Dwi Kewarganegaraan dan Dilema Karna (Bagian 2/habis)
Indriyo Sukmono* | Kamis, 22 Agustus 2013 - 14:30:23 WIB
(dok/ist)
Ilustrasi. Tidak jarang segala cara dihalalkan dan arti kebangsaan disepelekan.
Kisah Karna telah diurai dari berbagai sudut pandang, sebagai tokoh antagonis, antagonis baik, protagonis, protagonis salah tempat salah waktu, dan abu-abu.
Terlahir dari perawan Kunti akibat mantera yang diucapkan secara coba-coba ke dewa Surya, bayi Karna dibuang ke sungai Aswa untuk menjaga keberadaan ibunya sebagai perempuan yang belum menikah. Karna kecil akhirnya ditemukan Adirata, kusir kereta di kerajaan Astina dan ia tumbuh besar dalam asuhan keluarga wong cilik.
Seperti tokoh utama lain dalam wayang, perjalanan hidup Karna penuh dengan once in a life time experience, cobaan, tempaan unik, rumit, tragis, dan menarik. Walaupun dibesarkan dalam lingkungan papa, di tubuhnya mengalir darah dewa, karena itu Karna bercita-cita menjadi satria.
Seperti Arjuna, Karna dikenal sebagai pemanah ulung. Keahlian inilah yang mempertemukannya dengan Arjuna selama adu keterampilan memanah yang diadakan padepokan Drona di hadapan punggawa Korawa dan Pandawa. Sesaat setelah Arjuna, kesayangan Drona, dinyatakan sebagai pemenangnya, Karna menyeruak di antara penonton dan menantang Arjuna sembari memamerkan keahliannya.
Dalam ajang kenegaraan ini, aturan protokoler mewajibkan pendeta istana meminta Karna memperkenalkan diri untuk memastikan bahwa ia berasal dari kelas bangsawan seperti anak didik Dorna. Seketika itu pula Karna merasakan hinanya menjadi rakyat jelata.
Duryudana, sulung keluarga Korawa yang sudah memiliki benih iri dan benci terhadap keluarga Pandawa, memanfaatkan kesempatan baik ini dengan membela dan menyelamatkan muka Karna. Pada detik itu pula ia mendesak ayahnya Dretarastra, raja Astina, untuk mengangkat martabat Karna dengan menahbiskannya menjadi raja di Angga, wilayah Astina dengan gelar Adipati.
Adirata menyambut gembira penobatan anaknya, namun ia tidak menyadari bahwa dengan demikian terkuaklah jatidiri Karna sebagai anak kusir. Sekali lagi diperlukan belaan Duryudana untuk meredam cemoohan. Drama sekejap tersebut membuat suasana memanas karena sekarang Karna telah memenuhi persyaratan kelas dan siap bertarung dengan Arjuna.
Kejadian ini merupakan titik tolak perubahan jalan hidup Karna. Dalam Bharatayudha, perang besar keluarga keturunan Baratha yaitu Korawa dan Pandawa, Adipati Karna bertempur di pihak Korawa.
Pada hari ke-16, Karna diangkat menjadi panglima perang dan pertempuran sengit dengan Arjuna dimulai. Pertempuran berlanjut keesokan harinya sampai Karna gugur di ujung panah Pasopati Arjuna dan berakhirlah perang besar di medan Kurusetra.
Hanya melalui pendalaman puluhan lakon, pertentangan pribadi Karna dan ironi di sekelilingnya tersingkap. Dalam konteks ini sedikitnya lima hal bisa menjadi dasar perenungan. Pertama, walaupun sadar dengan keistimewaan karena terlahir dari ayah seorang dewa, nama panggilan Sutaputra yang berarti anak kusir dan Radheya, dari Radha, nama ibu asuhnya memperlihatkan bahwa Karna menjunjung tinggi kehormatan.
Kedua, setelah penolakan Drona, Karna berhasil menjadi murid Parasurama yang juga guru Drona. Ketiga, kedermawanan Karna menyebabkan hilangnya kavacha dan kundala karena ia memberikannya sebagai sedekah kepada Dewa Indra yang menyamar sebagai resi yang memintanya.
Ketulusan Karna meluluhkan hati Indra dan ia dianugerahi senjata ampuh Konta. Keempat, pertolongan Duryudana membuat kepasrahan total yang tidak bisa ditawar meski lambat laun Karna sadar bahwa dalam banyak hal Korawa mengedepankan kelicikan dan kecurangan. Ikatan utang budi, jabatan, dan adu nasib membutakan mata hati.
Kelima, setelah sadar bahwa Kunti adalah ibu kandungnya yang kemudian menjadi istri Pandu dan melahirkan tiga Pandawa (Yudistira, Bima dan Arjuna), Karna bersikeras ibunya adalah Radha istri kusir kereta dan menyesalkan kejadian pembuangan bayi yang akhirnya berakibat permusuhan saudara. Namun, sebagai tanda sikap tegar dan hormat pada Kunti, Karna berikrar bahwa ia tidak akan membunuh Pandawa kecuali Arjuna. Kepahitan dan harga diri menutup pilihan hidup.
Diaspora, dalam beberapa keadaan menyerupai Karna, anak sulung bangsa yang terhisap dalam rimba perantauan. Beberapa merasa dibuang, tersisih, teraniaya, dianaktirikan, dibenci, diperas, tapi dirindukan, tergerus krisis identitas dan loyalitas.
Oportunis dan apatis. Tak jarang segala cara dihalalkan dan arti kebangsaan disepelekan. Semboyan "rejeki sama dinikmati, datang prahara ditinggal mengudara" menjadi buah simalakama. Terlintaskah kesulungan membawa kerendahan hati dan tut wuri handayani?
Sebagai masyarakat, pejabat dan wakil rakyat, tidakkah sadar sejarah kelabu telah menceraiberaikan anak bangsa; tidakkah mahfum bahwa ada kalanya nasionalisme sempit adalah rumus dan alat untuk menuding; adakah iri hati mencuat terhadap kesempatan yang bukan haknya; bukankah banyak aturan yang dibuat akhirnya berujung untuk dibengkokkan dan dilanggar; terlintaskah jiwa besar dan empati adalah senjata ampuh untuk merangkul anak yang hilang?
Perenungan adalah upaya menilik diri sendiri. Tokoh Karna dalam judul di atas tidak jelas terbaca tanpa bantuan cermin.
Hiruk pikuk wacana dwi kewarganegaraan dan pragmatisme akan segera membungkam kearifan wayang. Ketidakpedulian warisan luhur ini pun masih memungkinkan seseorang memiliki dua paspor. Ignorance rules and life goes on.
Wayang tidak pretensius. Wayang bukan preskripsi dan bukan pula instruksi. Tetapi wayang mampu menanyakan pertanyaan telak untuk jawaban tepat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
*Penulis adalah diaspora Indonesia yang menetap di New Haven, Connecticut, USA.