Memelihara Kaum Papa
KONSTITUSI negeri ini telah memerintahkan kepada negara untuk mengurus fakir miskin dan anak-anak telantar. Nyatanya, perintah itu tidak selamanya bisa diimplementasikan dengan baik.
Terungkapnya kasus Aisyah, seorang bocah di Medan, Sumatra Utara, yang harus menanggung beban hidup begitu berat di usianya yang masih delapan tahun menjadi fakta empiris paling nyata tentang diabaikannya perintah Undang-Undang Dasar 1945 tersebut.
Siti Aisyah Pulungan, nama lengkap bocah perempuan itu, sudah lebih dari setahun menjalani hidup di gerobak becak bersama sang ayah, M Nawawi Pulungan, 56. Setiap hari Aisyah harus mengayuh pedal becak gerobak tempat ia tinggal bersama sang ayah yang tergolek lemah di atasnya.
Sebelumnya, Nawawi berprofesi sebagai sopir. Namun, karena sakit, ia berhenti. Uang menipis, untuk mengontrak rumah pun tak sanggup, hingga akhirnya ia meniti hidup di gerobak dan Aisyah-lah yang kini
menjadi tulang punggung keluarga.
Aisyah mengayuh becak gerobak berpindah-pindah tempat sambil menunggu pemberian orang-orang yang lewat untuk membeli makanan dan obat sekadarnya bagi ayahnya yang mengidap komplikasi paru.
Keinginan Aisyah bersekolah pun harus ditanggalkan demi merawat sang ayah. Ibunya telah pergi entah ke mana saat ia berusia setahun.
Meski hidup dalam penderitaan, ia tak mau menunjukkan raut kesedihan. Aisyah bocah yang amat tegar. Ia terus memelihara harapÂan. Ia tetap ingin ayahnya sembuh dan bisa bersekolah kembali.
Kita miris, bahkan teramat miris, menyaksikan kehidupan Aisyah dan ayahnya. Yang lebih membuat kita miris, Aisyah hanyalah satu dari begitu banyak fakir miskin dan anak telantar yang semestinya dipelihara
negara. Data statistik terakhir menunjukkan sedikitnya 5 juta anak masih hidup telantar di negeri ini.
Kisah yang dialami Aisyah menunjukkan kepada kita kondisi paling nyata dari derita anak-anak telantar dan fakir miskin tersebut. Kasus Aisyah juga menunjukkan kepada kita sisi kualitatif dari jutaan angka bisu kemiskinan dan ketelantaran. Pasti banyak anak telantar dan fakir miskin yang kondisinya lebih parah daripada Aisyah yang belum terungkap.
Kita berharap datangnya respons cepat dari para pemilik otoritas untuk menangani kasus Aisyah. Dalam kaitan itu, kita mengapresiasi tindakan Plt Wali Kota Medan Dzulmi Eldin, yang membawa Nawawi dan Aisyah ke RSU Pirngadi Medan, Rabu (19/3) malam, begitu kasus Aisyah diberitakan di media massa.
Alangkah eloknya bila kepedulian dan pertolongan seperti itu telah diberikan sebelum Aisyah menggenjot becak gerobak, sebelum kasusnya mencuat di media massa, sebelum ia menderita terlalu lama.
Kasus Aisyah harus membuat seluruh penyelenggara negara mencamkan kembali perintah Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 untuk memelihara fakir miskin dan anak-anak telantar. Perintah itu tegas dan jelas. Pengabaian dan pembiaran terhadap fakir miskin dan anak telantar bisa dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
+++++
http://www.mediaindonesia.com/hottopic/read/261/Aisyah-Bocah-Berhati-Mulia-dari-Medan/2014/03/21
Aisyah, Bocah Berhati Mulia dari Medan
Tak butuh waktu lama, gerobak becak itu tiba di samping Masjid Raya Al Maksum, Medan, Sumatra Utara, tempat dia dan ayahnya mangkal di siang hari. Jika malam tiba, kaki kecil itu kembali bekerja untuk memarkirkan gerobak di depan salon dekat masjid.
Siti Aisyah Pulungan, 8, itulah nama bocah perempuan tersebut. Sudah lebih dari setahun ia menjalani hidup di gerobak bersama sang ayah, M Nawawi Pulungan, 56, yang sakit parah.
Aisyah memang masih anak-anak, tetapi ia sudah harus menanggung beban hidup begitu berat. Ia mesti menjaga dan mengurus ayahnya yang terbaring karena sakit komplikasi paru. Dengan penuh kasih sayang, ia menyuapi makanan dan mengelap badan sang ayah yang tiada daya.
Keinginannya bersekolah terpaksa ditanggalkan demi merawat ayahnya setelah sang ibu pergi entah ke mana saat ia berusia setahun. ''Tidak ada yang menjaga ayah,'' ujar Aisyah, lirih.
Meski hidup sarat penderitaan, ia tak mau menunjukkan raut kesedihan. Aisyah bocah yang amat tegar. ''Saya tidak mau apa-apa. Saya hanya ingin ayah sembuh dan saya bisa sekolah.''
Sebelumnya Nawawi berprofesi sebagai sopir. Namun, karena sakit, dia berhenti. Uang menipis, untuk mengontrak rumah pun tak sanggup, hingga akhirnya ia meniti hidup di gerobak bersama sang putri tercinta. Untuk membeli makanan dan obat sekadarnya, mereka mengandalkan pemberian orang-orang yang lewat.
''Tapi kami tidak mengemis, jika ada yang memberi, kami terima. Saya jangan... dipisahkan dengan Aisyah. Jika saya meninggal, mudah-mudahan Aisyah bertemu dengan ibunya agar bisa diurus,'' ucap Nawawi dengan napas berat.
Beruntung, bantuan datang dari Plt Wali Kota Medan Dzulmi Eldin, yang menyambangi Nawawi dan Aisyah, Rabu (19/3) malam.
Nawawi pun langsung dirawat di RSU Pirngadi. Saat ditemui di Ruang Flamboyan 18, kemarin, Aisyah duduk menemani sang ayah seakan tak ingin berpisah barang sekejap.
Keinginan Aisyah kembali bersekolah juga difasilitasi Pemkot Medan. ''Katanya besok (hari ini) sudah bisa sekolah,'' tuturnya, ceria.
Aisyah ialah teladan nyata. Ia hidup menderita, ia bagian dari lebih 4 juta anak telantar di negeri ini, tetapi tetap berhati mulia.
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup
--------------
No comments:
Post a Comment