Wednesday, May 15, 2013

[batavia-news] Program Deradikalisasi Patut Dipertanyakan

 

Ref: Bagaimana bisa ada deradikalisasi kalau dijalankan politik pembodohan masyarakat. Contoh tragis ialah Pakistan  kurang lebih 60% penduduk butahuruf, mudah dihasut untuk saling bunuh-bunuhan.
 
 
 
 
Program Deradikalisasi Patut Dipertanyakan
Sabtu, 11 Mei 2013 - 11:48:37 WIB
: 183


(Foto:dok/ist)
Ilustrasi.
Program deradikalisasi di Indonesia belum maksimal dan belum terlalu tepat sasaran.

DALAM dua hari sejak Rabu (9/5) Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri berhasil menembak mati tujuh terduga teroris dalam sebuah penyergapan di Bandung, Kebumen, Batang, Kendal, Tangerang, dan Jakarta. Densus juga sukses menangkap hidup-hidup 13 terduga teroris lainnya.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Boy Rafli Amar menyebutkan, terduga teroris yang tewas maupun yang tertangkap masih merupakan sisa-sisa dari Kelompok Abu Omar, penyuplai senjata api dari Filipina ke Tanah Air dan Autat Rawa, pemimpin teroris wilayah Sulawesi dan Kelompok Abu Roban yang selama ini bertugas mendanai kelompok teroris di Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng) pimpinan Santoso alias Abu Wardah.

Kita memuji keberhasilan Densus 88 mengungkap kasus terorisme di Tanah Air. Kita mengacungkan jempol untuk kesuksesan itu. Namun, kita pun bertanya: apakah sudah serius persoalan terorisme di negeri ini sehingga setiap saat selalu saja muncul pengungkapan kasus itu? Apakah isu terorisme sudah menyamai kasus narkoba yang tiada hari tanpa penangkapan?

Bahkan, yang membuat kita kaget ternyata kelompok terduga teroris itu juga memiliki sejumlah bahan peledak termasuk senjata api seperti senjata api jenis FN, revolver, puluhan butir peluru tajam, magazin termasuk juga amunisi. Kondisi ini jelas membuat masyarakat khawatir: jangan-jangan di sekitar kita jaringan teroris sudah bermutasi.

Kita berharap pengungkapan serangkaian kasus terorisme adalah benar adanya. Dengan demikian, masyarakat pun menganggap tindakan Densus 88 Antiteror Polri dengan menembak mati terduga teroris bisa diterima dengan akal sehat tanpa patut dicurigai. Namun, hal itu pun tetap dengan penjelasan yang terbuka, transparan dan disertai dengan bukti-bukti yang kuat. Tidak asal membela diri dengan alasan terduga teroris dihabiskan karena melawan petugas dengan senjata api. Kita juga menaruh kepercayaan kepada Polri bahwa pengungkapan kasus terorisme terkini itu bukan komoditas politik untuk mengalihkan sejumlah isu nasional yang tengah naik daun dan menjadi perhatian publik.

Namun, lepas dari itu, kita patut juga mempertanyakan program deradikalisasi yang selama ini diklaim pemerintah sudah dilakukan untuk mencegah kembali terjadinya aksi terorisme. Jujur saja anggaran untuk program itu pun sudah mengalir dari APBN. Program deradikalisasi diawali oleh tim polisi yang menangani kasus teroris yang mulanya bernama Tim Investigasi Bom Bali lalu Satuan Tugas Bom kemudian Densus 88. Program ini bertujuan agar yang pernah terlibat dengan kasus teroris tidak lagi mengulanginya dan yang belum pernah terlibat tidak melakukannya.

Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Irfan Idris dalam sebuah kesempatan menyebutkan, program deradikalisasi memiliki lingkup yang luas. Pada 2013 program ini tidak hanya menjangkau di pesantren, namun juga di tempat-tempat beribadah, lembaga pendidikan agama, perguruan tinggi, SMA, dan SMP.

Namun, buktinya hingga kini kasus terorisme masih saja terjadi. Kita menduga hal itu karena program deradikalisasi di Indonesia belum maksimal dan belum terlalu tepat sasaran. Program itu memang harus dilakukan ekstra hati-hati. Jika tidak, program deradikalisasi bisa menjadi salah satu pemicu munculnya radikalisme baru.

Dr Carl Ungerer, peneliti dari Australian Strategic Policy Institute pernah menyebut, 30 persen narapidana teroris di Indonesia tidak mempan deradikalisasi. Akibatnya beberapa napi teroris masih berniat melakukan teror setelah bebas dari penjara. Temuan Ungerer masuk akal. Ini karena deradikalisasi yang selama ini dilakukan masih dinilai sporadis. Deradikalisasi yang sudah berjalan ini masih banyak kelemahan, walaupun tidak bisa dikatakan tidak ada manfaatnya. Kelemahannya antara lain karena dilakukan sporadis dan tidak terintegrasi. Karena itu, perlu proses deradikalisasi yang tepat agar persoalan terorisme dan paham radikal di Indonesia bisa terselesaikan dengan tepat.

Intinya: selama Densus 88 Antiteror Polri masih saja mengungkap kasus-kasus terorisme maka hal ini sudah merupakan bukti bahwa program deradikalisasi yang dijalankan selama ini belum maksimal dan agaknya perlu dievaluasi sehingga suksesi teroris di negeri ini tidak terus berlangsung; dan, yang penting adalah sebuah kejujuran di balik setiap pengungkapan kasus terorisme di negeri ini. (*)        
Sumber : Sinar Harapan

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
http://groups.yahoo.com/group/batavia-news
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup 
--------------
.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment