(dok/antara)
Fitra sedang menjelaskan tentang penggunaan anggaran oleh beberapa instansi pemerintah beberapa waktu lalu.
Korupsi besar di Indonesia selalu melibatkan anggota DPR, birokrat (eksekutif), dan pengusaha yang memanfaatkan dana APBN. Semua korupsi yang ditangani oleh KPK tak akan jauh dari keterlibatan tiga unsur tersebut.
Penegakan hukum yang dilakukan KPK memang cukup baik meskipun lebih banyak bekerja atas dasar pesanan dari tangan-tangan kekuasaan yang bermain di belakang layar.
Intervensi terhadap KPK memang tidak dilakukan langsung para tingkat anggota komisioner, tetapi terjadi pada lapisan tingkat teknis seperti penyidik yang berasal dari kepolisian dan penuntut yang berasal dari kejaksaan.
Para komisioner memang berada dalam posisi dilematis ketika penegakan hukum dilakukan tanpa tebang pilih maka mereka akan menghadapi konsekuensi kriminalisasi seperti yang dialami mantan Ketua KPK Antasari Azhar yang saat ini mendekam ruang tahanan.
KPK akan diizinkan menyeret para koruptor dari berbagai partai politik baik anggota Setgab maupun para anggota DPR dari partai oposisi.
Namun KPK tidak akan pernah diberi ruang untuk menumpas korupsi secara tuntas terutama yang menyangkut lingkaran inti kekuasaan. Dalam cara pandang seperti inilah, anggota DPR dari Partai Demokrat, Partai Golkar, PDIP, PKS atau partai lain, dan birokrat kementerian yang korup menjadi sasaran tembak KPK.
Ketidakseriusan KPK membongkar secara tuntas korupsi yang dilakukan oleh para anggota DPR, pengusaha dan birokrat kementerian terlihat dari tidak ada upaya mengejar ke mana aliran dana-dana hasil korupsi dan penerapan UU tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang tidak menyeluruh.
KPK seharusnya mengejar dana-dana hasil korupsi apakah masuk ke pundi-pundi partai politik atau sekadar ke elite-elite parpol. Hal ini harus dilakukan mengingat pelaksanaan demokrasi liberal di Indonesia membutuhkan dana besar untuk membiayainya maka hampir tidak mungkin jika korupsi yang dilakukan anggota DPR hanya dinikmati sendiri.
KPK sering menghadapi dilema jika korupsi dibongkar ke akar-akarnya karena pada akhirnya akan mengguncang kekuasaan atau pemerintah saat ini yang merupakan rezim yang korup.
Oleh karena itu KPK terjebak dalam pragmatisme politik, yakni akan melakukan penegakan hukum sepanjang tidak membahayakan kekuasaan itu sendiri. Dengan posisi seperti ini maka KPK hanya akan jadi alat kekuasaan untuk memuluskan agenda-agendanya.
Sebagai contoh pada saat Muhammad Nasarudin yang merupakan mantan bendahara umum Partai Demokrat melakukan korupsi Rp 6 triliun lebih maka KPK hanya membongkar sebagian kecil kasusnya.
Jika kasus ini dibongkar secara total maka para anggota DPR dari berbagai partai politik dan menteri-menteri Kabinet Indonesia Bersatu akan terseret. Nazaruddin telah bertindak sebagai calo/makelar dari Partai Demokrat untuk menjarah proyek-proyek APBN yang dibantu anggota-anggota DPR lainnya.
Pernyataan Ketua KPK Abraham Samad memang tak berlebihan ketika ia menyatakan jika semua korupsi dibongkar tuntas maka pemerintah akan bubar. Dana-dana korupsi dipastikan masuk ke kas semua partai politik untuk persiapan Pemilu 2014 sehingga semua partai politik pasti bersikap tahu sama tahu. KPK yang terjepit posisinya di antara partai politik memang akan lebih nyaman jika bermain aman.
Kesalahan utama memang tidak berada di tangan KPK, namun di tangan kepemimpinan nasional yang tidak memiliki arah dalam pemberantasan korupsi.
Arah yang tidak jelas bermuara dari kekuasaan yang mengabdi pada politik transaksional dan bukan menjunjung tinggi konstitusi UUD 1945. Seorang pemimpin yang berkuasa karena mengandalkan dana-dana para pengusaha maka ketika berkuasa ia akan mengembalikan sumbangan dalam bentuk proyek-proyek yang didanai APBN.
Maka tak mengherankan kenaikan anggaran APBN yang saat ini mencapai Rp 1.650 triliun tidak memiliki korelasi positif dengan kesejahteraan rakyat Indonesia pada umumnya.
Sebagian rakyat Indonesia tetap akan dihadapkan pada masalah-masalah riil seperti mahalnya harga sembako, biaya pendidikan yang mahal dan biaya kesehatan yang tinggi. Praktis hanya penduduk di lapisan atas yang menikmati peningkatan jumlah APBN sedangkan hampir separuh penduduk Indonesia tetap hidup kurang dari US$ 2 per hari.
Hal ini memang ironis APBN yang harusnya diarahkan kesejahteraan rakyat namun justru dijarah oleh semua partai politik DPR demi keuntungan mereka sendiri.
Pemimpin nasionalpun juga tidak bisa bertindak apa-apa karena dirinya dan keluarganya juga tidak bisa menjamin terbebas dari kasus-kasus korupsi. Akhirnya pidato yang penuh retorika ingin menghunus pedang memerangi korupsi sebatas perwujudan politik pencitraan.
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup
--------------
No comments:
Post a Comment