Wednesday, September 11, 2013

[batavia-news] Menakar Kerugian Masyarakat Akibat Listrik Byarpet PLN

 

 
 

Menakar Kerugian Masyarakat Akibat Listrik Byarpet PLN

Kategori berita:OpiniArtikel dimuat pada: Hari ini, 12 Sep 2013, 00:18:00 WIB
gambar_berita

Ilustrasi

Oleh: Edy Sahputra Sitepu. Ulah PLN yang tidak profesional dalam menangani ketersediaan pasok listrik memang semakin menghilangkan kesabaran masyarakat. Masalahnya listrik byarpet ini juga bukan hal baru, ini adalah hal yang selalu terjadi berulang-ulang sejak lama dan berulang secara periodik. Kok bisa? Inilah yang benar-benar membuat jengkel dan orang-orang menjadi 'naik pitam'! Pepatah mengatakan, "keledai saja tidak mau jauh di lubang yang sama", tapi bagaimana bisa petinggi-petinggi PLN bisa membiarkan PLN selalu dihadapkan persoalan yang sama, pelayanan yang jelek, krisis listrik, byarpet dan lain-lain.

Bukti kekecewaan masyarakat ini, dengan mudah dapat kita lihat dengan membaca stastus di sosial media, seperti Facebook, Twitter, Blackberry, surat-surat dari pembaca di berbagai media cetak maupun online dan lain-lain. Mulai dari ungkapan kekecewaan biasa yang sangat standar hingga level sumpah serapah akan kita temui.

Dengan melihat sosial media tersebut, secara real time, kita dapat memastikan betapa tingginya frekwensi pemadaman listrik yang dilakukan PLN. Via Google jika kita mencari "keluhan pada PLN" maka mesin pencari akan menghubungkan dengan sekitar 2,8 juta posting, "listrik padam di Sumut" terhubung dengan 335.000 posting, "listrik padam di Medan" bahkan angkanya lebih fantastis yakni sekitar 664.000 posting-an. Bahkan di Facebook saja sudah bergulir "GERAKAN 200 JUTA RAKYAT INDONESIA KECEWA DENGAN PELAYANAN PLN".

Tak hanya kecewa karena dilanda krisis byarpet, publikasi di media lokal tentang masih ada 421.660 rumah di Sumut yang belum teraliri listrik juga menambah bukti melempem-nya kinerja PLN. Sebanyak 421.660 rumah tersebut tersebar di 1.154 desa di seluruh penjuru Sumut. Artinya rasio elektrifikasi di Sumut hingga Maret 2013 hanya masih sekitar 80 persen, atau 20 persen dari 5.779 desa di Sumut belum bisa menikmati listrik. Kok bisa ya? Padahal kita sudah 68 tahun merdeka.

Sayangnya hal ini sepertinya dianggap angin lalu, sikap PLN mungkin, 'anjing menggonggong kafilah berlalu', 'biarkan masyarakat komplain dan biarkan listrik tetap byarpet!'.Sungguh sangat sadis dan sangat tidak profesional. Sialnya memang jajaran pimpinan di PLN sepertinya dipenuhi orang-orang yang terlatih untuk 'tebal muka'. Inilah yang kemudian mungkin, di beberapa daerah masyarakat mulai hilang kesabaran dan mulai menyerang kantor PLN, seperti yang terjadi di Sanana Maluku Utara, di Ternate, di Tanjung Pinang, Lampung, dan berbagai kota lain. Kalau aksi unjuk rasa tentu sudah tak terhitung lagi.

Menakar Kerugian

Mengapa kemarahan masyarakat sudah sampai di ubun-ubun? Ada baiknya mari kita mulai menakar estimasi kerugian masyarakat akibat listrik byarpet ini. Kerugian pertama adalah terjadinya gangguan produksi pada industri. Di Jateng – DIY, belum lama ini Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyatakan akan mengklaim kerugian akibat listrik padam kepada PLN. Akibat listrik padam tanpa pemberitahuan, sejumlah perusahaan telah membatalkan ekspor walaupun sudah memesan ekspedisi pesawat terbang. Padamnya listrik mengakibatkan industri harus mengoperasikan genset, menaikkan biaya produksi dengan tambahan konsumsi minyak solar, waktu produksi rata-rata yang menjadi lebih lama, belum lagi ketidakstabilan pasok daya listrik yang berpotensi merusak mesin-mesin produksi. Masih untung jika punya genset, jika tidak, berarti praktis usaha-usaha kecil yang tidak memiliki genset harus menghentikan kegiatan selama listrik padam. Dan tentu saja jumlah usaha dan bisnis yang tidak di-backup genset ini jumlahnya yang paling banyak.

Berdasarkan data BPS Sumut, jumlah UMKM dewasa ini berkisar 3 juta usaha (99,8 persen dari total usaha ekonomi) dan paling banyak bergerak di bidang jasa khususnya jenis produk makanan dan minuman dan mayoritas berada di Kota Medan. Mari kita berasumsi bahwa dimisalkan akibat padamnya listrik secara tidak teratur per hari mengakibatkan kerugian (dari sisi waktu dan hambatan-hambatan produksi lainnya) pada berbagai usaha UMKM tersebut sebesar Rp 5.000 per unit usaha). Maka estimasi kerugian per hari untuk 3 juta usaha UMKM adalah sebesar Rp 15 miliar. Sementara untuk 1 persen usaha berskala besar atau 300-an unit usaha jika kita misalnya harus menanggung tambahan biaya produksi Rp 1,7 juta per hari akibat padamnya listrik, harus menanggung kerugian sebesar Rp 510 juta per hari. Sehingga total kerugian per hari mencapai sekitar Rp 2 miliar.

Bagaimana pula dengan kondisi rumah tangga? Kerugiannya juga dengan mudah bisa kita hitung-hitung. Fenomena pemadaman listrik bergilir nampaknya hampir tidak kenal waktu, hari, kapan saja ada terjadi pemadaman bergilir yang berlangsung selama 2-3 jam bahkan lebih. Jika kita baca di media massa, masyarakat mengeluh tentang, alat-alat listrik di rumah menjadi rusak dan yang lebih berbahaya apabila terjadi korsleting listrik yang dapat menyebabkan kebakaran. Katakanlah setiap rumah harus menanggung kerugian sekitar Rp 5.000 per hari (karena meningkatnya resiko kerusakan barang-barang elektronik seperti tv, kulkas, komputer, tape, mesin cuci, lampu, instalasi listrik). Maka estimasi kerugian yang ditanggung sekitar 500.000 KK yang ada di Sumut per hari berkisar Rp 2,5 miliar.

Kerugian juga terjadi pada kegiatan transportasi. Padamnya listrik mengakibatkan padamnya traffic light yang membuat lalu lintas menjadi macet. Macet membuat waktu dan bahan bakar menguap percuma. Jika kita estimasi setiap kenderaan yang Kota Medan saja (mewakili kota lain di Sumut) jumlahnya mencapai sekitar 3 juta unit. Katakanlah misalnya 1/5-nya dihadapkan oleh persoalan kemacetan akibat padamnya lampu lalu lintas dengan estimasi kerugian per kenderaan Rp 2.000. Maka potensi kerugian per hari adalah Rp 600 juta.

Jika kita jumlahkan, maka estimasi kerugian per hari seluruh warga Sumut akibat kelalaian PLN baik dalam perencanaan dan tidak profesionalisme dalam bekerja khususnya byarpet listrik minimum telah memberikan beban kerugian kepada masyarakat per harinya "paling sedikit" Rp 5 – 10 miliar, atau sekitar Rp 300 miliar per bulan ditambah rasa dongkol dan 'darah tinggi'. Sudah barang tentu estimasi ini masih sangat kecil untuk mengilustrasikan kerugian yang dialami sesungguhnya. Pada kondisi seperti ini, sungguh visi Sumut untuk membangun Sumut yang berdaya saing dan sejahtera hanya akan menjadi isapan jempol belaka.

Langkah Antisipasi

Beberapa waktu lalu Dirut PLN dalam paparan menjelaskan, total kemampuan pembangkit di Sumatera Bagian Utara sebesar 1.486 Mega Watt (MW) sementara dalam kondisi beban puncak, kebutuhan listrik mencapai 1.650 MW. Dalam kondisi normal terjadi defisit 163 MW, namun apabila pembangkit listrik terbesar sedang dalam pemeliharaan, defisit mencapai 324 MW. Untuk mengatasi persoalan pemadaman listrik ini, PLN akan menyewa beberapa pembangkit yang beroperasi bertahap mulai minggu ke dua bulan September dengan total tambahan 430 MW. Pengoperasian pembangkit ini bersifat sementara, menunggu pembangkit baru yaitu yang terdekat adalah PLTU Nagan Raya 1 yang akan beroperasi pada Oktober 2013 sebesar 110 MW. Terkait dengan kondisi ini, PLN harus bekerja lebih extra dan sungguh-sungguh. Jika kita hitung-hitung, kerugian yang harus kita tanggung selama ini pasti harganya jauh lebih besar dibanding biaya yang harus dikeluarkan untuk menyewa atau membeli mesin baru. Masyarakat sudah sangat-sangat muak mendengar alasan bahwa PLN sedang melakukan perawatan mesin sehingga harus melakukan pemadaman bergilir.

Selanjutnya rencana tahun 2014, tentang akan ada tambahan 690 MW dari PLTU Nagan Raya 2 (110 MW) bulan Februari, PLTU Pangkalan Susu 1 (200 MW) bulan Maret dan PLTU Pangkalan Susu (200 MW) bulan Mei serta PLTMG Arun (180 MW) pada bulan Desember harus lebih dikonkritkan, jangan hanya menjadi janji-janji kosong.

Dalam menghadapi masalah kelistrikan di Sumut ini. Pemerintah daerah juga harus lebih intensif dan tegas mendorong terselesaikannya masalah-masalah terkait kelistrikan ini. Asahan III yang lamban, PLTU Pangkalan Susu dengan kapasitas 2x200 MW yang molor, kinerja PLN yang melempem, harus terus dipantau dan ditindaklanjuti. Langkah lain juga bisa dilakukan adalah, penghematan dan efisiensi listrik secara lebih ketat.

Adapun langkah alternatif. Mungkin jika memang kita tidak bisa lagi berharap pada PLN. Mari kita mulai saja langkah mandiri dari PLN. Bayangkan jika pemerintah dengan dananya yang sangat banyak (jika tidak dikorupsi), bisa memaksimalkan lampu-lampu tenaga surya untuk penerangan jalan dan ruang publik. Mendorong usaha-usaha besar dan plaza mengkombinasikan tenaga listrik PLN dengan tenaga surya. Mendorong riset untuk ketersediaan pembangkit listrik secara mandiri di setiap RT/RW atau Kelurahan dengan berbagai teknologi. Misalnya, pembangkit listrik tenaga angin (pakai kincir), tenaga matahari (solar cell), pembangkit mini tenaga air (jika kompleks perumahan dekat sungai), bahkan tenaga gelombang laut. Atau pun jika menggunakan generator listrik, kita bisa menggunakan bahan bakar bio fuel yang terbuat dari olahan singkong, pohon jarak, kelapa sawit, tebu, sagu atau dari sumber alam lainnya. Ini adalah solusi bahan bakar yang renewable.

Agak bermimpi memang, tapi bukankah semuanya dimulai dari mimpi dan khayalan? Semoga kita bisa segera terlepas dari belenggu kegelapan akibat byarpet-nya listrik PLN. ***

 

Penulis adalah dosen Politeknik Negeri Medan

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
http://groups.yahoo.com/group/batavia-news
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup 
--------------
.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment