Republik Cabul
OLEH : Mustofa B Nahrawardaya, Aktifis Muda Muhammadiyah. Sedang menyelesaikan pendidikan Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Sungguh miris membaca berita-berita pencabulan hingga pemerkosaan yang menimpa anak-anak di Indonesia. Tragisnya, pencabulan dan pemerkosaan itu tidak hanya dilakukan kepada lawan jenis tetapi juga dilakukan kepada sesama jenis.
Pelaku perkosaan tidak terbatas pada anak muda, tetapi juga menular pada kakek-kakek.
Ada warga sipil yang menjadi pelaku, tapi oknum aparat juga ada yang ditangkap menjadi predator. Tanpa malu, mereka melakukan kegiatan secara bersama-sama, bahkan di tempat terbuka. Tidak terbatas pada WNI, beberapa WNA pun ternyata menjadi ikon para predator pedofilia ini.
Bahkan predator paedofil ulung buron FBI ternyata malah cari 'makan' selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia.
Pelaku tidak pandang usia, tidak pandang lokasi, dan tidak peduli kapan waktunya. Hampir setiap hari ada laporan korban paedofilia. Sebagian dari korban, akhirnya ada yang terjerumus juga pada kejahatan serupa saat mereka dewasa. Jika demikian adanya, sungguh mengkhawatirkan negeri ini.
Ratusan anak mungkin menjadi calon pedofil baru apabila kasus ini tidak ditangani dengan benar oleh negara. Mungkinkah negeri ini akan menjadi Republik Cabul?
Jika melihat jumlah korban,serta rentang waktu serta jumlah tersangka baik yang sudah divonis maupun yang sekarang masih dalam tahap penyidikan, tampaknya kasus ini bukan kasus baru. Apalagi, kota dimana kasus pedofilia terjadi, merata di beberapa kota tanah air.
Hanya saja, perhatian kepada kasus ini oleh Pemerintah mungkin sangat minim atau mungkin tidak ada sama sekali, yang bisa saja disebabkan oleh terpecahnya konsentrasi akibat banyaknya kasus lain yang berhasil menarik perhatian aparat untuk mengusutnya.
Di Indonesia, kasus paedofilia barangkali dianggap tidak penting. Dibanding misalnya, dengan kasus terorisme. Terbukti beberapa pelaku paedofil tidak dihukum maksimal. Padahal, dari korban para paedofil, bisa menjadi mata rantai panjang yang saling sambung-menyambung, bahkan terus menimbulkan korban baru di waktu lainnya.
Yang mengerikan barangkali, pengakuan pelaku paedofil, bahwa rata-rata semasa kecilnya juga pernah mengalami perlakuan serupa oleh pelaku yang lebih tua. Dengan demikian, jika boleh saya katakan, kasus paedofilia juga tidak kalah serius jika dibanding kasus kejahatan Extra Ordinary Crime semacam Korupsi dan Terorisme.
Pada kasus paedofil, obyek korban jelas anak-anak. Pelakunya adalah orang yang lebih tua darinya. Melihat pola kejahatannya, sangat jelas ini lebih mengerikan akibatnya dibanding jenis kejahatan lain. Parahnya, kejahatan jenis ini benar-benar sangat rumit, misterius dan kadang penanganan aparat tidak berjalan secara fair.
Cesare Beccaria (1738-1794), seorang Kriminolog Italia yang terkenal dengan bukunya Dei deliti e delle pene (Perihal Kejahatan dan Hukuman), mendeskripsikan bahwa kejahatan zina dan sodomi adalah kejahatan yang tergolong memiliki pembuktian yang cukup sulit. Cesare menyebut, pembuktian terhadap kasus ini, sering dilakukan setengah-setengah. Bahkan, kadang dibarengi dengan penyiksaan.
Apakah kematian seorang tersangka sodomi di Jakarta International School (JIS) yang mati di kantor polisi belum lama ini sebagai bukti apa yang diungkapkan oleh Cesare pada abad 17 itu? Waalhua'lam bishawab. Yang jelas, kematian seorang tersangka di kantor polisi yang mana orang tersebut diduga melakukan sodomi, faktanya telah terjadi.
Seorang Kriminolog internasional pun ternyata telah memprediksi beberapa ratus tahun silam. Karena kerumitan dan kesulitan pembuktian kejahatan jenis itu, Cesare pun berpendapat bahwa, kejahatan zina maupun sodomi lebih baik dicegah ketimbang dilakukan penghukuman setelah melakukan.
Pertanyaan berikutnya adalah: apakah Indonesia sudah melakukan pencegahan? Jawabannya tentu saja sudah. Hanya saja, perjalanan panjang untuk mencegah terjadinya kejahatan yang terkait pornoaksi, ternyata rumitnya juga luar biasa. Sebuah negara yang dulunya dimerdekakan dengan teriakan takbir dan gegap gempita segenap Rakyat Indonesia dengan segenap tumpah darahnya itu, tidak mudah mendirikan aturan pencegahan terjadinya tindak cabul.
Banyak rintangan di sana-sini, yang betul-betul menghambat dan memperlambat disahkannya aturan untuk Bangsa Indonesia yang dikenal religius tersebut. Meski ini terdengar aneh, tetapi itulah faktanya.
Bahkan, rekam jejak para perintang dan penghambat perjalanan sebuah UU pencegahan kejahatan susila ini, masih bisa dilacak melalui internet dan berita media massa hingga sekarang.
Tercatat dalam sejarah, pada 26 November 2008, setelah melalui perjalanan yang "berdarah-darah", sebuah UU untuk pembinaan moral dan akhlak bangsa telah disahkan. UU No. 44 Tahun 2008 tentang Tindak Pidana Pornografi (UU Pornografi) berhasil disahkan dan diundangkan oleh Pemerintah.
Tujuan dibentuknya UU ini sungguh elok. Di antaranya adalah untuk memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat, memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan.
Untuk itu, berbagai larangan pun ditetapkan. Misalnya, pada Pasal 4 Ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak..menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
a. Persenggamaan, termasuk perseng
gamaan yang menyimpang;
b. Kekerasan seksual;
c. Masturbasi dan onani;
d. Ketelanjangan atau tampilan yang
mengesankan ketelanjangan;
e. Alat kelamin; atau
f. Pornografi anak.
Melihat isi UU ini, sebenarnya ada harapan besar bagi Indonesia untuk mencegah timbulnya kejahatan kesusilaan seperti yang kita lihat sekarang.
Sayangnya, hingga kini UU ini sepertinya tidak menarik bagi aparat hukum. Jarang sekali terdengar di Pengadilan, adanya Pengacara, Jaksa, Hakim yang menyitir ayat demi ayat UU Pornografi ini. Ada apa?
Tidak heran apabila, banyak gambar, film, video, berisi adegan seksual anak muda, pelajar bahkan PNS bisa tersebar ke smartphone dan menyebar dengan cepatnya ke tangan-tangan yang seharusnya tidak pantas menontonnya. Anak-anak kecil yang rata-rata sudah memegang smartphone pun, tidak susah untuk mengunduh video macem ini. Salah siapa? Semua salah.
Yang menjengkelkan, sebagian gambar tersebut ternyata dibuat secara sengaja, diproduksi oleh orang yang yang sebenarnya mudah dilacak.
Sayangnya, jarang kita dengar vonis yang menjerakan bagi para pelaku. Karena tidak menjerakan, perbuatan serupa pun terus terulang, dan pengabadian gambar pornoaksi pun terus terjadi. Benar-benar menjengkelkan.
Yang lebih parah adalah, hukuman bagi pelaku zina, adegan seksual serta pornografi yang tidak menjerakan tersebut, ternyata malah dibarengi hukuman sosial yang rendah. Sudah banyak bukti, beberapa selebritis yang terlibat dalam pembuatan video porno, bahkan dia sendiri sebagai pelakunya, ternyata malah mendapatkan tempat di beberapa media televisi untuk kembali menjadi pujaan hati pemirsanya.
Para pelaku yang akhirnya bubar rumah tangganya, tampaknya sama sekali tidak menyisakan kesedihan bagi masyarakat. Kok bisa? Ya inilah Negeriku Indonesia.
Jika kondisi ini terus berlangsung, jangan kaget jika negeri ini nantinya akan dikenal sebagai Republik Cabul.
Reply via web post | • | Reply to sender | • | Reply to group | • | Start a New Topic | • | Messages in this topic (1) |
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup
--------------
No comments:
Post a Comment