(dok/antara)
PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI. Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan (kanan) meninjau pengelolaan hutan produksi milik PT Samiento Parakantja Timber (PT Sarpatim), di Kotawaringin Timur, Kalimantan Selatan,
Hutan Desa bisa dikelola ratusan tahun oleh masyarakat adat, namun tetap merupakan hutan milik negara. Lebih lanjut Menhut menjelaskan, saat ini DPR sedang menggodok RUU Hak Ulayat dan Hak Masyarakat Adat. RUU tersebut diprakarsai Kementerian Kehutanan (Kemenhut), dan yang menjadi leader nantinya juga Kemenhut dalam pelaksanaannya (permennya).
"Sudah ada naskah akademiknya dan melibatkan kalangan ormas," ungkapnya.
Terkait petani, Menhut mengatakan petani dapat mengakses hutan produksi yang sudah tidak produktif dalam memperluas lahan pertaniannya. Namun, hal itu dalam bentuk skema Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKM), serta tanah Hak Ulayat dan Hak Adat yang tertuang dalam skema Hutan Desa (HD). "Kalau ada lahan-lahan yang bisa dikelola dari hutan produksi yang sudah tidak bagus lagi. Kita akan berikan aksesnya kepada petani," ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Anggota Komisi IV DPR, Viva Yoga Mauladi kepada SH mengatakan, saat ini DPR memang mengodok RUU Tanah Adat dan RUU tentang Konservasi Hutan. "RUU Tanah Adat digodok oleh Komisi II, sedangkan RUU Konservasi Hutan oleh Komisi IV," katanya.
Menurutnya, proses penyusunan naskah akademik mengkaji berbagai teori mengenai realitas empiris yang melibatkan satuan ormas, kampus, dan para pakar. Tujuannya, pertama, untuk keadilan sosial sebab selama ini yang punya akses untuk pinjam pakai hutan adalah pemilik modal besar, sementara masyarakat tidak punya karena tidak ada payung hukumnya.
RUU yang nantinya akan menjadi UU tersebut, akan menjadi payung hukum, sehingga memberikan akses yang sama kepada kelompok masyarakat dan bagi keperuntukan kolektif, serta meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Kedua, dalam rangka meningkatkan hutan lestari, karena jika masyarakat sudah diberi hak tidak mungkin membabat hutan, melainkan pelihara sebagai sumber mata pencaharian. Ketiga, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa hutan.
"Jadi, yang merusak hutan itu para pengusaha hitam. Sayangnya dalam RUU Pemberantasan Illegal Logging (pembalakan liar) pemerintah hanya memberikan ancaman hukum pidana bagi mereka, padahal itu kejahatan luar biasa," ungkapnya.
Dengan Cara Sendiri
Viva kembali menekankan, dalam memberantas pembalakan liar tidak boleh pandang bulu, bahkan bagi pengusaha yang telah mendapatkan izin resmi jika didapatkan melakukan hal itu, pemerintah harus segera mencoret (mem-blacklist) perusahaan tersebut dan tidak boleh diberikan hak pinjam pakai selama-lamanya.
Viva menegaskan, pembalakan liar harus masuk dalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Jika hutan rusak maka hilanglah plamsa nutfah, rusaknya ekosistem, dan sumber-sumber air.
RI tidak usah terpengaruh dengan konvensi internasional, karena Indonesia bisa lestarikan hutannya sendiri. Berbagai tekanan dari dunia internasional, hanyalah motif ekonomi politik semata.
"Kita tetap kerja sama dengan internasional tapi jangan mau ditekan. Pola-pola hibah tidak usah tergiur. Kita tetap pertahankan kelestarian hutan dengan cara kita sendiri. Kontrol ada LSM, media, DPR, masyarakat. Itu sudah cukup," katanya.
LSM jangan mau digunakan sebagai alat poitik yang seolah concern dengan pelestarian hutan, sebab mereka minta RI untuk lestarikan hutan tetapi apakah mereka mau menekan polusinya sendiri?
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup
--------------
No comments:
Post a Comment