(dok/AP Photo)
"Serangan terhadap gereja itu sama dengan menyerang diri saya." Begitulah bunyi pernyataan resmi dari Presiden Mesir Mohamad Mursi terkait penyerangan Gereja Katedral Koptik yang menewaskan satu orang pada Minggu, 7 April 2013.
Presiden Mursi segera memerintahkan agar dilakukan penyelidikan atas peristiwa tersebut. Mursi juga memerintahkan penyelidikan menyeluruh terkait bentrokan sektarian yang terjadi setelah pemakaman warga Koptik yang tewas itu.
Berbeda sekali dengan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang selama ini gemar berpidato tentang toleransi dan harmoni. Pada perayaan Jubileum 150 Tahun HKBP di Gelora Bung Karno, Senayan, 4 Desember 2011, misalnya, SBY mengatakan bahwa kemajemukan agama dan suku merupakan kekayaan dan kekuatan bangsa yang harus disyukuri dan dijaga.
Karena itu, bangsa Indonesia harus senantiasa menyemai benih-benih toleransi dalam kehidupan bersama. SBY menyatakan, tidak boleh ada kelompok mana pun yang memaksakan kehendaknya.
Pada perayaan Natal Nasional, 27 Desember 2012 di Jakarta Convention Centre, SBY berkata: "Kita harus senantiasa menjunjung tinggi prinsip humanisme, pluralisme, persaudaraan, kerukunan, dan kekeluargaan. Sebaliknya, kita harus menghindarkan diri dari pemaksaan kehendak. Agama juga tidak boleh menjadi tameng untuk memperjuangkan kepentingan sempit golongan. Kita semua percaya bahwa bangsa kita akan tetap menjadi bangsa yang besar, jika nilai-nilai agama diamalkan secara benar oleh setiap pemeluknya."
SBY benar, kita harus senantiasa merawat kemajemukan dan menyemai benih-benih toleransi. Tapi, apa yang terjadi sekaitan kasus GKI Yasmin?
Sudah bertahun-tahun berjuang untuk dapat menikmati haknya beribadah di tanah dan gedung miliknya sendiri, faktanya hingga kini jemaat GKI Yasmin masih harus beribadah di rumah warga dan di depan Istana Negara secara bergantian karena Wali Kota Bogor tetap menyegel rumah ibadah mereka.
Kasus ini sudah diputuskan oleh Mahkamah Agung (MA) tahun 2009 untuk "kemenangan" GKI Yasmin. Selain itu, Ombudsman RI, sebagai lembaga yang bertugas mengawasi setiap bentuk mal-administrasi dalam pelayanan publik oleh pemerintah, pada 8 Juli 2011 telah mengeluarkan rekomendasi agar Wali Kota Bogor menganulir keputusannya yang mencabut Izin Mendirikan Bangunan (IMB) GKI Yasmin. Namun hingga kini, Wali Kota Bogor tetap membangkang.
Ironisnya, negara yang dikepalai oleh SBY seakan membiarkan masalah ini berlarut-larut hingga kini. Seolah Indonesia bukan negara hukum (rechsstaat), sehingga putusan MA dan rekomendasi Ombudsman bisa diabaikan begitu saja.
Setara Institute mencatat, sepanjang 2011, SBY telah 19 kali berpidato untuk menyampaikan pesan toleransi. Dalam pertemuannya dengan pemimpin persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan pemimpin gereja-gereja Papua, di kediaman SBY, Puri Cikeas, Jawa Barat, 16 Desember 2011, SBY berjanji untuk turun-tangan langsung menyelesaikan kasus GKI Yasmin.
Faktanya, hingga Minggu 9 Juni 2013, jemaat GKI Yasmin masih tak dapat menikmati hak asasi mereka untuk beribadah di rumah ibadah mereka yang sah. Tak heran jika salah seorang aktivis perempuan, Ratna Sarumpaet, pernah berkata agar SBY berhenti berwacana dan memperbaiki kinerjanya sebagai kepala negara/pemerintahan.
Masih menurut Setara Institute, tahun 2012 terjadi 264 tindak kekerasan terhadap kelompok agama minoritas dan 371 peristiwa kekerasan atas nama agama. Jumlah tersebut mengalami kenaikan dibanding tahun 2010.
Pada 2012, Parlemen Eropa bersuara menyoroti peristiwa kekerasan agama di Indonesia melalui sebuah resolusi yang mengungkapkan keprihatinan serius atas rangkaian serangan terhadap umat Kristen dan jemaah Ahmadiyah.
Resolusi itu dikeluarkan pada 8 Juli 2011, yang menguraikan "keprihatinan serius atas peristiwa kekerasan terhadap agama-agama minoritas, khususnya Ahmadiyah, Kristen, Bahai dan Buddha". Resolusi itu juga menyerukan untuk merevisi atau mencabut Peraturan Bersama Menteri Tahun 2008 tentang Pelarangan Penyebaran Ajaran Ahmadiyah.
Mitro Repo, seorang anggota Parlemen Eropa dari Finlandia mengatakan: "Meski ideologi Pancasila telah menjadi sebuah model yang bagus bagi pluralisme, kerukunan budaya, kebebasan beragama dan keadilan sosial, namun masih ada keprihatinan mendalam atas peraturan tentang penghujatan, bidaah dan fitnah agama yang disalahgunakan. Peraturan seperti itu tidak memiliki tempat dalam sebuah negara yang menghormati hak asasi manusia dan berdialog terbuka dengan masyarakat sipilnya."
Resolusi serupa juga disampaikan oleh badan-badan legislatif di Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Swedia yang menyoroti kekerasan terhadap agama-agama minoritas di Indonesia. Stuart Windsor, utusan khusus Christian Solidarity Worldwide (CSW) mengatakan: "Kami mendesak pemerintah Indonesia menegakkan pluralisme agama, kebebasan, dan kerukunan yang membanggakan dalam bingkai filosofi Pancasila, untuk meningkatkan perdamaian di antara kelompok agama yang berbeda, dan mengatasi ekstremisme agama dan kekerasan."
Seperti diketahui dalam beberapa tahun belakangan telah terjadi peristiwa terhadap Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), yang berpuncak pada pembunuhan tiga anggota komunitas itu oleh gerombolan massa berjumlah kira-kira 1.500 orang di Cikeusik, Pandeglang, Banten, Minggu 6 Februari 2011.
Kita bertambah prihatin karena hukuman yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Serang, Banten, terhadap para pelaku aksi brutal itu begitu ringannya. Bayangkan, dari 12 pelaku, vonis paling tinggi hanya 6 bulan penjara dan terendah 3 bulan penjara.
Tak heran jika karena banyaknya fenomena intoleransi itu, Indonesia juga disorot oleh 75 negara dalam forum Universal Periodic Review (UPR) 2012 yang diselenggarakan Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, 23 Mei 2012. Setidaknya ada 20 rekomendasi yang disampaikan untuk Indonesia sehubungan dengan masalah intoleransi ini.
Terkait itulah banyak pihak dan kalangan di dalam negeri menyatakan keberatan atas World Statesman Award yang diberikan oleh The Appeal of Conscience Foundation (ACF) kepada Presiden SBY, pada 31 Mei lalu. Objektifkah organisasi berbasis di New York, AS, yang mempromosikan perdamaian, demokrasi, toleransi, dan dialog antarkepercayaan itu dalam menilai kinerja pemerintah SBY?
Seakan menyadari banyak yang mengkritik dirinya, SBY mengatakan bahwa penghargaan itu bukan semata untuknya, melainkan untuk bangsa Indonesia. Pertanyaannya, kalau SBY jujur dengan ucapannya itu, mengapa dia tak mendengar suara-suara dari tokoh bangsa seperti Franz Magnis Suseno (pastor Katolik dan guru besar Filsafat) dan Adnan Buyung Nasution (mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden)? Lebih penting manakah bagi SBY: dihargai oleh pihak asing atau bangsa sendiri?
Setelah lebih dari seminggu penghargaan itu diterima SBY, adakah perubahan signifikan terkait kebebasan beribadah dan menggunakan rumah ibadah di dalam negeri? "Untuk kesekian kalinya kami beribadah di depan Istana," ujar Juru Bicara GKI Yasmin, Bona Sigalingging, 9 Juni 2013. Bona menjelaskan, pengurus gereja telah mengirim surat resmi kepada Presiden SBY tertanggal 1 Juni 2013. Surat itu, dengan merujuk pada pidato SBY, meminta Presiden membuka gembok dan segel gereja yang dipasang Wali Kota Bogor secara ilegal hingga kini.
Menurut Bona, SBY harus membuktikan kesungguhan pidatonya yang antara lain berjanji akan lebih meningkatkan kehidupan dan keharmonisan toleransi umat beragama di Indonesia.
Ditegaskan, jika dalam dua minggu gembok dan segel ilegal pada bangunan GKI Yasmin masih terpasang, dan jemaat tetap dibiarkan ibadah setiap dua minggu sekali di seberang Istana Negara, maka sah saja bila rakyat mengatakan bahwa pidato Presiden SBY adalah pidato kosong belaka.
*Penulis adalah dosen FISIP Universitas Pelita Harapan.
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup
--------------
No comments:
Post a Comment