Saturday, August 31, 2013

[batavia-news] Peristiwa 1965 Bukan Tragedi

 

 
 
 
Peristiwa 1965 Bukan Tragedi
Fransisca Ria Susan | Sabtu, 31 Agustus 2013 - 14:04:29 WIB
: 302


(Foto/Antara)
Ilustrasi.
Orang Indonesia masih takut bicara peristiwa pembantaian 1965-1967.

JAKARTA – Peristiwa penculikan, penghilangan paksa, dan pembunuhan terhadap lebih dari 1 juta orang Indonesia yang terjadi dalam rentang waktu 1965-1967 bukan tragedi, karena tidak ada perang dari dua pihak yang bertikai. Pembunuhan orang-orang tersebut dilakukan sepihak, terencana, sistematis, dan ada sebuah lembaga resmi negara yang mengizinkan hal itu terjadi.
 
Kesimpulan ini muncul dalam telekonferensi tentang Keadilan Sejarah dalam Menyikapi Tragedi 1965 yang digelar The University of Melbourne bekerja sama dengan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, Jumat (30/8).

Telekonferensi ini juga melibatkan beberapa pembicara yang berlokasi di Vancouver, London, dan Kopenhagen. Telekonferensi ini menghadirkan sejarahwan, pengamat militer, intelektual, dan akademisi yang punya kepedulian terhadap peristiwa 1965, seperti Kate McGregor, Jess Melvin, Max Lane, Djin Siauw, John Roosa, Asvi Warman Adam, Hilmar Farid, Bonnie Triyana, Stanley Adi Prasetyo, dan sutradara film The Act of Killings, Joshua Oppenheimer. Hadir juga Nani Nurrachman, anak Mayor Jenderal Soetojo (salah satu jenderal yang ditemukan tewas di sumur Lubang Buaya pada Oktober 1965) dan para korban peristiwa 1965.

Hilmar Farid dalam pemaparannya mengatakan bahwa dibutuhkan sebuah laporan hak asasi manusia tentang peristiwa 1965 yang bisa diandalkan. Tanpa ini, penyangkalan bahwa peristiwa pembantaian itu pernah terjadi akan terus berlangsung. "Kita perlu meyakinkan publik yang kesadaran umumnya adalah penyangkal," ujarnya.

Hilmar melihat bahwa di ruang publik, penyangkalan terhadap kebenaran peristiwa itu muncul dalam berbagai bentuk. Salah satunya adalah menyangkal bahwa pembunuhan itu pernah terjadi atau mengatakan bahwa apa yang terjadi saat itu adalah peristiwa saling bunuh.

 
Padahal, tidak ada perang saat itu. Tidak ada dua pihak yang saling serang, tapi hanya satu pihak. "Jadi ini bukan tragedi, bukan konflik, tapi pembantaian," ungkap Hilmar. Sebelumnya, John Roosa juga menyebut hal serupa. "There's no war," ujarnya.

Mantan komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Stanley Adi Prasetyo mengatakan bahwa temuan Komnas HAM tentang peristiwa pembantaian 1965 menunjukkan secara transparan bahwa negara berperan dalam pembantaian tersebut. Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib)—institusi yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden Soaharto saat itu—bertangung jawab penuh terhadap peristiwa itu.

"Karena 'pengebonan' (tindakan meminjam tahanan-red), penyiksaaan, pemerkosaan dan pembunuhan dilakukan di detention centre;uga di sekolah-sekolah Tionghoa yang dijadikan sebagai detention centre," ungkap Stanley.

Peristiwa pembantaian 1965-1967, menurut Stanley, juga memenuhi sembilan dari 10 elemen pelanggaran HAM. "Satu-satunya yang tak terpenuhi adalah soal (pelanggaran HAM berdasarkan) warna kulit," katanya.

Minta Maaf
Joshua Oppenheimer yang berada di Kopenhagen, saat bicara dalam telekonferensi tersebut menekankan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus minta maaf terhadap peristiwa pembantaian tersebut. "Masyarakat Indonesia harus mendesak presiden untuk minta maaf. Apa yang terjadi waktu itu adalah genosida, dan itu salah," katanya.

 
Ia menyebut bahwa permintaan maaf itu akan menjadi landasan pembentukan Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi.

"Tanpa (mengetahui) truth, tidak akan ada rekonsiliasi," ujarnya. 

Film The Act of Killings yang ia sutradarai sempat memancing kontroversi karena berkisah tentang Anwar Kongo, salah seorang yang terlibat dalam operasi pembantaian para kader dan simpatisan PKI pada 1965-1967. Joshua menunjukkan dengan sangat telanjang bagaimana pembantaian tersebut memang dilakukan secara terkoordinasi dan sistematis.

Joshua mengatakan bahwa film tersebut adalah upaya dia untuk membuka mata dunia tentang apa yang terjadi di Indonesia pada saat itu. "Jangan sampai ada lagi peristiwa serupa," ujarnya.

Film tersebut, menurut Joshua, menjadi cermin bagi semua pihak. "Bukan hanya bagi Anwar Kongo,  tapi juga cermin bagi seluruh rezim dan kita semua," jelasnya.

Ia tahu bahwa sampai saat ini masih banyak orang di Indonesia yang takut bicara soal peristiwa tersebut. Rekonsiliasi, menurutnya, hanya bisa terjadi jika kita berani menghadapi ketakutan dengan menyingkap fakta yang terjadi sebenarnya.(Inno Jemabut

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
http://groups.yahoo.com/group/batavia-news
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup 
--------------
.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment