Dana Desa yang Bikin "Ketar-ketir"

dok / SH

Minimnya pengetahuan tata cara penggunaan uang negara menghantarkan banyak kepala desa masuk penjara

"Dana desa ini bikin takut kita jadinya. Korupsi sedikit atau banyak, hukumannya sama," kata seorang kepala desa dari Jawa Tengah, di sela diskusi terbatas tentang Optimalisasi Pengawasan Keuangan Pusat dan Daerah, di Klaten, pekan lalu.

Ia menyampaikan kekhawatirannya itu setelah Hendriwan, seorang pejabat dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), menjelaskan tata cara penggunaan dan pertanggungjawaban dana desa bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang dianggap para kepala desa sangat rumit.

Pengguliran APBN ke desa merupakan amanat dari UU Desa yang disahkan beberapa waktu lalu. Rencananya, setiap desa akan menerima dana yang bersumber dari APBN pada 2015. Saat ini, Kemendagri sedang menggodok Peraturan Pemerintah (PP) tentang dana desa itu.

Menurut Hendriwan, saat menerima secara langsung dana dari APBN, otomatis desa akan menjadi objek pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Oleh karena itu, kepala desa dan perangkat desa harus memastikan dana yang mereka kelola benar-benar aman. Kecerobohan dalam penggunaan anggaran bisa digolongkan korupsi.

"Bagaimana supaya aman? Dikasih uang jangan langsung diambil. Tanya kejelasan sumbernya dari mana, setelah itu lihat perencanaannya, kewenangan, dan dasar hukumnya. Jika semua itu terpenuhi, ambil semua. Tidak apa-apa," katanya.

Untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas penggunaan anggaran desa ke depan, dibutuhkan peningkatan sumber daya manusia (SDM). "Kami akan melakukan pembinaan untuk kemajuan desa," ujarnya.

Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Muhammad Hatta mengatakan, dengan UU Desa, keuangan desa tidak akan lagi diawasi Badan Pengawasan Daerah (Bawasda). Sebaliknya, penggunaan keuangan desa akan dikawal langsung BPK. Namun, kepala desa tidak perlu ketakutan, sepanjang dana desa itu digunakan untuk niat baik demi kepentingan rakyat.  

"Bapak-bapak kepala desa tidak perlu takut. Dulu, minta anggaran desa Rp 1 miliar sampai merobohkan pagar DPR, sekarang begitu dikasih malah takut. Piye (bagaimana), tho?" katanya yang disambut tepuk tangan dan tawa ratusan kepala desa.

Ia menjelaskan, ada tiga kategori penilaian laporan keuangan dari BPK, yakni Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Wajar dengan Pengecualian (WDP), dan disclaimer. "Kalau laporannya WTP, Anda semua bisa tidur nyenyak. Kalau WDP, tidur akan kebangun-bangun. Tapi kalau disclaimer, Anda tidak akan bisa tidur karena pasti akan berurusan dengan penegakan hukum," ujarnya.

Meski demikian, BPK tidak memiliki tangan yang bisa langsung menindak. Jika ditemukan kerugian negara, temuan BPK itu akan diserahkan kepada aparat penegak hukum. "Terserah penegak hukum akan menindaklanjuti atau tidak," katanya.

Tingkatkan Ekonomi Desa

Ia menambahkan, saat ini, selain mempersiapkan SDM, desa juga harus segera mendata ulang kemiskinan.
 
Itu karena besaran dana APBN yang akan mengalir ke setiap desa tergantung besaran penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan letak geografis. Semakin banyak penduduknya, semakin banyak dana APBN yang mengalir ke desa. Demikian pula, semakin banyak angka kemiskinan, akan semakin besar dana yang mengalir ke desa.

Dari empat faktor penentu, data tingkat kemiskinan akan menjadi biang "konflik" antara pusat dengan desa. Hingga kini, Indonesia memiliki data berbeda-beda terkait tingkat kemiskinan.
 
Selama ini, data Badan Pusat Statistik (BPS) yang selalu digunakan sebagai dasar penentuan kebijakan, berbeda dengan data yang dirilis sejumlah kementerian. "Meski beda-beda, tetap data BPS yang dijadikan acuan," ujarnya.

Menurutnya, sinkronisasi data kemiskinan antara BPS dan desa diperlukan supaya tidak terjadi konflik setelah dana mengucur. "Jangan nanti sudah mengucur, baru teriak-teriak dananya tidak sesuai. Memang, data soal kemiskinan ini akan jadi potensi keributan karena data BPS kadang tidak sesuai dengan di lapangan," katanya.

Anggota VII BPK, Bahrullah Akbar menyatakan, besaran dana yang akan dikucurkan ke setiap desa berbeda-beda dengan kisaran antara Rp 700 juta-2 miliar. Dana itu diharapkan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat desa.

Ia menegaskan, porsi besar penggunaan dana itu harus diarahkan untuk belanja publik. Selama ini, uang negara lebih banyak digunakan untuk belanja modal, sehingga pembangunan terasa lambat dan pertumbuhan ekonomi masyarakat tidak terjadi.

Dalam kesempatan itu, ia mengingatkan, kepala desa dan aparatur desa tidak membebankan biaya-biaya yang tidak terkait pembangunan masyarakat desa kepada desa. Jika itu dilakukan, kesejahteraan rakyat sulit dicapai, sekalipun pemerintah pusat telah memberikan dana yang bersumber dari APBN ke desa secara langsung.

Oleh karena itu, ia menyarankan, pemerintah segera menyelenggarakan pembinaan teknis (bintek) kepada kepala desa dan aparatur desa.
 
Bintek diperlukan supaya kepala desa tidak masuk penjara karena tidak mengerti menggunakan dana desa secara transparan dan akuntabel. Tidak dapat dimungkiri, saat ini banyak kepala desa, terutama di daerah tertinggal, memperlakukan dana kas desa layaknya uang milik sendiri.