terguling Mesir Muhammad Mursi pada Rabu (14/8/2013). Kejadian pengusiran paksa ini mengakibatkan jatuhnya korban jiwa massal.

Data Kementerian Kesehatan menyebutkan, setidaknya 638 orang tewas tak kurang dari 4.000 orang luka-luka. Sementara itu, Ikhwanul Muslimin mengatakan, korban tewas sesungguhnya diperkirakan mencapai 2.

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
http://groups.yahoo.com/group/batavia-news
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup 
--------------
.

__,_._,___

[batavia-news] Merah Putih Semarak di Kompleks Eks Tim Tim

 

Res: Kalau tidak marak tidak  dikasi makan.
 
 

Merah Putih Semarak di Kompleks Eks Tim Tim

Artikel dimuat pada: Hari ini, 18 Aug 2013, 02:00:00 WIB

Kupang, (Analisa). Pemasangan bendera merah putih menyambut Perayaan Kemerdekaan RI ke-68 berlangsung semarak di Desa Belo dan Tuapukan, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang dikenal sebagai kompleks warga eks pengungsian Timor-Timur pasca eksodus 1999.

Seperti disaksikan di pusat pengungsian itu Jumat pagi, kompleks  perumahan warga bahkan kantor-kantor dan unit kerja pemerintah seperti kantor desa dan camat semuanya memasang bendera merah putih, dan umbul-umbul sebagai simbol merayakan hari kemerdekaan.

"Kami melakukan itu atas kesadaran tanpa diimbau dan disuruh, sebagai warga negara Indonesia dan bukti cinta dan hormat kami akan perjuangan para pahlawan pada jaman itu," kata Zicu Zoares, warga Indonesia Baru salah satu penghuni komplek di arah Timur sekitar 20 KM arah Selatan Kota Kupang itu.

Ia mengatakan tidak sempat mengikuti upacara bendera pada peringatan detik-detik proklamasi kemerdekaan pagi ini bersama warga desa lainnya, karena kurang sehat jasmani.

"Meski pun tidak sempat mengikuti upacara bendera pada puncak pagi ini, 17 Agustus, namun dirinya menyadari benar akan apa yang terjadi pada hari ini merupakan bentuk penghormatan sesungguhnya dan ungkapan syukur atas kemerdekaan yang diraihnya," katanya.

Warga lokal lainnya yang tinggal bersebelahan di kompleks warga eks Timtim itu, Andi Ndolu mengakui nasionalisme warga Indonesia Baru itu, pada setiap menjelang HUT Proklamasi Kemerdekaan RI.

Terpisah Joze (30) warga eks Timtim lainnya mengaku mengikuti Upacara HUT Republik Indonesia ke-68 yang berlangsung penuh khidmat sehingga semakin menimbulkan rasa nasionalisme, apalagi ketika lagu Indonesia Raya berkumandang mengiringi penaikan bendera Sang Merah Putih. 

"Kebangsaan Indonesia bukanlah kebangsaan Maluku, Flores, Papua, Bali, Jawa, Sulawesi, Sumatra, Kalimantan dan lainnya, tetapi kebangsaan yang utuh dan satu, yakni kebangsaan Indonesia," kata Joze yang juga abdi negara di Pemerintah Kabupaten Kupang itu.

Ia mengaku bangga dengan bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku, agama dan budaya. Keanekaragaman itu telah menjadi kekuatan bagi persatuan bangsa karena Indonesia berdiri dari pluralisme yang dimiliki.

"Kita harus bangga menjadi bagian bangsa Indonesia dan tetap menanamkan tekad 'harga mati' bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam hidup berbangsa dan bermasyarakat," ujarnya.

"Tekad itu terus menggelora dalam sanubari setiap kami yang telah menjadi warga negara Indonesia dengan bahu membahu bekerja keras membangun Indonesia, termasuk," katanya.

Kerja keras itu perlu didorong juga oleh semangat nasionalisme sebagai wujud hormat dan penghargaan atas jasa-jasa para pahlawan Kemerdekaan, tambahya. (Ant)

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
http://groups.yahoo.com/group/batavia-news
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup 
--------------
.

__,_._,___

[batavia-news] Beneath the volcano

 

 
 
14-08-2013 04:00PM ET

Beneath the volcano

Despite the show of confidence being put on by Turkey's Islamist government, the position of Prime Minister Recep Tayyip Erdogan may not be as secure as it seems, writes Sayed Abdel-Meguid in Ankara

Beneath the volcano
Protesters shout slogans in support of deposed president Morsi during a pro-Islamist demonstration at the courtyard of Fatih Mosque in Istanbul (photo: Reuters)

Turkey seems to be sitting atop a volcano these days. On the surface, all appears to be calm, and, for the powers-that-be in Ankara, everything is more or less going according to plan, leaving no room for surprises.

Prime Minister Recep Tayyip Erdogan has been proceeding with his scheduled activities, bringing him into contact with what he calls the "real people" of Turkey. These are not the same as the ones that have been packing the central squares of Turkish cities in protests against the government, whom Erdogan has dismissed as "Marxist extremists", "rats" and "çapulcular", a Turkish word which can be roughly translated as hooligans.

One highlight of Erdogan's busy schedule occurred last week, when he personally conducted the first test-drive of an electric train through the 6.2 mile-long undersea railway tunnel that will connect the European and Asian sides of Istanbul.

The completion of this section of the new Marmaray Metro, which will unite the two halves of the historic city as never before, is a feat that has long been awaited by the city's residents, and Erdogan has seized on the occasion to trumpet other accomplishments that will see the light soon, such as the new high-speed railway linking Istanbul and Ankara, shrinking the distance between the former Ottoman capital and the modern capital of the Turkish Republic from seven to only three-and-a-half hours.

Yet, beneath the tranquil exterior, anxieties have been mounting. People sense that the economy is not as stable as the largely government-dominated media claims, and then there is the secular identity of the country that has been allowed to lapse as the government moves to assert a new identity with conservative religious overtones.

The opening days of this month may have marked a turning point in this regard, when on the eve of the annual meeting of the Supreme Military Council (SMC), which is presided over by Erdogan, the ranks of the Turkish air force were shaken by the sudden resignations of generals Nezih Damci and Ziya Cemal Kadioglu, the head of the Air Training Command.

Although the air force commanders did not cite the reasons for their resignations ahead of the SMC meeting, it was clear that they had been motivated by the anger and frustration they felt at the deterioration of the military establishment they had once been proud of.

Although the army chief of staff attempted to persuade them both to retract their resignations, they refused, indicating that they were no longer able to tolerate the material and moral attrition to which they and their fellow officers have been subjected.

One significant repercussion of the resignations is that they have bolstered a growing reluctance among young Turks to pursue a military career, which was once an honourable profession in Turkey where the military was long seen as the guardian of the secularist order.

Since the beginning of this year, some 170 commissioned officers have resigned from the Turkish air force alone, among them 123 pilots. According to military sources, the rise in resignations has been due to dismay at the deteriorating status of the military establishment, as well as to the relatively low salaries, especially when compared to those offered by the civil airline companies.

As anticipated, the four-day SMC meeting, which began on 1 August, issued a number of decisions that included the dismissal of some generals and the promotion of others. These were then immediately ratified by President Abdullah Gul.

However, what had not been anticipated was the forced retirement of chief of the gendarmerie General Bekir Kalyoncu. The latter had been expected to replace the current chief of the army, according to customary practice. This would have put him in line to replace the current chief of general staff, General Necdet Özel, in 2015.

Kalyoncu has openly criticised the government of the ruling Justice and Development Party (AKP) and the rise of Islamist activities in Turkey, which he has described as a "looming danger" that poses as grave a threat to the country as the separatist Kurdish Workers Party (PKK).

He has also voiced a dissenting opinion on the Ergenekon and Baloyz cases that involve allegations of a 2003 conspiracy to carry out an alleged coup.

It was therefore no coincidence that Gul ratified the SMC decisions at the same time as the judicial rulings in the Ergenekon case were being announced. Most of the sentences that were handed down against the defendants were unwarrantedly harsh, in the opinion of Kemalist and secularist political forces.

The Islamist forces, on the other hand, rejoiced, claiming that the rulings had delivered a death blow to the "deep state" in Turkey. Erdogan had asserted his mastery over the military, they said, meaning that from now on it will be impossible to mount a military coup against a civilian government.

It is also important to bear in mind that the AKP-dominated parliament has recently amended Article 35 of the Turkish constitution which had formerly given the army the right to intervene in politics in the event of a serious threat to the Turkish Republic and the six core principles on which it is based.

One of these principles is the secular character of the Turkish state. Article 35 had been used as a justification for the coups in 1960, 1971, 1980 and, more recently, 1997. The latter, dubbed the "White Coup", led to the dismissal of the coalition government headed by Necmettin Erbakan, the leader of the subsequently banned Refah (Welfare) Party.

The question remains as to whether the rulings handed down by the Silivri Criminal Court in Istanbul have really brought the curtain down on the role of the generals in Turkey and the secularist political forces along with it. They could be just the legislative and judicial developments that will set the scene for a tragedy that will soon unfold.

Many commentators believe that the latter could turn out to be the case. With the arrival of autumn, which in Turkey begins in mid-September when the summer holiday season ends and the academic year begins, a broad range of opposition forces and civil society organisations are expected to rally in large numbers in the central squares of Turkish cities to protest against the repressive policies and practices of the ruling AKP government.

Recent months have brought a wave of arrests and the imprisonment of various political activists and journalists, among them members of the Turkish Youth Federation and the Communist Workers Party, as well as journalists working for the Aydinlik newspaper and the ULUSAL satellite news channel.

Although it is premature to make predictions, it is becoming clear that the Turkish polity is deeply and perhaps irremediably split. The rulings in the Ergenekon case with their contentious ramifications have sent tremors through public opinion in the country, and these might mark the beginning of the end of the AKP.

 

 

Turkey's Egyptian scenario

Many weeks used to go by before Egyptians living in Turkey would read a word about their native country in the Turkish press, unless there was a news item on the Kurdish cause or the Islamist currents, both of which are subjects that have been highly sensitive in Anatolia.

The audiovisual media fared no better, being loathe to feature material about Egypt apart from National Geographic documentaries about the country's antiquities dubbed into Turkish. Perhaps this lack of information about Egypt in the Turkish media helps to explain why Egypt, for the vast majority of Turkish people, was often reduced to its Pharaonic antiquities and, specifically, to its Pyramids.

However, when the change came to this situation it came in a radical form. As a result of the events that have taken place in Egypt from the 25 January Revolution until today, the Turkish media has swung from indifference and lack of attention to the polar opposite, and today barely a day goes by without some item appearing in the Turkish media about Egypt.

Unfortunately, most of the media are still highly selective in what they choose to report on, generally constructing a narrative of the political turbulence in Cairo that conforms with the views of Turkey's ruling elites whose influence over editorial policy is formidable.

But even if coloured in this way, news from Egypt often tops the news bulletins on Turkish television stations, especially influential ones such as the state-run TRT.

As a result, Egyptians living in Turkey are often the object of intense curiosity on the part of Turkish nationals. What is happening in Egypt, they will ask. How could the situation have turned out as it did, and why did the generals turn against democracy and the ballot box?

Because of various legal and punitive measures, the Turkish media has in many cases been cowed into submission by the ruling Turkish Justice and Development Party (AKP), meaning that it has helped to shape a public outlook that sees the events in Egypt since 30 June as a military coup carried out by a fascist junta against a democratically elected government.

One thread of this official narrative is pitched toward the rural areas that are remote from Istanbul, Ankara and other cosmopolitan centres, playing on the religious sentiments in these areas and casting the Egyptian army as being hostile to the Islamist character of the ousted regime.

It was therefore little wonder that Turkish Foreign Minister Ahmet Davutoglu's emotionally charged remarks in which he expressed his "infinite sorrow" over the lives lost in the killings in front of the Republican Guard Club in Cairo should have been given such prominence in news reports on the Turkish satellite stations.

In like manner, Prime Minister Recep Tayyip Erdogan took advantage of the heightened piety during Ramadan to voice his views, and, speaking at a Ramadan breakfast, he condemned the killings on Al-Nasr Street near the Rabaa Al-Adaweya Mosque in Cairo, in which 200 pro-Morsi protesters were killed.

Turkey "would not remain silent" in the face of what was happening in Egypt, Erdogan said, adding that those who remained silent were effectively "condoning the crime."

Since the military intervention that took place in Egypt on 3 July, the powers-that-be in Ankara and the Turkish media have been working to raise public alarm against military coups, aided by the fact that Turkey's modern history has been punctuated by such coups.

It has not been difficult to remind people of their bitter experiences of the coups that took place in 1960, 1970, 1980 and more recently in 1997, in Turkey, the latter being the "white coup" that forced the government of Necmettin Erbakan, the leader of the Islamist-oriented Welfare Party, to resign in June the same year.

Turkish television's Channel One aired a documentary on the intervention of the army in politics last weekend, in which historians and experts came together in emphasising a single theme: the destructive effects of the militarisation of civilian life and the military's hostility to democracy.

The timing of the broadcast was no accident since it coincided with the handing down of verdicts against army officials who had been arrested and charged with conspiring to engineer a coup against the AKP government in 2003, and unsurprisingly a central protagonist of the documentary was the AKP leader Erdogan himself.

According to the film, the generals had singled him out for their particular wrath by dismissing him from his post as the elected mayor of Istanbul before prosecuting him and sentencing him to ten months in prison. The message was clear, being that the Turkish people must do everything in their power to prevent the Egyptian virus of military interventions from spreading to their country and directing itself against the ruling party and its leader.

Even though a large portion of Turkey's military top brass is now in jail, the fear of generals sporting medals on their chests is still strong enough in Turkey for the film to tap into a sense of alarm against the spectre of the Turkish generals taking their cue from their Egyptian counterparts and turning against the government.

But Erdogan and his government may have other reasons to be fearful, since in a recent analysis of the situation in Egypt the Turkish journalist and Middle East expert Kenan Georgie turned his attention to the espionage charge that has now been brought against the ousted former Egyptian president Mohamed Morsi.

This, he said, could affect Erdogan personally, in view of his and his party's close relations with the former Muslim Brotherhood government in Egypt. After Erdogan returned to Ankara following his visit to Cairo in November 2012, the Turkish Intelligence Chief Hakan Fidan remained behind, and he may have participated in a secret meeting that brought together Mossad, CIA officials and Egyptian Intelligence.

There is a possibility that Erdogan persuaded Morsi to push Hamas into an agreement with Israel with the ultimate aim of eliminating Palestinian Authority President Mahmoud Abbas.

If, as some think, the charge of espionage is a powerful tool to be brought against the former president and his supporters in the light of the antagonism towards the US-Zionist camp in Egyptian public opinion, what is to prevent a similar scenario from being repeated in Turkey?

Could the large segments of Turkish public opinion that are opposed to Erdogan and his Islamist-oriented government attempt to wield a similar weapon? Might they, for example, charge that contrary to the government's claims it in fact cooperates closely with Israel?

The situation in Ankara is very different from that in Cairo, but the accusations being levelled against Morsi could still serve as a warning to Erdogan not to put himself in the same position as the former Egyptian president. As if to confirm this, a number of Turkish journalists and commentators have described the events in Cairo's Tahrir Square as tantamount to the "collapse of Erdoganism" in Egypt.

Is it possible that Erdogan could meet the same fate as Morsi?

The coming days may hold the answer, especially in view of the likelihood that the demonstrations against the government will now resume in Taksim, Kizilay and other places around the country, which, some say, may usher in the beginning of the end of the Turkish ruling party.

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
http://groups.yahoo.com/group/batavia-news
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup 
--------------
.

__,_._,___