Siaran Pers
PLTSa, Membakar Sampah = Membakar Uang
Tolak dan Batalkan Proyek PLTS di Kota Bandung dan Jawa Barat
Kebijakan Walikota Bandung Dada Rosada untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang menggunakan teknologi incinerator/pembakaran skala besar dengan PT Bandung Raya Indah Lestari (BRIL) sebagai pemenang tender pembangunan infrastuktur PLTSa harus ditolak dan dibatalkan. Ada beberapa aspek yang menjadi alasan mengapa Walhi Jawa Barat menolak PLTSa diantaranya aspek prosedur kebijakan dan mekanisme lelang, biaya pembangunan dan beban tipping fee, penolakan warga, dampak lingkungan hidup dan pengalaman buruk di negara lain.
Pertama, dari prosedur kebijakan daerah, pembangunan infrastruktur PLTSa di Gedebage Kota Bandung membutuhkan payung hukum berupa Perda tahun jamak, karena pembangunan PLTSa dijalankan dalam kurun waktu lebih dari satu tahun anggaran. Namun, saat ini, Pemerintahan Kota Bandung belum menyusun peraturan daerah yang mengatur pembangunan PLTSa dalam kontrak tahun jamak sementara MOU antara Pemkot Bandung dan PT BRIL pada tanggal 3 September 2013 akan disepakati dan tandatangani. Sistem PLTS dengan Incenerator juga bertentangan dengan UU No 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Kemudian, dari aspek mekanisme lelang/tender, sejak tahun 2005 proses penunjukan PT Bandung Raya Indah Lestari (BRIL) sebagai pemrakarsa oleh walikota di luar belasan pilihan teknologi yang diajukan oleh tim ahli, kemudian tahun 2007 PT BRIL membuat Feasebility Study dan Amdal yang bermasalah. Pada, proses lelang lanjutan tahun 2012-2013 dengan menyisakan tiga perusahaan yang kemudian menetapkan PT BRIL pada bulan Juli 2013 sebagai pemenang. anehnya, sebelum ditetapkan pada sebagai pemenang tender pada bulan Juli 2013, PT BRIL ditunjuk sebagai pemrakarsa pelelangan pembangunan infrastruktur pengolahan sampah berbasis teknologi incinerator berdasarkan Surat Keputusan Wali Kota Bandung No. 568.1/Kep.101-Bappeda pada tanggal 3 Januari 2012. Artinya Pemkot dan PT BRIL sudah melakukan praktik lelang yang cacat prosedur peraturan lelang. Proses pelelangan tidak dilakukan secara transparan. Ada indikasi pemerintah Kota Bandung melakukan kebohongan publik selama proses lelang berlangsung.
Menurut ahli persampahan, anggota tim penasehat bidang persampahan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) Guntur Sitorus Penetapan Badan Usaha dalam hal ini PT Bandung Raya Indah Lestari (BRIL) sebagai pemrakasa dalam pelelangan proyek PLTSa Gedebage tersebut bertentangan dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur pasal 10 butir (a) yang berbunyi : badan usaha dan badan hukum asing dapat mengajukan prakarsa proyek kerjasama penyediaan infrastruktur kepada Menteri/Kepala lembaga/Kepala Daerah dengan kriteria sebagai berikut: a. Tidak termasuk dalam rencana induk pada sektor yang bersangkutan. Artinya, andaikan terdapat tender atas sistem pengolahan sampah dengan sistem incinerator apabila telah tercantum dalam rencana induk sektor kebersihan/persampahan kota Bandung sebelumnya, maka tidak dapat dilakukan penetapan Pemrakarsa Proyek.
Kedua, pembangunan PLTSa membutuhkan biaya pembangunan infrastruktur yang sangat besar mencapai Rp 562 milyar. Selain itu, beban biaya jasa pengolahan (tipping fee) diluar biaya pengangkutan sampah yang akan dibebankan kepada rakyat/warga sangat besar. Tipping fee PLTSa kota Bandung mencapai Rp 350.000 per ton, jika sampah yang diangkut sebesar 700-1000 ton/hari maka biaya yang harus dikeluarkan mencapai Rp 245 juta-350 juta perhari atau Rp 89,5 Milyar-127,8Milyar/bulan di luar biaya pengangkutan, biaya bottom ash-fly ash ke TPA. Dari total sampah kota Bandung 1800 ton/hari, bagaimana dengan sisa sampah yang tidak bisa diolah?. Selain itu tidak ada kepastian bahwa listrik yang dihasilkan dibeli oleh PLN. Bahkan, jika sistem operasi PLTSa gagal menjadi beban siapa? kemungkinan menjadi beban anggaran pemerintah kota Bandung. Sangat dimungkinkan ke depan, biaya tarif sampah oleh pemkot akan sangat besar dan membebani warga.
Ketiga, dari aspek lingkungan hidup, PLTSa dengan menggunakan incinerator dapat menambah menjadi bencana, mengganggu kesehatan dan menjadi beban polusi udara kota Bandung dan menghasilkan zat racun berupa dioxin yang membahayakan sistem syaraf. Selain itu, tipikal sampah kota Bandung yang kebanyakan merupakan sampah organik jika dibakar membutuhkan bahan bakar tambahan seperti batu bara misalnya. sistem Incenerator menyaratkan sebuah sistem pengelolaan 3R (reduce, reuse dan recycle) yang ketat dari sumbernya, bila tidak inceneratornya akan cepat sekali rusak. Incenerator hanya bagian akhir dari sistem pengelolaan sampah (bila diperlukan) bukan sebagai solusi cepat. sampai saat ini pengelolaan sampah dikota bandung dari awal hingga akhir tidak sesuai dengan pra syarat incenerator.
Keempat, sampai saat ini, rencana pembangunan PLTSa mendapat penolakan dari warga sekitar lokasi PLTSa dan warga Bandung lainnya. Warga di pemukiman Griya Cempaka Arum (GCA) menyatakan penolakannya terhadap rencana pembangunan PLTSa bahkan warga di Cekungan Bandung pun menolak pembangunan PLTSa di Gedebage kota Bandung. Selain itu, rencana proyek Pembangunan PLTS di Kota Bandung masih dalam evaluasi Kementerian Pekerjaan Umum (PU) RI.
Kelima, penerapan pengolahan sampah melalui PLTS dengan sistem Incenerator menuai kegagalan dan menimbulkan beban keuangan yang sangat besar bagi pemerintah. Pengalaman di Kota Harrisburg Pennsylvania AS, kegagalan penerapan PLTS incenerator telah menimbulkan beban pengeluaran anggaran yang cukup besar dan menimbulkan krisis keuangan kota. Dari kegagalan ini, membakar sampah = membakar uang. selain itu, pengalaman di Cina, dampak adanya incinerator menimbulkan sebagian warga menderita penyakit syaraf otak karena polusi yang ditimbulkan terhadap warga sekitar.
Walhi Jawa Barat berpandangan bahwa solusi pengelolaan sampah Kota Bandung dan wilayah kabupaten/kota ke di Jawa Barat ke depan harus melibatkan partisipasi aktif warga dan penghasil sampah serta menguntungkan secara ekonomi terhadap warga. Beberapa solusi yang bisa dilakukan ke depan diantaranya:
- Penyusunan dan penerapan kebijakan pengolahan sampah sesuai dengan mandat Undang-Undang No 18 tahun 2008 dan PP No 81 tahun 2008 dan peraturan turunan lainnya.
- Dalam Jangka pendek, Pemrop Jawa Barat dan Pemkot Bandung harus bersinergi memperbaiki manajemen sistem TPA di Sarimukti dan TPA regional lainnya.
- Penerapan kebijakan pengelolaan sampah dengan menerapkan sistem 3R terdesentralisasi di wilayah administratif dan komunitas, dimana potensi pengelolaan oleh komunitas sangat besar.
- Pemerintah Kota Bandung harus aktif melakukan upaya pendidikan dan pemberdayaan terhadap kelompok warga/komunitas yang aktif melakukan pengelolaan sampah di warga termasuk memberdayakan keberadaan pemulung.
Berdasarkan pertimbangan alasan di atas, maka Walhi Jawa Barat menyatakan menolak kebijakan dan proyek PLTS di Kota Bandung yang melibatkan PT BRIL termasuk menolak kebijakan pembangun PLTS yang direncanakan oleh Pemerintah Propinsi Jawa Barat dan membatalkan proyek PLTS di Kota Bandung. Walhi Jawa Barat juga mengajak semua pihak untuk mendukung penolakan dan berpartisipasi aktif dalam mengurangi sampah dan melakukan upaya pengelolaan sampah dalam skala kecil di komunitas/wilayahnya masing-masing.
Bandung, 18 Agustus 2013
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Barat
Dadan Ramdan
kontak 082116759688
--
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Barat
Jalan Piit Nomor 5 Bandung 40133
Telp/Fax. +62 22 250 7740
E-mail : jabar@walhi.or.id, walhijabar@gmail.com, walhi@walhijabar.org
***********************************************************************************
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |