Tuesday, June 17, 2014

[media-jabar] [Siaran Pers] Buramnya Wajah Stasiun Televisi dalam Pemilu 2014

 

Buramnya Wajah Stasiun Televisi dalam Pemilu 2014

image
Independensi Televisi Menjelang Pemilu Presiden 2014 (ba...
MediaFire is a simple to use free service for that lets you put all your photos, documents, music, and video in a single place so you can access them anywhere and s...
Preview by Yahoo
 
Penelitian Remotivi atas 11 stasiun televisi menjelang Pilpres 2014 menguatkan dugaan banyak pihak atas eksploitasi partai politik terhadap media penyiaran. Pasalnya, beberapa stasiun televisi terbukti memberikan porsi kemunculan tiap kontestan politik dengan tidak seimbang. Institusi pers tersebut mandul bekerja untuk publik karena mengabaikan prinsip-prinsip jurnalisme berupa cover both sides, tidak beropini, dan tidak mengaburkan kebenaran.

Penelitian ini mengambil data dari 11 stasiun televisi bersiaran nasional pada 1-7 Mei 2014 dan menjadikan lima tokoh yang telah dideklarasikan secara remi oleh partainya sebagai calon presiden dan wakil presiden ketika itu sebagai objek amatan. Mereka adalah Aburizal Bakrie (Capres Golkar), Prabowo Subianto (Capres Gerindra), Joko Widodo (Capres PDIP), Wiranto (Capres Hanura), dan Hary Tanoesoedibjo (Cawapres Hanura).

Eksploitasi Media Atas Nama Koalisi

Di Metro TV, Jokowi diberikan porsi kemunculan yang tinggi (secara frekuensi 74,4%, secara durasi 73,9%) dengan nada yang positif (31,3%). Bandingkan dengan rivalnya, yakni Prabowo, yang hanya mendapat 12% (frekuensi) dan 12,2% (durasi), dengan 16,7% berita bernada negatif. Selain itu, Metro TV kerap menampilkan Prabowo dengan penampilannya  yang sedang berjoged, berbeda dengan Jokowi, yang sedang bekerja, blusukan, atau berada di kawasan sebuah proyek. Temuan lain juga menunjukkan bahwa hanya Jokowi yang beriklan di Metro TV, dengan 31 spot  iklan (100%) serta durasi 931 detik (100%). Lalu, Aburizal Bakrie, yang berada pada kubu Prabowo, adalah tokoh yang paling banyak diberitakan secara negatif (53,8%) di Metro TV pada periode penelitian ini.

Kontras dengan itu, di TV One Prabowo mendapat ruang yang dua kali lipat lebih banyak ketimbang Jokowi (secara frekuensi 38,4%, secara durasi 38,2%). Begitupun Aburizal Bakrie, yang mendapat 39% (frekuensi) dan 37,7% (durasi). Sedangkan Jokowi hanya diberitakan sebanyak 15,2% (frekuensi) dan 13,4% (durasi), dengan kesemuanya bernada negatif (100%).

Yang menarik adalah, peta koalisi politik sangat menentukan peta atau arah pemberitaan masing-masing televisi. Pergerakan media hanyalah bayangan dari pergerakan politik pemiliknya. Sebagai misal, pada penelitian Remotivi sebelumnya (1-7 November 2013), ketika koalisi antara NasDem dan PDIP belum terbentuk, pemberitaan atas Jokowi di Metro TV tidak lebih dari 12%. Ini menunjukkan bahwa media massa hari ini hanya menjadi medium pertemuan antarsyahwat kekuasaan.

Agenda Televisi, Agenda Elit

Peneltian ini juga menunjukkan bahwa agenda stasiun televisi ditentukan atau disuplai oleh elit politik. Sebab, topik paling dominan yang ditemukan dalam penelitian ini adalah mengenai "koalisi partai politik" yang rata-rata lebih dari 50% di setiap stasiun televisi. Stasiun televisi gagal merumuskan dan menyeleksi agenda pembicaraan publik yang berbasis kebutuhan yang lebih luas dan beragam. Alih-alih menyediakan beragam informasi dan perspektif yang penting dan kritis sebagai bekal publik dalam menentukan pilihan politiknya, stasiun televisi malah jadi perpanjangan tangan agenda elit.

Tentu saja, informasi mengenai koalisi menjelang pilpres adalah penting bagi publik yang hendak menentukan pilihan. Namun, ketika pemberitaan koalisi partai politik diberikan porsi yang demikian besar—bahkan di atas isu-isu yang lebih bersifat publik—maka kita harus bertanya: siapa yang sebenarnya butuh koalisi? Suara siapa yang sebetulnya diwakili televisi?

Memang, ada beberapa topik publik yang melekat pada pemberitaan capres. Jokowi misalnya, dilekatkan pada topik "seputar kinerja Pemda DKI" dan Prabowo dengan topik "ketenagakerjaan". Hampir setiap pemberitaan tentang keduanya terkait dengan dua hal tersebut. Kedua topik tersebut juga terbilang isu publik. Kinerja pemda merupakan bekal publik menilai kinerja Jokowi. Sedangkan visi Prabowo mengenai ketenagakerjaan juga merupakan informasi penting bagi publik untuk menetukan pilihan politiknya.

Namun, soalnya menjadi lain ketika topik-topik publik menjadi sarana politisasi kepentingan elit pemilik media. Hal ini tampak dari tidak munculnya topik "kinerja Pemda DKI" di TV One dan ANTV. Kedua stasiun televisi milik Aburizal Bakrie tersebut sama sekali tidak membuat berita Jokowi berkaitan dengan kinerjanya selaku Gubernur DKI. Sebaliknya, TV One dan ANTV termasuk yang menyumbang paling banyak melekatkan topik "dugaan kampanye dalam soal Ujian Nasional" pada Jokowi (TV One 12% dan ANTV 33%).  Di sisi lain, besarnya porsi pemberitaan Jokowi dengan topik "kinerja Pemda DKI" di Metro TV (16,3%) juga perlu dipertanyakan: apakah dibingkai dalam kerangka publik atau pesan sponsor dari pemilik media?

Strategi pembingkaian dengan penghindaran isu juga dilakukan oleh MNC Group. Ketika banyak stasiun televisi memberitakan konflik di tubuh Partai Hanura, tidak satu pun stasiun televisi milik Hary Tanoe—yang ketika ini penelitian dilakukan masih menjabat sebagai Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Hanura—menyiarkan berita tersebut.

Lebih dari sekadar melakukan sensor informasi, televisi bahkan dijadikan alat untuk memoles citra diri pemiliknya. Praktik ini teridentifikasi, misalnya, lewat TV One yang memberikan porsi pemberitaan sebesar 3% untuk Aburizal Bakrie dengan topik "pembangunan ramah lingkungan"—sementara stasiun televisi lain tidak ada yang memberitakannya. Dilekatkannya Bakrie pada isu ramah lingkungan bisa ditafsirkan oleh publik sebagai upaya pembersihan nama Bakrie yang tersangkut kasus bencana lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur.

Temuan-temuan di atas adalah satu tanda bahwa dalam hiruk-pikuk penyiaran politik, publik diposisikan hanya sebagai penonton. Media penyiaran, yang menggunakan frekuensi publik, telah dengan sewenang-wenang dipergunakan sebagai alat elit politik. Televisi partisan jelas membahayakan demokrasi dan publik yang butuh informasi jernih sebagai alat pengambil keputusan. Televisi macam demikian jelas tak akan mampu menghadirkan informasi yang utuh dan menyeluruh, karena kemampuan itu telah lebih dulu dibunuh oleh keharusan yang lebih besar: melayani pemiliknya.

Persis, dalam kondisi seperti inilah peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai representasi publik sangat diharapkan. Rencana KPI dalam memberikan rekomendasi kepada Kemenkominfo agar TV One dan Metro TV tidak diberikan izin perpanjangan siaran adalah tindakan yang perlu diapresiasi. Meski demikian, selain perlu terus dikawal dan ditagih rencana itu, publik juga butuh tindakan yang sifatnya segara untuk menyelamatkan frekuensi publik, dari ekploitasi kepentingan privat. Dan untuk itu KPI tak bisa sendiri. Institusi negara lain seperti KPU, Bawaslu, dan Dewan Pers harus bersinergi dalam upaya mengambil sikap atas penjarahan ranah publik.  Sayangnya, sikap selaras dengan KPI inilah yang belum kita dapatkan dari tiga instutisi di atas.

Kontak:
Muhamad Heychael, Koordinator Divisi Penelitian Remotivi (0857-1532-4144)
Roy Thaniago, Direktur Remotivi (08-999-826-221)
 
--
REMOTIVI
"Hidupkan Televisimu, Hidupkan Pikiranmu"
www.remotivi.or.idTwitter | Facebook


Remotivi adalah sebuah inisiatif warga untuk kerja pemantauan tayangan televisi di Indonesia. Cakupan kerjanya turut meliputi aktivitas pendidikan melek media dan advokasi yang bertujuan (1) mengembangkan tingkat kemelekmediaan masyarakat, (2) menumbuhkan, mengelola, dan merawat sikap kritis masyarakat terhadap televisi, dan (3) mendorong profesionalisme pekerja televisi untuk menghasilkan tayangan yang bermutu, sehat, dan mendidik.

__._,_.___

Posted by: Remotivi Remotivi <remotivi@ymail.com>
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)

.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment