Di Balik Kinerja Buruk DPR
DPR menuding buruknya kinerja legislasi mereka karena tersandera ketidaksiapan pemerintah.
Pengantar: Sebentar lagi pemilu digelar. Masa kerja DPR akan segera berakhir. Namun, bukannya menghasilkan legislasi yang baik, selama lima tahun terkahir DPR malah banyak menghasilkan koruptor baru. Ada apa di balik buruknya kinerja DPR?
Penilaian masyarakat terhadap DPR dari tahun ke tahun, dari periode ke periode, tidak banyak berubah. Fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan tak kunjung membaik dilakukan. Dalam menyusun UU, tuduhan adanya pasal titipan terus melekat. Tak heran jika setiap UU yang diajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh pihak tertentu, selalu kalah.
Dalam penganggaran, DPR belum mampu memaksa pemerintah memaksimalkan belanja publik sambil menurunkan anggaran belanja rutin. Alih-alih mengawasi, DPR malah banyak terlibat kasus korupsi penggunaan anggaran bersama pemerintah di berbagai kementerian. Hampir semua masalah korupsi anggaran di berbagai kementerian/lembaga melibatkan anggota DPR.
Citra DPR makin terpuruk karena terlibat dalam kasus suap. Walau belum terbukti, dalam kasus suap terhadap mantan Ketua Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Hulu Migas (SKK Migas) Rudi Rubiandini misalnya, sejumlah anggota DPR diduga terlibat; Ketua Komisi VII DPR Sutan Bhatoegana, Wakil Ketua Komisi VII Zainuddin Amali, dan Tri Yulianto.
Ronald Rofiandri, Direktur Monitoring Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) mengatakan, sebenarnya buruknya kinerja DPR tak lepas dari peran pemerintah. DPR masih terjebak pada desain lama perencanaan legislasi yang dikerjakan pemerintah.
"Perencanaan melebihi beban kerja saat penyusunan maupun pembahasan RUU. Tidak membuat target legislasi yang realistis," katanya.
Beban kerja DPR memang tidak mudah, sebab yang terjadi saat ini dalam proses penyusunan legislasi hanya dalam bentuk draf yang kadang tanpa kajian akademis memadai dan mendalam. Banyak RUU yang diusulkan tanpa alasan mendasar, mengapa sebuah RUU perlu ada untuk dibahas. Atau RUU kerap memiliki naskah akademik yang baik, tetapi dibahas oleh anggota DPR yang kurang kompeten di bidang yang dimaksud.
Tanpa Rencana
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus mengatakan, dari hasil kajian Formappi, rapor legislasi DPR dalam tiga tahun terakhir sangat buruk. Itu berdasarkan target yang ditetapkan dengan pencapain akhir tahun. Pada 2010 misalnya, dari 64 RUU yang masuk program legislasi nasional (prolegnas), DPR hanya bisa mengesahkan delapan menjadi UU. Beberapa UU merupakan hasil ratifikasi perjanjian internasional.
Pada 2011, dari 93 RUU yang ditargetkan, DPR hanya bisa menyelesaikan 18 di antaranya. Lalu pada 2012, dari target 64 RUU, hanya berhasil dituntaskan 10 buah. Pada 2013, target legislasi juga tidak banyak berbuah, dari target 75 RUU, realiasinya hanya 10 yang berhasil disahkan.
Menurut Lucius, buruknya kinerja DPR dalam menyelesaikan tugas legislasi juga karena DPR bekerja tanpa rencana kerja jelas, tanpa mempertimbangan kompetensi dan kemampuan. Didukung pula dengan perilaku DPR yang hanya mementingkan kepentingan pribadi masing-masing.
"Kemalasan anggota DPR mengikuti rapat, keseriusan mereka menyelesaikan tugas, keasyikan mereka mengutamakan kepentingan politik kelompok atau partai, itu yang mengakibatkan menelantarkan begitu banyak pembahasan undang-undang," kata Lucius.
Politik transaksional berdasarkan kepentingan tidak kunjung pupus di DPR. Banyak persoalan tak terpecahkan DPR karena disandra politik transaksional. "Kita juga tidak melihat pengawasan sistematis di DPR yang kemudian bisa memudahkan mereka dalam melakukan pengawasan terhadap kerja pemerintah," ia menjelaskan.
Menurutnya, fungsi-fungsi DPR malah lebih banyak untuk memenuhi hasrat kekuasaan anggotanya daripada alat untuk memperjuangkan kepentingan publik. Dalam penganggaran, malah DPR banyak menggunakannya sebagai bancakan untuk memeras keuangan negara. Badan anggaran (banggar) DPR selama ini diisi anggota partai politik, yang oleh partai memang dipakai untuk mencari uang dari anggaran negara. Kepentingan-kepentingan partai atau kelompok, menurut Lucius, selalu terlihat jelas dalam pembahasan anggaran.
Kasus proyek Wisma Atlet Hambalang, Bogor, Jawa Barat yang banyak melibatkan anggota Fraksi Partai Demokrat, atau kasus PON Riau yang banyak melibatkan anggota Fraksi Partai Golkar adalah contoh bagimana proses penganggaran di DPR digunakan partai politik untuk kepentingan masing-masing. Angelina Sondakh, mantan anggota Fraksi Partai Demokrat, tercatat terlibat sejumlah kasus korupsi yang semuanya berawal dari pembahasan di Banggar DPR.
Maraknya kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR belakangan ini membuat DPR periode 2009-2014 layak dikenang sebagai DPR terkorup. Tidak ada torehan monumental yang dihasilkan selain kasus korupsi yang terus terungkap. Tidak ada jaminan dengan sisa waktu berkuasa tinggal sedikit, kasus korupsi yang melibatkan DPR periode 2009-2014 akan segera tuntas.
Martin Hutabarat, anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Gerindra mengakui fungsi-fungsi DPR saat ini memang masih jauh dari harapan masyarakat. "Betul itu," ujarnya.
Menurutnya, Baleg DPR perlu waktu khusus untuk bebenah diri. Idealnya, kata Martin, anggota
Baleg DPR tidak termasuk anggota badan atau alat kelengkapan DPR lain. "Bukan anggota yang merangkap banyak komisi lainnya, melainkan anggotanya khusus membahas masalah undang-undang," kata Martin.
Partai Gerindra sudah pernah mengusulkan hal tersebut, namun hingga kini tidak direspons DPR secara kelembagaan. DPR masih menganut, seluruh anggota badan atau alat kelengkapan DPR harus terdiri atas semua fraksi yang ada. Akibatnya, fraksi yang jumlah anggotanya kecil kerap merangkap beberapa anggota alat kelengkapan sekaligus. Kondisi tersebut sangat tidak ideal, karena tidak mungkin memberi konsentrasi yang maksimal pada setiap pembahasan masalah di komisi atau alat kelengkapan DPR.
Bukan hal baru, kata Martin, banyak anggota tidak terlalu menguasai masalah ketika membahas sebuah RUU. Namun, karena mewakili fraksi, kerap dipaksakan. Hal tersebut sebenarnya hanya menunjukkan ketidakseriusan DPR membahas RUU, atau memecahkan berbagai persoalan lain. "Lembaga ini tidak seserius yang diharapkan," ujarnya.
Peran Pemerintah
Nudirman Munir, anggota Baleg dari Fraksi Partai Golkar mengatakan, buruknya legislasi DPR karena ulah pemerintah. "Karena untuk rapat susah sekali. Jadi, dalam pembahasan undang-undang, para stakeholder itu susah. Bagaimana kita mau sesuai target," ia menegaskan.
Ia mengatakan, DPR memiliki prolegnas. Namun, pemerintah kerap tidak siap atau kadang memaksakan pembahasaan sebuah RUU tanpa melalui prosedur standar.
Ia mencontohkan, pembahasan RUU tentang imigrasi yang sudah berlangsung beberapa tahun tidak tuntas karena pemerintah tidak siap. Hal yang paling sering ditemukan, kata Nudirman, ketika kepentingan terusik keberadaan RUU tersebut, molornya pembahasan karena berbagai alasan selalu terjadi.
Terkait pembahasan anggaran, Dolfie OFP, anggota Banggar DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) lebih banyak menyalahkan pemerintah. Ia mengatakan, domain pembahasan anggaran ada di pemerintah. Ia menjelaskan, pemerintah yang menyusun APBN rencana kerjanya berdasarkan visi dan misi presiden.
"Fungsi DPR hanyalah melakukan pengawasan di dalam menyusun anggaran itu. Sejauh mana anggaran yang disusun presiden, apa sudah sesuai UUD untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat atau tidak?" ujarnya.
Ia mengatakan, perbedaan menafsirkan anggaran untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat itulah yang banyak terjadi dalam pembahasan di DPR. Partai-partai sebenarnya memiliki rencana anggaran sesuai keinginan konstituennya. Misalnya, tentang subsudi BBM, ada perbedaan apakah hal tersebut harus dihapus secara total atau diterapkan secara bertahap.
Sumber : Sinar Harapan
Jadi DPR, Ya, Calon Koruptor
Usai gila-gilaan semasa kampanye, banyak tergila-gila melakukan korupsi setelah terpilih.
Semua pihak di luar DPR memang kaget dengan vonis gedung miring DPR tersebut. Gedung baru tapi mengalami kemuringan sedemikian jauh dalam waktu dekat. Entah dari mana asal usul vonis tersebut kala itu. DPR mengklaim alasan tersebut sudah berdasarkan studi kelayakan. Namun, siapa yang melakukan studi kelayakan itu, tidak terungkap hingga kini.
Caleg, Calon Koruptor
Deretan kasus korupsi yang menyeret anggota DPR tersebut telah membuat kinerja DPR bidang legislasi, pengawasan dan pengganggaran redup di mata publik. Di samping lima tahun terakhir tidak ada hal monumental yang mampu dikerjakan DPR, hasil legislasi DPR rendah. Selama empat tahun, DPR tidak mencapai 10 persen target penyelesaian pembahasan rancangan undang-undang.
"Saya diledek, 'Kamu kan caleg, calon koruptor baru. Bagi dulu uang sekarang'," katanya. Tak ada reaksi kemarahan, sebaliknya hanya bisa tertawa.
Sumber : Sinar Harapan
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup
--------------
No comments:
Post a Comment