Politik Pangan
OLEH : Zainal A. Latar, Penulis adalah pemerhati masalah social politik
Pangan merupakan kebutuhan yang sangat mendasar bagi sebuah bangsa sehingga ukuran kesejahteraan suatu bangsa salah satunya dari ketercukupan pangannya.
Dibeberapa negara keterbatasan pangan masih menjadi masalah dan menimbulkan penyebab kelaparan, keterbelakangan mental, kekurangan gizi, gangguan kesehatan dan lainnya.
Bahkan keterbatasan pangan juga menimbulkan konflik social seperti yang terjadi dibeberapa daerah terkait perebutan lahan perkebunan oleh rakyat dan pengusaha.
Membicarakan pangan dalam negeri tidak hanya sebatas beras, umbi-umbian, kedelai, sapi dan semua yang berbau pertanian (terestrial) tetapi berbicara pangan juga tidak lepas dari hasil-hasil kelautan dan perikanan yaitu ikan, kerang, cumi, rumput laut dan biota laut lainnya yang menunjang kebutuhan konsumsi pangan dalam negeri.
Benang Kusut Bidang Pangan
Dari tahun ke tahun Indonesia selalu mengalami kerugian puluhan hingga ratusan triliunan rupiah akibat pengelolaan SDA yang tidak efektif.
Seperti yang terjadi ketika kebijakan impor beras Vietnam yang tidak sesuai dan malah menimbulkan kekisruhan lintas institusi yang bertugas dalam hal ini.
Praktek-praktek mafia pangan dan pemburu rente (rent seekers) juga harus dicegah agar tidak menimbulkan dampak negative bagi program ketahanan pangan nasional.
Kita tidak ingin pemerintah kedepan menciptakan lahan yang subur bagi pemburu rente dibidang pangan yang malah tidak efektif bahkan membunuh system perekonomian pengusaha kecil dan menegah kita.
Dibidang pertanian di tahun 2012 kita juga mengalami kerugian milyaran rupiah akibat kebijakan impor daging yang terjadi akibat kong kalikong politisi dan pengusaha nakal.
Hal yang sama juga terjadi pada dibidang kelautan, dimana negara mengalami kerugian ratusan triliun rupiah setiap tahun akibat illegal fishing.
Seperti yang dilaporkan Seketaris Ditjen PSDKP KKP Ida Kusuma Wardhaningsih baru-baru ini bahwa total kerugian negara akibat illegal fishing menjadi Rp 101.040 triliun per tahun (Investor Daily,17/4/04).
Ini yang tercatat belum lagi yang belum tercatat seperti kehilangan pendapatan dari pajak dibidang pangan oleh perusahaan-perusahaan raksasa, kerugian akibat kerusakan lingkungan dan lainnya.
Disisi lain lembaga-lembaga ekonomi kita tidak memberikan ruang yang kondusif bagi para petani dan nelayan kita.
Susahnya mendapatkan modal usaha adalah bagian lain dari benang kusut pengentasan kemiskinan. Hanya sekelompok elit tani yang berhak mengenyam subsidi dari pemerintah.
Kenapa saya sebut elit tani, karena di Indonesia sebagian besar pemilik lahan pertanian adalah para pengusaha dan konglomerat yang memperkerjakan tenaga-tenaga petani sebagai buruh tani diperkebunan-perkebunan mereka.
Mari kita tengok berapa persen petani dengan lahan 0,5ha yang mendapat kredit perbankan yang layak?
Dan coba anda lihat berapa persen jumlah elit tani yang mendapat perlakuan khusus dalam hal kredit pada lembaga-lembaga ekonomi dan perbankan di Indonesia.
Seharusnya pemerintah dapat belajar dari negara-negara yang sukses dalam mengelola bidang pangannya.
Bagaimana pemerintah harus merancang system ketahanan pangan mulai dari hulu sampai hilir.
Dimana semua pelaku pertanian dan perikanan baik skala kecil, menegah sampai besar diberikan peluang yang sama. Dan terutama pelaku usaha pertanian kecil harus bisa diproteksi sehingga tidak terlindas oleh pengusaha pertanian kelas atas (konglomerat).
Sehingga dapat tercipta iklim usaha pertanian yang adil
Selanjutnya hasil karya akademisi dan ilmuan dibidang pertanian harus diapresiasi dan bila perlu dibeli untuk kemudian disebarkan melalui advokasi dan pelatihan-pelatihan bagi petani dan nelayan sehingga dapat menumbuhkan dan meningkatkan nilai ekonomi untuk produksi lahan pertanian maupun pertambakan.
Kenapa demikian, karena tak jarang penemuan-penemuan dibidang pertanian baik penemuan varietas unggul dan metode budidaya serta teknologi penanganan pasca panen yang tidak diapresiasi pemerintah.
Ya, apresiasi yang dimaksud antara lain adalah memberikan insentive bagi penelitian lanjutan maupun memanfaatkannya untuk penerapan teknologi pada tataran praktisnya.
Keberpihakan pada budaya konsumsi masyarakat kita juga harus menjadi perhatian pemerintah kedepan bahwa setiap daerah dengan kultur panganan yang khas harus mendapat perhatian yang tak kalah serius.
Dibeberapa daerah misalnya, Sulawesi Tenggara, Maluku, Papua dan NTT yang lebih dominan makanan pokoknya seperti umbi, sagu dan jagung harusnya kebijakan pertanian didaerah-daerah ini difokuskan pada komoditi diatas ketimbang beras.
Mengapa demikian, karena selain memacu konsumsi pangan local juga bagian dari diversifikasi pangan yang berorientasi pada memperkuat ketahanan pangan itu sendiri.
Berikutnya untuk tetap menciptakan etos kerja masyarakat local pada bidang pertanian karena motivasi menanam komoditi local tetap terjaga.
Contohnya ketika masyarakat Maluku dan Papua mulai terbiasa dengan mengkonsumsi beras maka budaya konsumsi pangan local (sagu) sedikit demi sedikit akan bergeser.
Artinya bahwa realita konsumsi kedua masyarakat itu kini lebih dominan beras ketimbang sagu.
Dengan demikian maka juga mengurangi etos kerja karena petani sagu dan lainnya akan mengalami kendala pasar akibat perubahan budaya konsumsi tersebut.
Sehingga petani sagu akan beralih profesi yang belum tentu membawa harapan hidup yang baik bagi mereka.
Disisi lain kita tidak ingin memaksakan perubahan pola budidaya dari bercocok tanam sagu dan umbi-umbian menjadi bercocok tanam padi karena dari kesuburan lahan saja sudah tidak cocok.
Memang ada sebagian lahan pertanian seperti di Maluku, bisa dipakai untuk menanam padi namun tidak seberapa.
Dan juga kebanyakan masyarakat local kita agak susah diarahkan untuk merubah pola bercocok tanamnya.
Ini yang membuat masyarakat terutama diwilayah timur seperti Maluku, Papua, bahkan NTT sampai hari ini tidak banyak yang tahu cara bercocok tanam padi.
Sehingga lahan pertanian khusus padi didaerah-daerah ini yang baru dibuka harus dikelola oleh masyarakat transmigran.
Kebijakan Politik Pangan
Ditengah kondisi pengelolaan sumberdaya alam terutama dibidang ketahanan pangan yang karut-marut ini pemerintah harus bisa melakukan kebijakan politik pangan yang sesuai dan tepat sasaran dengan mempertimbangkan berbagai aspek diatas adalah pertama; kita tidak bergantung hanya pada beberapa komoditi pangan.
Contohnya seperti sekarang hampir 90 persen penduduk kita bergantung pada pangan beras.
Dengan sendirinya maka memacu pemerintah untuk tetap menyediakan stok beras yang cukup buat kebutuhan nasional dan ketika tidak mencukupi maka kebijakan impor beraspun harus dilakukan.
Kedua; tidak menciptakan masyarakat konsumtif yang menyebabkan etos kerja dibidang pertanian menjadi berkurang.
Contohnya adalah ketika diseragamkan budaya konsumsi maka petani Maluku, Papua dan NTT jadi malas bercocok tanam sagu, jagung dan umbi-umbian dan cenderung berharap pada pangan beras.
Ketiga; program diversifikasi pangan menjadi tidak terealisasi akibat penyeragaman budaya konsumsi tadi sehingga dapat menganggu ketahanan pangan kita.
Artinya kalau kita mau berjuang untuk menjadi salah satu negara dengan tingkat ketahanan pangan yang kuat maka salah satu jalannya adalah dengan memperkuat diversifikasi pangan yang salah satunya adalah tetap mempertahankan pola konsumsi dan pola bercocok tanam yang beragam yang sudah kita miliki secara turun-temurun.
Keempat; perlunya sentuhan teknologi untuk pengolahan pangan terutama sagu, jagung dan umbi-umbian serta hasil perikanan dan kelautan agar mudah diproses dan menghasilkan nilai tambah "added value" serta menciptakan beragam jenis makanan .
Kelima; perlunya perhatian khusus pemerintah terutama dalam hal kebijakan mempermudah pinjamam modal bagi petani kecil dan menegah melalui lembaga-lembaga keuangan dan perbankan sehingga dapat mendorong produktifitas petani kita.
Olehnya setelah pilpres 2014 ini kita berharap presiden yang terpilih bisa menunjukkan keberpihakannya terhadap sektor pertanian secara holistic dan harus dimulai dari kebijakan politik pangan yang kuat.
Tanpa politik pangan yang kuat yang berakar dari pola budidaya dan konsumsi kita maka yang ada hanya mengulangi praktek-praktek impor segala jenis pangan seperti yang terjadi akhir-akhir ini.(*)
Posted by: "Sunny" <ambon@tele2.se>
Reply via web post | • | Reply to sender | • | Reply to group | • | Start a New Topic | • | Messages in this topic (1) |
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup
--------------
No comments:
Post a Comment