res: Bukan kelambangan pemerintah, tetapi adalah politik dari yang disebut pemerintah. Bukankah akan diadakan Pemilu tahun depan, jadi oknom-oknom pemerintah sibuk dalam berbagai hal yang dapat menjamin kehidupan mereka jikalau tidak lagi terpilih untuk kursi 5D – [Datang, Duduk, Diam, Dengar, Duit].
Menggebrak Kelambanan Pemerintah
Wahyu D/Naomi S | Sabtu, 05 Oktober 2013 - 12:15 WIB
(SH/Daniel Pietersz)
FESTIVAL GIM 2013 - Sejumlah dewan guru/panitia menyiapkan seluruh perlengkapan wahana dalam geladi bersih Festival Gerakan Indonesia Mengajar (GIM) 2013. Kawula muda perkotaan kelas menengah itu tak mau menunggu pemerintah.
Semakin hari semakin banyak orang muda merasa gerah pada pemerintah. Mereka tak sabar lagi untuk menunggu dan menunggu. Maka mereka memilih terjun langsung ke pelosok Tanah Air untuk mengajar murid sekolah dasar, mengirimkan buku-buku, membuatkan alat peraga di sekolah dan sebagainya.
"Mau sampai kapan kita nunggu pemerintah yang diam melihat rakyatnya begini? Ngapain kita tidak berbuat sesuatu? Kita punya kemampuan kok!". Kalimat ini meluncur dari mulut anak-anak muda yang sedang bekerja giat penuh semangat.
Adalah Shally Pristine (27), Dika (26), dan Selvani (30) yang tidak asing dengan celotehan itu. Sikap mereka mematahkan anggapan bahwa anak muda kota cuek bebek dengan lingkungan sekitarnya. Shally, Dika, dan Selvani memang tak asing dengan gemerlapnya kehidupan Kota Jakarta. Mereka tertantang untuk membangun daerah terpencil melalui kiprah sebagai guru sekolah dasar (SD).
Shally mengajar di sebuah SD di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Dika mengajar di sebuah SD di Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. Padahal, Dika lulusan Teknik Lingkungan ITB dan mantan karyawan di perusahaan tambang di Kalimantan Timur. "Saya tertantang mengajar anak di daerah," katanya. Dika dan Shally mengajar satu tahun dengan kesempatan pulang kampung 14 hari.
Adapun Selvani ikut Kelas Inspirasi, yaitu mengajar sehari di SD 03 Gandaria Utara, Jakarta. Meski cuma mengajar satu hari, bagi Selvani itu pengalaman menakjubkan. Maka sekarang ia bergabung dengan 800 kawan (panitia) menggelar Festival Gerakan Indonesia Mengajar di Ecovention Hall, Ancol, hari ini dan besok (5-6 Oktober), bertepatan dengan peringatan Hari Guru Internasional, 5 Oktober.
Yang terlibat sebagai peserta sekitar 10.000 orang. Gawe akbar ini tidak melibatkan event organizer (EO), jadi tak ada yang dibayar tapi malah membayar. Baik peserta maupun panitianya membayar iuran Rp 45.000.
Selvani adalah karyawan Bank Permata, yang sepulang dari kantor dan akhir pekan "lari" menembus kemacetan lalu lintas Jakarta menuju Jl Galuh II No 4, Kebayoran Baru, kantor Indonesia Mengajar. Tak ada kata lelah dan jenuh, adanya ketawa-ketiwi sambil bekerja menyiapkan peralatan yang akan dibawa ke acara festival di Ancol untuk kemudian dikirimkan ke daerah-daerah. Makin mendekati hari "H" ia cuti kantor dua hari.
Bukan cuma warga Jakarta kelas menengah macam Selvani yang meminati acara Relawan Kerja Bakti dalam Gerakan Indonesia Mengajar ini, tapi juga penduduk Medan, Bandung, Solo, Yogyakarta dan sebagainya.
Adapun pesertanya segala umur, bertugas membuat Kotak Cakrawala, Surat Semangat, Kemas-kemas Sains, Kartupedia, Kepingpedia, Sains Berdendang, Melodi Ceria, Video Profesi, Teater Dongeng, Aula Indonesia.
Pada Kotak Cakrawala, para peserta memilih, mengemas dan mengirimkan buku terbaik untuk rumah belajar di penjuru Nusantara. Pada Surat Semangat, mereka membagi motivasi lewat cerita inspiratif yang dituangkan dalam surat. "Sepucuk kisah darimu jadi suntikan semangat bagi anak dan pejuang pendidikan di sana," begitu bunyi brosurnya.
Semua Baik
Apa gerangan yang menggerakkan anak-anak muda ini untuk bergerak membangun Indonesia? "Kalau mau menggerakkan orang, kita harus kerja dulu memberi contoh. Rumusnya back to basic.
Tak usah berdebat panjang soal pendidikan, tapi ajak 'Ayo kerja yo siapa mau?'. Kalau mereka tak mau ikut, mungkin sudah aktif di tempat lain jadi tak usah berasumsi buruk," kata Direktur Eksekutif Indonesia Mengajar, Hikmat Hardono kepada SH, Kamis (3/10).
Menurutnya, berdebat itu penting. Namun umur anak (murid) tak bisa ditahan, sementara masyarakat malah cuma sibuk berdebat.
Oleh karena itu Indonesia Mengajar menyediakan "meja prasmanan", yang ingin makan silakan ambil sendiri dan bertanggung jawab atas apa yang diambilnya. "Prasmanan" itu berupa pilihan mengajar sehari atau setahun atau ambil bagian dalam bidang lain. Yang penting, semua relawan bekerja dengan gembira.
Festival Gerakan Indonesia Mengajar ini eksperimen untuk orang Jabodetabek yang kelas menengah ke atas, dan nyatanya mereka mau.
"Saya yakin kok, waktu seseorang dikandung ibu, doa ibu untuk anaknya baik. Kemudian orang tua mengajarkan sesuatu yang baik seperti jangan buang sampah sembarangan, kalau membeli harus antre dan sebagainya. Cuma masalahnya, kemudian yang lebih ditonjolkan yang jelek-jelek, nah kemudian sikap ini menular. Padahal sebetulnya energi positif itu ada di mana-mana," kata Hikmat.
Energi positif itulah yang dipompakan di Indonesia Mengajar. Melalui pendidikan dan pengajaran, tentu saja. Itu karena melalui pendidikanlah seseorang dapat maju dan berkembang kehidupannya. "Pada dasarnya setiap orang itu baik dan menghargai orang lain," ujar Hikmat.
Psikolog Rima Olivia juga setuju dengan pendapat bahwa setiap orang punya kecenderungan baik, bahkan kehausan untuk berbuat baik. Ketika orang itu bertemu dengan orang yang positif maka akan lebih positif dengan berbuat kebaikan. Tapi kalau dihadapkan dengan energi negatif misalnya tindakan mencerca, mengkritik dan kemarahan pada banyak hal, akibatnya orang akan jadi sinis dan apatis.
Sebaliknya, kalau ada komunitas yang membuat nyaman untuk berbuat sesuatu maka mereka yang terlibat jadi ketagihan atau mabuk karena menolong. "Meski berbuat hal kecil tapi kalau dilakukan bersama-sama, bikin nagih. Ini seperti snow ball (bola salju)," kata dia.
Rima mengungkapkan, sebaiknya yang lebih ditonjolkan di masyarakat adalah solusi, bukan problem; atau bukan problem oriented, melainkan solution oriented. Rima juga berpendapat ketika dalam pekerjaan positif bersama itu seseorang tidak dibayar maka ia akan melakukannya dengan lebih tulus dan tidak merasa capek. Tapi ketika dibayar, justru ia akan tidak maksimal melakukan.
Indonesia Mengajar memiliki lebih dari 2.500 relawan yang aktif dalam berbagai bentuk seperti pendamping taman bacaan, asesor rekrutmen Pengajar Muda, relawan Penyala dan Kelas Inspirasi, dan trainer. Untuk penggalangan dana, ada korps donatur yang menyumbang secara reguler.
Persyaratan untuk menjadi Pengajar Muda yakni lulus S-1, berusia maksimal 25 tahun, belum menikah dan mau ditempatkan di mana pun. Pengajar Muda dikirim ke 17 kabupaten di 126 sekolah dasar (SD). Setiap SD mendapat jatah diberi Pengajar Muda selama lima tahun. Masing-masing Pengajar Muda bertugas selama satu tahun di sebuah SD. Kegiatan ini dimulai sejak November 2010.
Doa Bersama
Sementara itu di kalangan para guru aktif, dalam rangka memperingati Hari Guru Internasional 5 Oktober ini mereka secara nasional melakukan doa bersama. Sekilas, tak ada yang istimewa dengan acara doa ini. Namun nyatanya, ini merupakan ekspresi puncak kekecewaan mereka terhadap pemerintah.
"Doa bersama ini hanya langkah awal kami yang selama ini menjadi korban ketidakberesan pemerintah dalam menangani guru," tegas Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Sulistiyo kepada SH, Kamis (3/10).
Sederet daftar panjang persoalan yang dihadapi guru sudah disiapkan PGRI. Bertahun-tahun PGRI mengharapkan pemerintah menuntaskannya, tapi tak pernah terealisasi. Melalui surat berkali-kali, datang langsung ke kementerian, ternyata tidak juga mempan. Menurut Sulistiyo, akan ada aksi lebih besar lagi jika tuntutan yang disebutnya sebagai hak hakiki guru tidak dikabulkan.
Karena itu, anggota DPD Komisi III ini mengharapkan aksi doa ini akan menggerakkan nurani pemerintah untuk memperhatikan nasib guru. "Kami para guru tidak ingin melakukan demo, tapi jika situasi memaksa kami sangat siap melakukan demo sangat besar. Desakan untuk demo sudah berkali-kali diusulkan guru-guru dari daerah," tegasnya.
Sebagai catatan, ribuan guru tahun lalu melakukan demo menuntut perhatian pemerintah terhadap guru honorer yang selalu diabaikan. Sulistiyo memaparkan banyak persoalan guru yang pembenahannya tidak pernah tuntas. Persoalan semakin menumpuk.
PGRI menyoroti secara nasional terjadi kekurangan 480.000 guru SD secara merata di kabupaten/kota. Rata-rata SD hanya punya tiga guru dan satu kepala sekolah. Belum lagi ketersediaan guru agama dan guru olahraga yang seharusnya tersedia di semua sekolah. Sementara di sebagian kecil sekolah di kota besar ada guru berlebih, sedangkan di daerah sangat kekurangan.
Belum lagi, kekurangan pegawai tata usaha di SD yang kelihatannya sangat sepele. Bisakah dibayangkan jika guru harus bekerja "rodi" melakukan semua kegiatan di sekolah?
Kekurangan guru di SD hingga SMA mendorong sekolah berinisiatif mengambil guru honorer atau pemda mengangkat guru honorer. Guru honorer ini yang secara nasional berjumlah 1,1 juta orang, nasibnya menyedihkan. Mereka harus rela menerima honor kurang dari Rp 500.000 per bulan. Memang ada tunjangan fungsional, namun sekitar Rp 200.000-300.000 per bulan.
"Para guru honorer ini menerima gaji sangat kecil, di bawah upah buruh. Padahal mereka banyak yang jam mengajarnya seperti guru PNS," tegas Sulistiyo. PGRI berharap pemerintah memberi perhatian dengan menaikkan tunjangan guru honorer setara guru PNS, sebab guru honorer tidak mendapat tunjangan profesi. Untuk menjadi PNS, PGRI juga rasional. Namun, guru yang memenuhi syarat sebaiknya segera diangkat jadi PNS.
Korban Politik
Di satu sisi, tunjangan profesi meningkatkan kesejahteraan guru. "Guru di DKI Jakarta kesejahteraannya sangat bagus. Tapi bagaimana dengan yang di desa-desa? Sangat jauh berbeda kondisinya," kata Sulistiyo dengan nada tinggi. Bahkan, tunjangan profesi sering terlambat berbulan-bulan. Kemendikbud dan pemda lebih sering saling lempar tanggung jawab atas keterlambatan itu.
Belum lagi, sebanyak 40.000 guru swasta kini terhambat mendapatkan impassing di Kemendikbud. Impassing merupakan penyetaraan hak atas tunjangan profesi bagi guru swasta disesuaikan dengan golongan PNS.
Kualitas guru kerap menjadi sorotan. Bahkan hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) yang dilaksanakan pemerintah menunjukkan kompetensi guru yang sudah mendapat sertifikasi secara nasional di bawah rata-rata. Kondisi ini sangat ironis. Dibandingkan dengan guru di luar negeri, mayoritas guru di Indonesia tertinggal. Belum pernah ada pelatihan peningkatan kualitas guru dari pemerintah.
Guru di Singapura bisa memperoleh pelatihan 100 jam dalam setahun. Di Malaysia, 40 jam setahun. "Di Indonesia pelatihan tidak pernah ada. Mendikbud pernah menjanjikan pelatihan bagi guru peserta UKG, nyatanya tidak pernah ada," tutur Sulistiyo.
Sederet masalah masih menanti, terutama otonomi daerah ternyata berdampak negatif bagi guru. Mereka menjadi korban politik, tindakan terhadap guru sewenang-wenang, perlindungan terhadap guru lemah. Padahal, guru harus profesional dan independen. Profesi ini mulia, namun sepi dari perhatian kecuali pada saat ada kepentingan politik