(SH/Junaidi Hanafiah)
Nur Aini terduduk lesu di sebuah warung kopi di Banda Aceh, Provinsi Aceh, Senin (27/5) sore, padahal sejumlah rekan yang duduk satu meja dengan dirinya sibuk bercengkrama sambil berdiskusi tentang berbagai isu di provinsi paling barat Indonesia.
Hanya sesekali perempuan dua anak kelahiran 1979 tersebut tertawa. Namun, tawa Nur Aini itu hanya karena terpaksa untuk tidak merusak suasana keceriaan teman-temannya.
"Kamu gelisah Aini, apakah karena pernyataan Bupati Aceh Utara yang melarang perempuan dewasa menari?" tanya salah seorang temannya sambil tertawa.
Nur Aini tidak menjawab. Dia bangkit dari duduknya dan menuju ke kamar mandi yang disediakan warung kopi. "Sepertinya Aini benar-benar gelisah setelah bupati kampungnya menyampaikan bahwa perempuan dewasa menari melanggar syariat Islam," sambung rekan Aini yang tadi.
Tidak sampai 10 menit, Nur Aini telah kembali dari kamar mandi, namun wajahnya belum bisa menghilangkan kegelisahan. "Kita pindah saja ke meja itu," ungkap Aini kepada SH sambil menunjukkan meja sedikit jauh dari hiruk pikuk penikmat kopi.
Alumni Fakultas Tarbiyah Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry Banda Aceh itu bukan perempuan biasa yang kuliah setelah itu bekerja dan menikah. Saat kuliah, Aini yang selalu menggunakan jilbab telah berkunjung ke berbagai negara untuk memperkenalkan seni tari tradisional Aceh.
Dari pengakuannya, Aini juga telah bergelut dengan seni tari sejak masih duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) di Kabupaten Aceh Utara. Saat melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, Aini juga bergabung dengan sanggar seni yang terdapat di IAIN Ar-Raniry.
"Saat kuliah, kami sudah pernah menampilkan tarian adat Aceh ke beberapa negara, seperti Malaysia, kalau diundang ke berbagai acara di Jakarta, mungkin hampir setiap tahun," ungkap Aini.
Setelah tamat kuliah, Aini menjadi guru di salah satu Madrasah Aliyah Negeri (MAN). Berbekal ilmu tentang seni tari dan musikalisasi puisi yang dia dapat saat kuliah, Aini juga mengajarkan anak didiknya menari. Tidak hanya itu, agar seni tari tradisional Aceh tidak hilang, dia juga membentuk satu sanggar seni.
Ketika SH bertanya pendapatnya tentang pernyataan Bupati Aceh Utara Muhammad Thaib yang menyebutkan akan melarang perempuan dewasa menari di depan publik karena tidak sesuai dengan syariat Islam, Aini terdiam, wajahnya kembali gelisah.
"Saya bingung, di mana salahnya tarian adat Aceh yang dimainkan oleh perempuan dewasa sehingga bupati melarang perempuan dewasa menari di depan umum? Tidak ada gerakan tarian adat Aceh yang erotis, pakaian adat Aceh juga sangat sopan, syair yang dibawa juga semuanya tentang nasihat, khususnya tentang syiar Islam," ujarnya.
Menurut Aini, dia pernah menari hampir semua tarian adat Aceh; Likok Pulo, Ranup Lampuan, Ratoh Duk, Seudati Inoeng, dan Tarek Pukat. Namun belum pernah dia menemukan tarian tersebut gerakannya erotis dan mengundang nafsu penontonnya.
"Saya juga telah menari ke berbagai daerah di Indonesia dan luar negeri, belum pernah setelah kami menari datang orang mengganggu atau bernafsu dengan kami. Mereka berdecak kagum bukan kepada kami, tetapi kepada tarian Aceh yang kami mainkan. Gerakan tarian yang membuat mereka kagum karena hal tersebut tidak jauh dari kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh," sambung Aini.
Larangan Bupati
Larangan menari di depan publik bagi perempuan dewasa yang akan diterapkan di Kabupaten Aceh Utara menurut Bupati Aceh Utara Muhammad Thaib karena perempuan dewasa menari di depan publik bertentangan dengan syariat Islam. "Perempuan menari tarian apa pun di depan laki-laki itu bertentangan dengan hukum syariah. Beda kalau yang menari itu anak-anak," ungkap Muhammad Thaib, Sabtu (25/5).
Menurut pria yang kerap disapa dengan Cek Mad tersebut, apa pun kegiatan yang melanggar syariat Islam yang sedang diberlakukan di Aceh, khususnya di Kabupaten Aceh Utara, harus dicegah, termasuk perempuan dewasa dilarang menari di depan publik. "Pada acara-acara formal pemerintahan, tarian adat untuk menyambut tamu atau kegiatan lainnya akan kita larang dimainkan oleh perempuan dewasa," sambungnya.
Cek Mad menambahkan, jika ingin menampil tarian adat saat penyambutan tamu maka akan lebih baik jika tarian itu dimainkan oleh anak-anak perempuan yang belum dewasa. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Utara menyatakan sangat setuju dan mendukung kebijakan yang dibuat oleh bupati Aceh Utara tersebut. Menurut MPU Aceh Utara, menari di depan orang banyak yang juga terdapat laki-laki bagi perempuan dewasa sama saja dengan maksiat.
"Kebijakan yang dibuat oleh bupati itu hal yang sangat positif, semua pihak khususnya ulama di Aceh Utara sangat mendukung aturan tersebut, karena Islam melarang perempuan dewasa di hadapan laki-laki, karena hal tersebut dapat mengundang pikiran macam-macam dari pria yang menyaksikan tarian tersebut," ungkap Ketua MPU Aceh Utara Teungku Mustafa Ahmad.
Namun, bagi Aini, melarang perempuan dewasa menari tarian adat Aceh sama saja dengan menghilangkan tarian tersebut dari muka bumi. "Kami tidak meminta uang kepada pemerintah untuk menjaga warisan nenek moyang. Kami terus menari karena kami sadar hanya seperti itu seni budaya Aceh akan terus bertahan," ujarnya.
Dia juga membantah jika untuk menjaga agar seni tari tradisional Aceh dapat diteruskan kepada anak-anak tanpa harus dimainkan oleh penari dewasa. Menurutnya, tidak semua tarian Aceh dapat dimainkan oleh anak-anak. Ada beberapa tarian Aceh jika dimainnya oleh anak-anak maka sangat berisiko anak-anak tersebut terluka.
Sebagian besar tarian adat Aceh merupakan hasil ciptaan sejumlah ulama saat mengembangkan Islam di berbagai daerah di Aceh. Tari Saman misalnya. Tarian ini berasal dari Kabupaten Gayo Lues yang dikembangkan oleh salah seorang ulama atau syekh saat mengembangkan Islam di daerah Gayo Lues. Tidak hanya tari Saman, tarian Likok Pulo juga tidak jauh berbeda. Tarian Likok Pulo berasal dari Pulau Aceh, Kabupaten Aceh Besar. Sesuai dengan nama, likok artinya "gerak", sementara pulo artinya "pulau". Tarian ini juga diciptakan oleh seorang ulama yang terdampar ke Pulau Aceh.
Seudati juga sama. Seudati berasal dari kata "syahadat" atau "bersaksi". Tarian yang berasal dari pantai Timur Aceh tersebut juga diciptakan oleh ulama. Sebagian besar syairnya merupakan kesaksian bahwa Tuhan itu hanya Allah dan Nabi Muhammad SAW merupakan utusan Allah SWT. Tarian tanpa musik tersebut juga mengajarkan taktik-taktik dalam perang dengan gerakan yang tidak bisa diperkirakan oleh musuh atau penonton.
"Jika ulama zaman dulu membolehkan tarian ini dimainkan, bahkan mereka menciptakan tarian tersebut, kenapa malah sekarang dilarang karena alasan tidak sesuai dengan syariat Islam. Ini kan aneh. Kami menjaga seni budaya Aceh bukan untuk mencari uang. Kami tidak kaya dan tidak akan pernah kaya dengan menari tarian Aceh. Kami melakukan ini semua hanya untuk menjaga agar anak cucu kita kenal yang mana tarian indatu atau nenek moyangnya," ujarnya.
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup
--------------
No comments:
Post a Comment