Mengkritisi Pemilu 2014
19 April 2014 - 09.39 WIB > Dibaca 264 kali | Komentar
PEMILU legislatif (pileg) baru saja usai. Perolehan suara masih dihitung oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun hasilnya sudah dapat ditebak, paling tidak dari hitung cepat (quick count). Saiful Mujani Research & Counsulting merilis Partai Golkar masih menguasai Provinsi Riau dengan 21 persen perolehan suara. Disusul Partai Gerindra 12,1 persen, Partai Demokrat 11,9 persen dan PDIP 11 persen.
Partai lainnya memperoleh di bawah 10 persen yakni PAN 8,4 persen, PKB 7,8 persen, Partai Nasdem 6,8 persen, PKS 6,6 persen, PPP 6,4 persen, Partai Hanura 4,2 persen, PBB 3,3 persen dan PKPI 1 persen. Dari persentase itu dapat dihitung berapa kursi yang didapat masing-masing partai di DPRD Provinsi Riau dari 65 kursi yang tersedia.
Tidak ada kejutan berarti dari pileg 2014 ini, kecuali melonjaknya perolehan Partai Gerindra. Partai besutan Prabowo Subianto ini bakal menjadi pimpinan di DPRD Provinsi Riau. Selain itu, muncul pendatang baru di legislatif yaitu Nasdem dan Hanura.
Justru yang menjadi kejutan pada pileg kali ini adalah bertebarannya politik uang (money politics). Di mana-mana tersiar kabar calon legislatif (caleg) menyogok masyarakat (pemilih) dengan uang untuk memperoleh suara.
Pada tiga kali pemilu sebelumnya di zaman reformasi (1999, 2004, 2009), politik uang tidak terlalu berkembang. Politik uang mulai terasa ketika sistem pemilu memakai suara terbanyak pada 2009. Tahun 1999 dan 2004 karena memakai sistem nomor urut, politik uang nyaris tak terjadi. Pemilih lebih cenderung memilih partai dibandingkan nama caleg. Tapi setelah sistem suara terbanyak diberlakukan tahun 2009, persaingan antar caleg makin terasa. Bahkan, di dalam partai sendiri terjadi persaingan tidak sehat. Sehingga terjadi politik uang, penggelembungan suara dan pengalihan suara. Praktik melanggar ini dipastikan memakai uang dengan melibatkan oknum penyelenggara Pemilu seperti KPPS, PPS, PPK dan KPUD.
Kenapa politik uang makin menggila? Penyebabnya, Pertama, ketatnya persaingan antarcaleg. Sebagai contoh ada 108 caleg untuk DPRD Provinsi Riau dari Daerah Pemilihan Kota Pekanbaru. Padahal kursi yang tersedia hanya 9 kursi. Artinya, ada 99 caleg yang bakal tersisih. Akibatnya, berbagai cara dilakukan caleg untuk meraup suara.
Sebenarnya persaingan ketat terjadi di tingkat caleg DPRD kabupaten/kota. Sebab, jumlah mereka cukup banyak dan dalam lingkup kecil (gabungan dua kecamatan atau lebih). Suara yang akan diraih pun tidak terlalu banyak. Paling sedikit 2.000 suara sudah lolos. Nah, dengan menyogok Rp50 ribu per pemilih, mereka hanya mengeluarkan Rp100 juta.
Kedua, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap DPR dan DPRD sudah turun ke titik nadir. Penyebabnya adalah perangai dan ulah anggota dewan itu sendiri. Di samping itu, tidak sedikit anggota dewan yang malas melakukan reses. Padahal reses bertujuan untuk mendengarkan aspirasi rakyat. Selain itu, ada juga anggota dewan —termasuk keluarganya— berubah pola hidup dan makin tak peduli.
Akibatnya, masyarakat melampiaskan ketidakpuasannya pada pileg 2014. Politik transaksional menjadi pilihan. Tanpa malu-malu masyarakat meminta apa saja kepada caleg. Mulai dari kepentingan umum seperti semenisasi jalan, pembangunan rumah ibadah dan sekolah, pos ronda, posyandu, sumur bor, rebana dan sebagainya, sampai kepada kepentingan pribadi seperti jilbab, baju seragam, sembako dan uang.
Masyarakat tidak ambil pusing dengan pendidikan, pengalaman dan moral caleg. Yang penting ada uang, suara pasti diberikan. Bahkan, jika uang terakhir lebih banyak, pilihan akan jatuh ke pemberi terakhir.
Namun banyak masyarakat yang tidak tahu dampak dari politik uang. Dampak yang paling dikhawatirkan adalah meningkatnya korupsi. Sebab, tidak sedikit uang yang telah mereka hamburkan untuk memperoleh kursi dewan. Mau tak mau, duit ini wajib dikembalikan, apalagi jika uangnya dari pinjaman atau menjual harta. Jumlah uang yang mereka keluarkan cukup besar. Untuk memperoleh kursi DPRD Provinsi Riau diperkirakan tidak kurang Rp1 miliar.
Misalkan, mereka menguasai 1.000 TPS dari 1.827 TPS di Pekanbaru. Masing-masing TPS punya 10 suara. Satu suara dibayar Rp50 ribu. Maka mereka harus mengeluarkan Rp500 juta. Belum lagi untuk membayar kordinator, membagi sembako, sosialisasi, makan minum, transportasi, kampanye dan lain-lain. Jika si caleg memberikan Rp100 ribu per kepala, maka jumlahnya bisa mencapai Rp2-3 miliar.
Lalu bagaimana mereka mengembalikan uang tersebut? Nah, di sini masalahnya muncul. Sebab, pendapatan dewan tidak sebanyak yang dibayangkan masyarakat. Gaji (uang representasi dan tunjangan jabatan) anggota DPRD Provinsi Riau hanya Rp6,5 juta. Gaji ini akan dipotong partai secara bervariasi. Di luar itu ada tunjangan komunikasi intensif dan sewa rumah. Besarnya berkisar Rp20 juta setelah potong pajak.
Jika uang itu digunakan untuk mengganti uang yang hilang, maka selama lima tahun atau satu periode baru bisa terganti. Sementara biaya hidup lain dan konstituen juga diperlukan. Karena itu, mereka harus putar otak untuk mencarinya. Dampak lain dari politik uang adalah tidak pedulinya anggota dewan dengan masyarakat yang memilihnya. Sebab, suara sudah dibeli, maka tidak ada rasa tanggung jawab lagi. Mereka akan datang kembali menjumpai warga lima tahun mendatang ketika akan membeli suara masyarakat.
Kondisi demokrasi seperti ini tidak akan berubah sepanjang sistem pemilu tidak diubah, pendidikan politik tidak berjalan, ekonomi masyarakat tidak meningkat, pendidikan, etika, moral dan agama tidak meningkat. Padahal kuncinya, moral dan agama. Sebab, kata Ustad Yusuf Mansyur, menyogok itu haram. Maka si penyogok dan penerima sogok akan makan duit haram. Anak-anaknya akan makan duit haram selama lima tahun.***
Fendri Jaswir
Politisi dan wartawan
Partai lainnya memperoleh di bawah 10 persen yakni PAN 8,4 persen, PKB 7,8 persen, Partai Nasdem 6,8 persen, PKS 6,6 persen, PPP 6,4 persen, Partai Hanura 4,2 persen, PBB 3,3 persen dan PKPI 1 persen. Dari persentase itu dapat dihitung berapa kursi yang didapat masing-masing partai di DPRD Provinsi Riau dari 65 kursi yang tersedia.
Tidak ada kejutan berarti dari pileg 2014 ini, kecuali melonjaknya perolehan Partai Gerindra. Partai besutan Prabowo Subianto ini bakal menjadi pimpinan di DPRD Provinsi Riau. Selain itu, muncul pendatang baru di legislatif yaitu Nasdem dan Hanura.
Justru yang menjadi kejutan pada pileg kali ini adalah bertebarannya politik uang (money politics). Di mana-mana tersiar kabar calon legislatif (caleg) menyogok masyarakat (pemilih) dengan uang untuk memperoleh suara.
Pada tiga kali pemilu sebelumnya di zaman reformasi (1999, 2004, 2009), politik uang tidak terlalu berkembang. Politik uang mulai terasa ketika sistem pemilu memakai suara terbanyak pada 2009. Tahun 1999 dan 2004 karena memakai sistem nomor urut, politik uang nyaris tak terjadi. Pemilih lebih cenderung memilih partai dibandingkan nama caleg. Tapi setelah sistem suara terbanyak diberlakukan tahun 2009, persaingan antar caleg makin terasa. Bahkan, di dalam partai sendiri terjadi persaingan tidak sehat. Sehingga terjadi politik uang, penggelembungan suara dan pengalihan suara. Praktik melanggar ini dipastikan memakai uang dengan melibatkan oknum penyelenggara Pemilu seperti KPPS, PPS, PPK dan KPUD.
Kenapa politik uang makin menggila? Penyebabnya, Pertama, ketatnya persaingan antarcaleg. Sebagai contoh ada 108 caleg untuk DPRD Provinsi Riau dari Daerah Pemilihan Kota Pekanbaru. Padahal kursi yang tersedia hanya 9 kursi. Artinya, ada 99 caleg yang bakal tersisih. Akibatnya, berbagai cara dilakukan caleg untuk meraup suara.
Sebenarnya persaingan ketat terjadi di tingkat caleg DPRD kabupaten/kota. Sebab, jumlah mereka cukup banyak dan dalam lingkup kecil (gabungan dua kecamatan atau lebih). Suara yang akan diraih pun tidak terlalu banyak. Paling sedikit 2.000 suara sudah lolos. Nah, dengan menyogok Rp50 ribu per pemilih, mereka hanya mengeluarkan Rp100 juta.
Kedua, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap DPR dan DPRD sudah turun ke titik nadir. Penyebabnya adalah perangai dan ulah anggota dewan itu sendiri. Di samping itu, tidak sedikit anggota dewan yang malas melakukan reses. Padahal reses bertujuan untuk mendengarkan aspirasi rakyat. Selain itu, ada juga anggota dewan —termasuk keluarganya— berubah pola hidup dan makin tak peduli.
Akibatnya, masyarakat melampiaskan ketidakpuasannya pada pileg 2014. Politik transaksional menjadi pilihan. Tanpa malu-malu masyarakat meminta apa saja kepada caleg. Mulai dari kepentingan umum seperti semenisasi jalan, pembangunan rumah ibadah dan sekolah, pos ronda, posyandu, sumur bor, rebana dan sebagainya, sampai kepada kepentingan pribadi seperti jilbab, baju seragam, sembako dan uang.
Masyarakat tidak ambil pusing dengan pendidikan, pengalaman dan moral caleg. Yang penting ada uang, suara pasti diberikan. Bahkan, jika uang terakhir lebih banyak, pilihan akan jatuh ke pemberi terakhir.
Namun banyak masyarakat yang tidak tahu dampak dari politik uang. Dampak yang paling dikhawatirkan adalah meningkatnya korupsi. Sebab, tidak sedikit uang yang telah mereka hamburkan untuk memperoleh kursi dewan. Mau tak mau, duit ini wajib dikembalikan, apalagi jika uangnya dari pinjaman atau menjual harta. Jumlah uang yang mereka keluarkan cukup besar. Untuk memperoleh kursi DPRD Provinsi Riau diperkirakan tidak kurang Rp1 miliar.
Misalkan, mereka menguasai 1.000 TPS dari 1.827 TPS di Pekanbaru. Masing-masing TPS punya 10 suara. Satu suara dibayar Rp50 ribu. Maka mereka harus mengeluarkan Rp500 juta. Belum lagi untuk membayar kordinator, membagi sembako, sosialisasi, makan minum, transportasi, kampanye dan lain-lain. Jika si caleg memberikan Rp100 ribu per kepala, maka jumlahnya bisa mencapai Rp2-3 miliar.
Lalu bagaimana mereka mengembalikan uang tersebut? Nah, di sini masalahnya muncul. Sebab, pendapatan dewan tidak sebanyak yang dibayangkan masyarakat. Gaji (uang representasi dan tunjangan jabatan) anggota DPRD Provinsi Riau hanya Rp6,5 juta. Gaji ini akan dipotong partai secara bervariasi. Di luar itu ada tunjangan komunikasi intensif dan sewa rumah. Besarnya berkisar Rp20 juta setelah potong pajak.
Jika uang itu digunakan untuk mengganti uang yang hilang, maka selama lima tahun atau satu periode baru bisa terganti. Sementara biaya hidup lain dan konstituen juga diperlukan. Karena itu, mereka harus putar otak untuk mencarinya. Dampak lain dari politik uang adalah tidak pedulinya anggota dewan dengan masyarakat yang memilihnya. Sebab, suara sudah dibeli, maka tidak ada rasa tanggung jawab lagi. Mereka akan datang kembali menjumpai warga lima tahun mendatang ketika akan membeli suara masyarakat.
Kondisi demokrasi seperti ini tidak akan berubah sepanjang sistem pemilu tidak diubah, pendidikan politik tidak berjalan, ekonomi masyarakat tidak meningkat, pendidikan, etika, moral dan agama tidak meningkat. Padahal kuncinya, moral dan agama. Sebab, kata Ustad Yusuf Mansyur, menyogok itu haram. Maka si penyogok dan penerima sogok akan makan duit haram. Anak-anaknya akan makan duit haram selama lima tahun.***
Fendri Jaswir
Politisi dan wartawan
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
http://groups.yahoo.com/group/batavia-news
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup
--------------
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup
--------------
.
__,_._,___
No comments:
Post a Comment