(SH/Edy Wahyudi)
Suasana pemukiman warga yang sehari-hari mencari barang bekas. Mereka tinggal di pinggir rel kawasan Lenteng Agung, Jakarta, Selasa (21/5).
Banyak pihak kemudian menyebutnya sebagai gereh politik. Untuk konteks Blora, yang notabene daerah miskin, gereh adalah lauk-pauk yang paling populer, karena mayoritas masyarakat suka mengonsumsinya.
Kasus gereh tersebut telah memperpanjang daftar jenis politik uang yang menyertai perkembangan demokrasi di negeri ini.
Pada titik ini, tampaknya fenomena pelecehan kedaulatan rakyat semakin mengejawantah di banyak pelosok daerah. Artinya, rakyat semakin sering diposisikan seperti kucing-kucing lapar yang mudah dijinakkan dengan secuil ikan asin oleh elite politik yang sedang berebut kekuasaan.
Kekuatan Uang
Politik uang dengan berbagai jenis sebagai pelecehan kedaulatan rakyat sulit dihentikan, atau bahkan akan semakin marak, jika mayoritas rakyat tetap hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan kata lain, derajat demokrasi akan selalu paralel dengan derajat ekonomi rakyat; maka siapa ingin berkuasa harus punya banyak uang.
Konkretnya, siapa saja yang paling kaya dan berminat menjadi pemimpin (terutama di daerah) dianggap paling berpotensi untuk menang secara demokratis, karena kekuatan politik selalu menguasai proses demokrasi.
Dengan kata lain, kekuatan uang memang sulit dikalahkan dalam ranah demokrasi, ketika mayoritas rakyat sedang dirundung kemiskinan.
Konkretnya, jarak pandang rakyat dalam kondisi lapar sangat terbatas. Pada kondisi demikian, rakyat hanya akan bisa mengenal dan kemudian mendukung siapa pun yang mendekatinya dengan memberikan sesuatu yang dibutuhkan.
Lebih gamblangnya, kampanye politik paling efektif adalah mendekati rakyat dengan memberikan bantuan. Sekecil apa pun bantuan yang diterima rakyat akan lebih berarti. Model kampanye dengan berlomba memasang gambar besar-besaran yang tidak bisa dinikmati rakyat akan sia-sia saja.
Di banyak daerah yang relatif makmur, kekuatan uang yang dikelola dengan efektif akan tetap menarik. Misalnya, masyarakat yang relatif makmur akan cenderung mendukung kandidat yang bersedia mendanai pembangunan infrastruktur seperti jalan dan gorong-gorong yang nyata-nyata bisa dirasakan manfaatnya.
Kemiskinan Abadi
Jika pelecehan kedaulatan rakyat dibiarkan berkembang di negeri ini, efeknya bisa sama dengan memasifkan kemiskinan. Artinya, pihak yang berkuasa dan ingin memperpanjang kekuasaan akan sengaja membiarkan mayoritas rakyat hidup di bawah garis kemiskinan, agar sewaktu-waktu bisa diperlakukan seperti kucing-kucing lapar yang mudah dirayu dengan secuil ikan asin.
Pada konteks nasional, bangsa dan negara bisa saja sengaja dibiarkan tetap miskin oleh suatu rezim yang ingin berkuasa dalam jangka panjang. Konkretnya, kemenangan politik karena berhasil mendapatkan dukungan mayoritas rakyat bisa saja menjadi tanda akan abadinya kemiskinan.
Kasus rezim orde baru yang berhasil memperpanjang kekuasaan selama tiga dasawarsa lebih tanpa mengurangi angka kemiskinan secara signifikan bisa terulang lagi di masa-masa mendatang jika pelecehan kedaulatan rakyat dibiarkan semakin marak.
Oleh karena itu, jika rezim sekarang akan membagi-bagikan bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) kepada rakyat miskin sebagai kompensasi naiknya harga BBM, efeknya sangat mungkin akan mengabadikan kemiskinan juga. Pada titik ini, rakyat miskin ditindas dengan mahalnya berbagai kebutuhan hidup, tapi juga dibantu dengan uang tak seberapa secara kontinu agar hidupnya tetap miskin.
Sulit Dihentikan
Pelecehan kedaulatan rakyat juga akan sulit dihentikan dengan regulasi, selama mayoritas rakyat tetap miskin. Dengan demikian, satu-satunya cara untuk menghentikannya adalah dengan menghapus kemiskinan secara signifikan.
Konkretnya, jika rakyat sudah mampu membeli gereh sendiri tentu tidak akan mau diperlakukan seperti kucing lapar ketika hendak memilih pemimpin.
Oleh karena itu, jika memang mendambakan demokrasi berkembang lebih bermartabat di negeri ini, semua pihak harus sepakat untuk tidak memperlakukan rakyat seperti kucing-kucing kelaparan. Misalnya, BLSM diganti dengan memperbanyak akses ekonomi dan bantuan modal secara kontinu (tidak hanya ketika menjelang pemilu) yang bisa digunakan rakyat untuk mengembangkan berbagai usaha kecil.
BLSM yang diberikan secara kontinu hanya pada saat menjelang pemilu kepada rakyat miskin akan membuat rakyat miskin semakin mudah diperlakukan seperti kucing-kucing lapar, jika pada waktu bersamaan harga sembako naik dan pasar-pasar tradisional yang notabene menjadi habitat berkembangnya perekonomian rakyat digilas dengan pusat-pusat perbelanjaan modern yang notabene menjadi habitat merajalelanya investor besar.
Kini, di banyak daerah, kemiskinan cenderung semakin meluas, karena rakyat dibiarkan terjajah secara ekonomi oleh menjamurnya pusat-pusat perbelanjaan modern yang telah menggilas pasar-pasar tradisional. Pada titik ini, pelecehan kedaulatan rakyat tampaknya akan makin sulit dihentikan atau bahkan sebaliknya akan semakin marak.
Kini, BLSM akan kembali dibagikan kepada rakyat miskin terkait agenda politik menaikkan harga BBM menjelang Pemilu 2014. Dalam hal ini, Partai Demokrat yang notabene partai berkuasa tampaknya ingin mengulangi kesuksesannya merebut simpati rakyat berkat adanya pembagian BLSM.
Jika boleh menduga juga, Partai Demokrat tampaknya mengerti bahwa naiknya harga BBM akan dibenci oleh kalangan kelas menengah atas yang notabene konsumen BBM nonsubsidi.
Mereka akan dibiarkan memilih golput dalam Pemilu 2014 nanti, karena jumlah mereka kalah jauh dengan jumlah rakyat miskin yang kemungkinan besar tidak akan golput atau tetap setia mendukung partai yang berkuasa karena sebagian telah menerima BLSM.
Begitulah, demokrasi di negeri ini tampaknya akan tetap diwarnai politik uang, di tingkat nasional, provinsi, kabupaten dan desa, karena semua elite politik tampak senang-senang saja menikmati kemenangan di atas masifnya kemiskinan mayoritas rakyat.
*Penulis adalah budayawan di Kudus, Jawa Tengah.
Tapi bukan hanya dua daerah ini. MTB, MBD, dan Aru kemiskinan juga cukup parah. Sangat sulit untuk keluar dari lingkaran kemiskinan ini. Butuh upaya sangat luar biasa agar rakyat tak miskin lagi.
BPS menyebut Indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan sudah cukup parah. Pemerintah SBB dan SBT butuh suplemen jauh lebih banyak untuk bekerja mengeluarkan rakyatnya dari jeratan kemiskinan. Cukup sulit memang. Apalagi kalau alokasi anggarannya bocor dimana-mana. Bocoran itu berceceran dimana-mana. Ada teori unik, semakin kaya seorang pejabat, maka semakin miskin rakyat. Semakin banyak pejabat yang kaya raya, semakin banyak pula penduduk miskin.
Teori ini bisa dijelaskan begini? Gaji seorang kepala daerah tak lebih dari Rp 5 juta. Kalau ditambah tunjangan mungkin capai Rp20 juta sampai Rp30 juta. Kalau pendapatan ini dikalikan 12 bulan atau setahun pendapatan kepala daerah berkisar antara Rp240 juta sampai Rp360 juta. Kalau lima tahun pendapatan mereka berkisar Rp1,2 miliar sampai Rp1,8 miliar. Sementara pendapatan kepala dinas atau pejabat lainnya tentu tidak akan melebihi pendapatan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Sekarang bandingkan dengan kekayaan yang mereka miliki. Ada bupati yang punya mobil mewah seharga Rp1,2 miliar bahkan Rp 2 miliar. Kalau gunakan pendapatan dari gaji dan Tunjungan saja, maka akan habis hanya untuk beli mobil tersebut. Kenyataannya mereka setelah menjadi bupati punya rumah mewah, mobil mewah, dan punya duit miliaran rupiah di rekening. Hidup mereka mewah. Uangnya darimana? Ya dari korupsi lah. Toh banyak kepala daerah berasal dari kalangan menengah ke bawah. Bahkan ada yang tak punya rumah. Sekarang dia punya rumah mewah di luar Maluku. Luar biasa.
Jadi wajar bila, kemiskinan di kabupaten kota itu sangat akut. Karena duit negara yang harusnya dipakai untuk membangun, justru larinya ke kantong pejabat termasuk juga kepala daerah. Memang ada pembangunan, tapi tetap saja tak sesuai perencanaan. Keuntungan banyak diterima kontraktor sama pejabat. Mereka bagi-bagi uang rakyat. Rakyat tak dapat apa-apa. Akhirnya rakyat tetap miskin. Mereka tetap kaya. Kondisi inilah yang terjadi di SBB dan SBT.
Banyak pejabat kaya, rakyat di pedesaan hidupnya dibawah garis kemiskinan. Dua daerah ini hanya contoh tentang bagaimana parahnya kemiskinan di kabupaten dan kota. Para pejabat terlalu mementingkan isi perutnya, ketimbang rakyat. Tidak ada pelayanan rakyat yang gratis bagi mereka. Sekarang malah ingin menjadi gubernur. Padahal daerahnya paling parah miskinnya minta ampun. Harusnya urus dulu penduduknya yang miskin, baru ngurus daerah lain
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup
--------------
No comments:
Post a Comment