(dok/ist)
Ilustrasi.
Dengan demikian hak serta kewajiban kepemilikan sebuah paspor tidaklah sepele dan gampangan. Konsekuensi kepemilikan dua paspor atau lebih tentunya melibatkan tanggung jawab yang semakin besar dan rumit sehingga hanya pribadi dewasa yang sudah matang serta bijaksana sajalah yang sebenar-benarnya mampu dan berhak memilikinya.
Wacana kepemilikan dua paspor yang merupakan buah dari kebijakan "dwi kewarganegaraan", seumpama genderang sudah ditabuh. Gaung tuntutannya akan semakin dikumandangkan dalam perhelatan akbar Konggres Diaspora Indonesia ke-2 pada 18-20 Agustus ini.
Pada tataran ini, hal dwi kewarganegaraan lebih dari sekadar urusan fungsional, legal, sosial, politik, dan ekonomi. Pemahaman serta penghayatan internal yang antara lain meliputi cara pandang, etika, sistem nilai haruslah menjadi akar serta landasan yang mendasari tindakan praktis.
Untuk perkara yang fundamental dalam tempo yang singkat dan berharga, tulisan ini mengajak seluruh unsur bangsa dan negara menyisihkan waktu merenung dengan menggali nilai-nilai serta kearifan budaya Nusantara yang tercinta ini.
Ketersediaan referensi yang realistis, bermakna, tidak dangkal dan tidak menggurui sangat diperlukan. Tidak berlebihanlah wayang dengan lakon-lakonnya dan keterbatasannya menjadi salah satu sumber utama yang sahih.
Satu alasan utama masyarakat diaspora dituntut memahami warisan budaya agung ini (di antara sekian banyak warisan berharga lainnya) adalah bahwa sebutan dan kata diaspora sendiri menyandang pengertian suatu masyarakat ultranasional, dan kepemilikan sebuah paspor merupakan salah satu bukti.
Predikat sebagai duta bangsa ini dengan sendirinya telah mengangkat seorang diaspora ke orbit lain sehingga ia mampu melihat kepulauan Indonesia dalam konstelasi mancanegara, melebihi batas Sabang Merauke. Dengan demikian, seorang diaspora seyogianya proaktif membekali diri, memahami serta fasih mengutarakan kekayaan budaya Nusantara yang diwakilinya.
Tiga alasan praktis dan nyata tambahan antara lain pertama, bukankah "dwi, warga, dan negara", semua kata dalam "dwi kewarganegaraan" yang merupakan tuntutan kelompok diaspora bersumber dari bahasa dan negara yang sama tempat wayang berasal?; kedua, bukankah salah satu ciri orang yang betul-betul modern adalah kemampuan menghayati estetika masa lalu seperti yang diyakini oleh Romo Magnis, seorang diaspora Jerman yang telah menjadi WNI dan menambah nama belakang Suseno?; dan ketiga bukankah pengakuan UNESCO tanggal 7 November 2003 atas wayang kulit sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity merupakan bukti kuat pengakuan dunia yang tidak bisa diabaikan begitu saja oleh kelompok yang menyebut dirinya diaspora?
Dalam tampak permukaan, dunia wayang secara umum diwakili dua pihak yang saling berselisih: Sri Rama (kerajaan Kosala) dan Rahwana (kerajaan Alengka) dalam kisah Ramayana; selanjutnya keluarga Pandawa (Yudistira, Bima, Arjuna dan Nakula, Sadewa kelima anak Pandu) dan Kurawa (terdiri dari seratus saudara sepupu yang dipimpin oleh sulung Duryudana) yang bersengketa atas kerajaan Astina/Hastinapura dalam cerita Mahabarata.
Seperti kita ketahui Sri Rama dan Pandawa adalah tokoh yang disuratkan menjadi pihak benar dan menjadi pemenang. Sekilas terlihat sederhana dan hitam putih. Namun melalui beratus lakon dan penokohan, wayang sarat dengan dunia abu-abu sehingga ia bukan hanya sekadar tontonan namun yang lebih mendalam memancarkan tuntunan.
Dalam wacana dwi kewarganegaraan, masing-masing negara memosisikan dirinya sebagai pihak utama seperti Sri Rama dan Pandawa lewat tuntutan kesetiaan utuh. Hal ini secara jelas tecermin dalam sumpah atau janji yang wajib diucapkan (dan selanjutnya dicacat dan dimasukkan sebagai dokumen resmi negara) oleh seseorang guna memperoleh hak kewarganegaraan.
"Demi Allah/demi Tuhan Yang Maha Esa, saya bersumpah (Saya berjanji) melepaskan seluruh kesetiaan saya kepada kekuasaan asing, mengakui, tunduk, dan setia kepada … (nama negara yang bersangkutan)…. Penggalan Pasal 16, UU RI No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan ini secara garis besar mewakili isi sumpah atau janji menjadi seorang warganegara di semua negara di dunia.
Sebagai tambahan bahkan ada negara yang mewajibkan mengangkat senjata sebagai upaya bela negara. Wow. Sungguh sebuah deklarasi yang sakral, mengusik hati nurani dan merasuk ke kedalaman sumsum tulang. Jelaslah ini bukan perkara enteng dan murahan.
*Penulis adalah Diaspora Indonesia, menetap di New Haven, Connecticut, USA.
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup
--------------
No comments:
Post a Comment