Saturday, June 15, 2013

[batavia-news] Quo Vadis Pers Indonesia?

 

 
 
Quo Vadis Pers Indonesia?
Tajuk Rencana | Sabtu, 15 Juni 2013 - 10:26:51 WIB
: 53

Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga.

Pertemuan para pemimpin redaksi di Nusa Dua Bali, pekan ini memancing kontroversi. Fasilitas yang dinikmati para pemred, nama-nama para undangan yang hadir di forum tersebut, serta rangkaian acara yang digelar, memancing pertanyaan siapa penyandang dana acara ini?
 
Apa target yang sebenarnya hendak dicapai dari forum yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono serta sejumlah pengusaha tersebut?

Forum di Bali memancing pertanyaan dari publik tentang etiskah yang dilakukan para pemimpin media itu, meskipun pers memang harus bisa menjadi kawan siapa saja.

Bahkan, ada yang mengkhawatirkan pertemuan Bali itu bisa menggerus harapan publik terhadap satu-satunya pilar penopang demokrasi yang masih tersisa, setelah legislatif, eksekutif, dan yudikatif nyaris tak bisa dipercaya.

Forum ini diinisiasi 55 pemred di Jakarta pada 18 Juli 2012 lalu. Para penggagas forum ini menyebut, ada tiga alasan yang mendorong pembentukan forum tersebut. Pertama, menjaga momentum pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi beberapa tahun terakhir.

Kedua, menjaga kebebasan pers karena penilaian bahwa kebebasan pers di Indonesia saat ini paling liberal di kawasan Asia. Ketiga, adanya semangat partisan para tokoh (termasuk pemilik media) yang sedang mengejar ambisi politik.

Pertemuan di Nusa Dua tanggal 13-14 Juni yang dihadiri 200 dari 300 pemred yang diundang, dilakukan untuk menyamakan visi para pemimpin dan pemilik media guna mendorong elemen bangsa bersatu membangun Indonesia lebih baik.

Sebuah komitmen pun ditelurkan pada hari terakhir pertemuan, berisi sembilan butir tekad insan pers membantu terciptanya sistem yang berkeadilan, menjaga kepentingan bangsa dan negara, meningkatkan kesejahteraan rakyat, serta meningkatkan martabat bangsa.

Komitmen itu didasari refleksi  15 tahun reformasi. Dunia pers nasional, selama perjalanan 15 tahun reformasi, oleh masyarakat masih dianggap tidak pro-publik, berpihak pada golongan tertentu saja, kebebasan yang kebablasan (tanpa tanggung jawab), dan hanya mengedepankan sensasi tanpa memperhatikan manfaat berita itu bagi publik.

Oleh karena itulah, pertemuan di Bali digelar untuk mengajak kalangan pers introspeksi atas kritik tersebut. Pers harus kembali pada peran mengawal dan mendorong pembangunan politik, sosial, dan ekonomi demi terwujudnya masayarakat yang adil dan makmur.

Kita menyambut baik tentang gagasan dan komitmen membangun Indonesia yang lebih baik ini, juga dorongan agar media massa bisa lebih independen dan tidak hanya menjadi corong pemiliknya serta berpihak pada golongan tertentu saja.

Namun, kita ingin mengingatkan, jika kita tidak hati-hati dalam arus besar ekonomi liberal dan politik yang terjadi saat ini, niat baik tersebut bisa jadi bumerang. Niat baik insan pers untuk lebih bersikap pro-publik akan diragukan ketika publik tak pernah diberi tahu siapa yang mendanai acara ini.

Niat baik insan pers untuk mendorong kedaulatan ekonomi nasional akan dipertanyakan ketika hanya pejabat dan pengusaha tertentu yang diundang dan hadir dalam forum Bali.

Niat baik insan pers untuk bersikap imparsial dan konsisten sebagai penyampai suara kepentingan publik akan dipandang sebelah mata, ketika komitmen publik tersebut secara simbolik diserahkan kepada presiden yang mengingatkan kita pada "kesantunan" pers era Orde Baru.

Bagaimanapun loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga. Ini adalah implikasi perjanjian media massa dengan publik. Untuk menjaga loyalitas ini maka transparansi dan pertanggungjawaban media kepada publik menjadi hal mutlak.

Di era otoritarian, pers dipaksa tunduk di bawah rezim yang bisa menginstruksikan semena-mena apa yang boleh dan tidak boleh dipublikasikan. Di era demokrasi liberal seperti saat ini, korporasi media dan para pengiklan besar di medialah yang leluasa mengontrol jenis berita apa saja yang boleh dilempar ke pasar. Pers pelan-pelan tidak lagi menyuarakan kepentingan publik.

Kondisi inilah yang terjadi di Amerika Serikat tahun 1990-an, membuat jurnalis seperti Bill Kovach dan Tom Rosenstiel gelisah. Mewawancarai 1.200 wartawan, keduanya menyusun sembilan elemen jurnalisme–yang kemudian ditambah elemen kesepuluh—yang bisa mengembalikan pers pada peran azasinya sebagai penyampai suara kepentingan publik.

Kesepuluh elemen itu adalah kebenaran, loyalitas jurnalisme kepada warga, disiplin verifikasi, independensi, pemantau independen terhadap kekuasaan, menyediakan forum bagi kritik maupun komentar dari publik, membuat hal penting menjadi menarik dan relevan, membuat berita komprehensif dan proporsional, mengikuti suara nurani, dan tanggung jawab warga terhadap berita.

Banyak elemen jurnalisme tersebut di Indonesia sudah tertampung di kode etik. Jika para insan pers konsisten dengan kode etik tersebut, "Indonesia yang lebih baik" yang dikomitmenkan dalam forum Bali tersebut sudah pasti bisa terwujud.

Kita sebenarnya tidak butuh komitmen baru untuk meyakinkan diri sendiri, bahwa kita bisa berbuat sesuatu yang baik untuk Indonesia. Jika pilar keempat itu mampu berdiri kokoh menopang bangunan demokrasi Indonesia, ia bisa jadi inspirasi bagi tiga pilar lainnya.

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
http://groups.yahoo.com/group/batavia-news
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup 
--------------
.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment