Wednesday, April 2, 2014

[batavia-news] “Pejuang Devisa ” Dari Negara Penakut

 

res  Negara penakut ataukah negara penipu rakyat bin koruptor?
 
 

"Pejuang Devisa " Dari Negara Penakut

Feb 5, 2014

B. P. H. TAMBUNAN :  KOMITE Pengawas dan Pelindung Tenaga Kerja Indonesia (KPPTKI) serta jaringan-jaringannya di Jakarta dan di berbagai kota di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), secara khusus kerap memberi informasi pada penulis. Informasi yang sering disampaikan itu,  berkenaan peristiwa-peristiwa konyol yang menyedihkan, dan mengenaskan, terkait nasib suram buram para Tenaga Kerja Indonesia (TKI), terlebih lagi Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang pergi jauh-jauh dari kota-kota tingkat Kabupaten, Kecamatan, bahkan dari desa-desa terpencil di seluruh bumi Garuda, untuk mengais devisa ke negara-negara lain di Asia, di Eropa, bahkan Amerika Serikat.

Salah satu dari banyak informasi terkini ialah menyangkut kasus meninggalnya seorang lagi TKW di Arab Saudi. TKW yang meninggal itu bernama Ngantini binti Karto, kelahiran tanggal 29 Juni 1975. Berangkat ke Arab Saudi dengan paspor AB461091 ID TKI 5889939, dari alamatnya di Ngampel, Kebon Romo, Sragen, Provinsi Jawa Tengah. Sejak meninggal beberapa hari lalu setelah sepekan dirawat di sebuah rumah sakit setempat, hingga detik ini pada 4 Pebruari 2014, baik Duta Besar (Dubes) RI, atau pun salah seorang  pejabat tinggi dalam jajaran Kedutaan Besar (Kedubes) RI di Arab Saudi, belum pernah sejenak menampakkan batang hidungnya melakukan aksi pengurusan jenazah almarhumah Ngantini. Bahkan, pihak orangtua, atau keluarga-keluarga almarhumah Ngantini di Sragen hingga sejauh sekarang, juga belum mendapat kontak dari pihak Kedubes RI di Arab Saudi. Meniru Dubes atau petinggi-petinggi Kedubes RI di Arab Saudi yang passif itu, perusahaan  pemberangkat Ngantini bekerja ke Arab Saudi, yakni Agency Al Musharraf Man Power Service dan PT Amri Margatam menghilang tak bertanggung-jawab.

Ikhwal para TKI atau TKW yang didera masalah dari majikan-majikan yang menampungnya bekerja, nyaris setiap hari menjadi berita di berbagai media massa. Tidak cuma di media cetak, tapi juga media online. Masih segar dalam ingatan, kasus 2 (dua) orang TKI asal Kerinci, Provinsi Jambi, Iweldo Putra dan Pondri Neriko, divonnis hukuman mati atas dakwaan pencurian sebuah kotak sumbangan dari sebuah mesjid. Begitu pula, azab sengsara yang nyaris saja menghilangkan nyawa TKW bernama Sihatul Alfiah asal Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur, akibat siksaan majikannya di Taiwan, yang memaksanya terus bekerja tanpa sempat beristirahat, apalagi tidur pulas. Akhirnya, Sihatul harus masuk rumah sakit dalam kondisi koma. Dan, tak kurang pahit getirnya penderitaan TKW bernama Erwiana Sulistyaningsih, asal Ngawi, Provinsi Jawa Timur yang terpaksa menghilang dari rumah majikannya yang setiap hari menyiksanya di Hong Kong. Dengan berbagai usaha, Erwiana bisa kembali ke Ngawi. Boro-boro memboyong sejumlah besar devisa sebagai yang sebelumnya sangat diimpi-impikannya. Malah, hanya sekujur tubuhnya yang justru bisa pulang. Itu juga penuh bilur-bilur, bukti atau bekas siksaan-siksaan  yang mengazabnya selama kurun berbulan-bulan.

KEHARUSAN, DAN MUDARATNYA

ADALAH suatu kenyataan, betapa dari waktu ke waktu, untuk tak mengatakan nyaris setiap hari, para TKI dan TKW mengalir pergi keluar dari bumi Garuda, mencari pekerjaan ke berbagai negara. Para TKI dan TKW itu pergi, bisa secara resmi lewat mekanisme dan prosedur yang ditetapkan rezim pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dengan mengandalkan perusahaan-perusahaan jasa pengiriman TKI dan TKW. Tapi, karena mahalnya biaya yang perlu dan mesti disiapkan, sedangkan kepapa-miskinan tak memungkinkan para TKI dan TKW memenuhinya, membuat para TKI dan TKW menempuh jalan illegal, beresiko tinggi yang pasti    tidak menyenangkan. Jalan untuk pergi menuju ke luar negeri dilakukan darI  Tanjungbalai, Asahan, Provinsi Sumatera Utara, dari Bengkalis, Provinsi Riau, dari Batam dan Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), dari Entikong, Provinsi Kalimantan Barat, dari Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur, dan dari Sangir, Provinsi. Sulawesi Utara.

Banyak masalah yang memaksa para pria dan wanita merasa pergi dari bumi Garuda untuk mengadu nasib ke  negara-negara lain sebagai suatu keharusan. Meski untuk itu resikonya dan konsekuensinya mungkin lebih mengenaskan. Masalah-masalah yang mengharuskan itu antara lain, ialah lapangan kerja yang masih sangat terbatas, upah buruh tani dan buruh nelayan yang relatif tak layak,  begitu pula upah buruh di dunia usaha industri yang senyatanya cuma cukup untuk sekedar makan 2 (dua) kali sehari.  Ditambah lagi sesak pengabnya dan beratnya tekanan kemiskinan. Bahkan, kepapaan hidup rakyat termarjinalkan yang bermukim di pinggiran kota- kota Provinsi,  Kabupaten, Kecamatan. Terlebih pula di desa-desa yang jauh di pedalaman-pedalaman terpencil, yang sepanjang era kekuasaan rezim pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono nyaris tak pernah mendapat perhatian serius dan fokus. Artinya, bukan saja  Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri yang tidak ingin ber"blusukan"  menyambangi rakyat di desa-desa pedalaman terpencil itu. Melainkan juga Menteri Dalam (Mendagri), Gumawan Fauzi, Gubernur dan Bupati, bahkan Camat tidak pula meninjau daerah-daerah yang merupakan kantong-kantong kepapaan.

Kecuali berbagai nestapa, berupa petaka kematian atau maut jiwa dan raga, divonis hukuman mati, dan azab sengsara karena disiksa semena-mena para majikannya, yang secara langsung  menimpa diri TKI dan TKW, tak kalah mengharukan, atau menyedihkan pula resiko terkait dampak sosial atas kepergian pria dan wanita menjadi TKI atau TKW. Bisa disaksikan, betapa amat banyak anak-anak di bawah umur yang sebetulnya masih harus diasuh dan dirawat, menjadi terlantar — malahan  gentayangan seperti gelandangan dipaksa pihak-pihak tertentu untuk mencuri, atau  mengemis di jalanan di berbagai kota, setelah ditinggal ibunya yang TKW ke luar negeri. Rupanya, para keluarga yang lain, termasuk suami TKW bersangkutan, memang mustahil mampu mengurus dan merawat anak-anak tersebut, seperti dilakukan ibu kandungnya sendiri. Masalah lain, yang juga timbul ketika pria harus pergi meninggakan istrinya dan anaknya guna menjadi TKI, ialah perpecahan rumahtangga. TKI yang setiap harinya tak bersua dengan anak istri yang ditinggalnya di desa, lambat laun didera  kesepian. Lantas berhubungan dengan wanita lain penduduk setempat atau TKW yang baru dikenalnya di luar negari. Itu juga belum lagi termasuk dengan dampak sosial lainnya yang kerap mencuat ke permukaan, sebagai konsekuensi logis menjadi TKI dan TKW ke luar negeri. Tegasnya, pergi ke luar negeri hanya untuk menjadi TKI dan TKW, sangat banyak mudaratnya.

PEJUANG DEVISA

MESKI dapat dikatakan para TKI dan TKW merupakan bagian rakyat yang paling termarjinalkan, sehingga harus rela menerima resiko dan konsekuensi logis yang terburuk di negara lain, TKI dan TKW tetap berpredikat pejuang devisa bagi kepentingan bangsa dan NKRI.

Perlu disadari, sangat tidak mudah bagi para pria dan wanita untuk mengambil  suatu keputusan berupa keharusan pergi menjadi TKI atau TKW ke negara-negara lain. Dalam ini TKI dan TKW, suka atau tidak suka, dengan terpaksa meninggalkan istri atau suami dan anak-anak, yang masih membutuhkan pembinaan, pengawasan, dan kasih sayang suami dan istri bersama-sama. Lagi negara tempat bekerja yang dituju selain jauh,  juga berbeda masyarakat dan budaya.

Kepergian, atau keberangkatan menjadi TKI dan TKW ke berbagai negara terkait dengan kebijakan pembangunan nasional. Satu dan lain, karena sejak era  orde baru, hingga rezim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum benar-benar fokus mengentaskan masalah kemiskinan rakyat. Begitu pula masalah kebodohan, yang tak terpisahkan dari kemiskinan dan pendidikan.

Menurut catatan, hingga dewasa ini NKRI telah memobilisasikan sekitar sebanyak 6.8 juta TKI dan TKW di berbagai negara. Khusus di Malaysia saja bekerja sebanyak 2.5 juta TKI dan TKW, sedangkan di Arab Saudi sebanyak 1.5 juta TKI dan TKW. Sisanya, sekitar sebanyak 2.8 juta TKI dan TKW bekerja di Taiwan, di Hong Kong, di Korea Selatan, dan di negara-negara Timur Tengah lainnya. Walau terbilang sedikit, bahkan juga di negara-negara Eropa, dan Amerika Serikat. Seluruh TKI dan TKW tersebut mampu mendulang devisa sebesar Rp 72 trilyun per tahun, yang dikirimkan pada para keluarga di berbagai desa di bumi Garuda ini. Kiriman devisa para TKI dan TKW sebesar Rp 72 trilyun itu, senyatanya mampu menggerakkan ekonomi keluarga, atau sektor riil pedesaaan, malah nasional. Ketimbang koruptor-koruptor pembancak harta serta kekayaan bangsa dan NKRI, jelas jasa para TKI dan TKW sebagai pejuang-pejuang devisa, jauh lebih layak untuk harus dihargai.

NEGARA PENAKUT

MENGINGAT peran dan jasa para TKI dan TKW selaku pejuang-pejuang devisa, yang justru sangat dibutuhkan bangsa dan NKRI, seyogianya rezim pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama dengan segenap jajarannya harus secara konsisten dan sinergis senantiasa siap melindungi, membela, dan menyelamatkan setiap TKI dan TKW yang tengah menghadapi masalah, bahkan kematian di luar negeri.

Berbeda dengan pemerintah Philipina. Jika sampai terjadi masalah dan petaka terhadap warganegaranya yang bekerja di luar-negeri, pemerintah Philipina  tidak pernah membuang -buang waktu, Dengan secepat kilat, pemerintah Philipina  segera melakukan langkah-langkah yang diperlukan dalam upaya menolong, dan atau membebaskan warganegaranya. Bahkan, Presiden atau Wakil Presiden Philipina sendiri pernah langsung turun ke Kualalumpur, Malaysia, ketika seorang warganegara Philipina akan dihukum gantung.

Maka sungguh sangat disesalkan sikap  yang diekspresikan rezim pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam menghadapi para TKI dan TKW yang sedang menghadapi masalah besar terkait dengan pekerjaannya di luar negeri. Ketika kematian TKI atau TKW pun sudah terjadi yang mendera Ngantini binti Karto akibat siksaan majikannya di Arab Saudi, apalagi sekadar hanya sakit berat dan harus masuk rumah sakit, jangankan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, atau Wakil Presiden Boediono yang datang nongol menjenguknya. Menteri Tenaga Kerja, Muhaimin Iskandar, dan Menteri Luarnegeri, Marty Natalegawa, bahkan Dubes RI di Arab Saudi, saja pun tidak peduli. Terhadap beragam persoalan yang kerap menimpa para TKI dan TKW lainnya, rezim pemerintah Presiden Susila Bambang Yudhoyono tidak pernah tampak langsung segera mengambil tindakan perlindungan, pembelaan, pertolongan, dan penyelamatan yang berarti. Dengan kata lain, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kapasitas sebagai Kepala Negara, sekaligus Kepala Pemerintahan bangsa dan NKRI, seakan tidak perduli terhadap nasib malang para TKI dan TKI. Sikap yang kerap diperlihatkan rezim pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, termasuk jajaran Kedubes RI di berbagai negara, di mata bangsa-bangsa lain di dunia, dilihat sebagai watak negara penakut. Mungkin, itu sebabnya kenapa berbagai bangsa dan negara di dunia tidak lagi menghormati bangsa dan NKRI. Apalagi bangsa-bangsa dan negara-negara penerima para TKI dan TKW. ***

B. P. H. TAMBUNAN, salah seorang Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Aliansi Nasionalis Indonesia (ANINDO).

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
http://groups.yahoo.com/group/batavia-news
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup 
--------------
.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment