Monday, August 19, 2013

[batavia-news] Jepang, Aktor Pembubaran Republik Indonesia Serikat

 

res: Jika  Jepang aktor pembubaran RIS, maka pertanyaannya  ialah apakah Soekarno trompet pembubaran tsb?
 
 
 
Jepang, Aktor Pembubaran Republik Indonesia Serikat
Aju | Senin, 19 Agustus 2013 - 13:54:41 WIB
: 30


(dok/Puri Agung Negara)
Kapten Mithosi Itchi dan anak-anak Bali. Kapten Mithosi Itchi adalah anggota intelijen Jepang, aktor di balik penyuplaian senjata kepada TNI.
Konsep unitarianisme atau kesatuan hanya ide sepihak Soekarno.

Di Puri Agung Negara, milik keluarga besar Anak Agung Bagus Sutedja di Negara, ibu kota Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali, ada foto hitam putih seorang perwira menengah berkebangsaan Jepang.

Kapten Mithosi Itchi, nama perwira menengah Jepang itu, terlihat tengah menggendong anak kecil di salah satu pelataran pura di Bali. Itchi adalah anggota intelijen Jepang, salah satu aktor di balik penyuplai senjata kepada TNI selama perang kemerdekaan melawan Belanda.

Itchi mengirim foto dirinya bersama anak-anak Bali kepada Anak Agung Bagus Sutedja pada 10 Desember 1945. Anak Agung Bagus Sutedja menjadi Gubernur Bali pada 1950-1958, kemudian 1959-1966.

Anak Agung Bagus Sutedja merupakan salah satu orang yang ikut aktif dalam upaya pembubaran sejumlah negara federal di wilayah timur Indonesia dalam bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) untuk bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), terhitung 17 Agustus 1950.

Itchi dan Anak Agung Bagus Sutedja memiliki hubungan simbiosis mutualis di awal terbentuknya negara Indonesia. Melalui operasi intelijen, dengan menempatkan Letkol (Inf) Zulkilfi Lubis sebagai ujung tombak, Presiden Soekarno dan Menteri Pertahanan Hamengkubuwono IX, dibekingi Jepang, mampu memorak-porandakan RIS.

Keberadaan RIS berdasarkan pengakuan kedaulatan dari Belanda, 27 Desember 1949, ternyata hanya bertahan enam minggu. Minggu ketujuh, RIS otomatis hanya tinggal nama. Melalui operasi intelijen yang dibekingi Jepang, rakyat dihasut melakukan perlawanan bersenjata terhadap Belanda.

Simbol federalisme Indonesia hancur berantakan, setelah Menteri Negara Zonder Portofolio, Sultan Hamid II, ditangkap Menteri Pertahanan Hamengkubuwono IX di Hotel Des Indes, Jakarta, 5 April 1950 dini hari, dengan tuduhan sumir terlibat pemberontakan Kapten Pierre Raymons Westerling. Sultan Hamid II kemudian divonis 10 tahun penjara.

Penentuan bentuk negara Indonesia, buah dari pertarungan kepentingan Belanda dan Jepang di Indonesia. Jepang yang kalah telak selama Perang Dunia II, 1945, tidak rela kedatangan kembali Belanda, untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia secara bertahap, mengikat semua pihak, selama 10-15 tahun, dalam bentuk federal.

Jepang kemudian menempatkan Letkol (Inf) Zulkifli Lubis sebagai ujung tombak operasi intelijen, kemudian Presiden Soekarno dan Menteri Pertahanan Hamengkubuwono IX sebagai provokator pengobar semangat nasianalisme masyarakat, dengan tujuan utama Belanda harus hengkang dari Bumi Indonesia.

Bertahap

Padahal, Indonesia akan dipersiapkan merdeka secara bertahap. Pertama kali dikemukakan Ratu Wilhelmina melalui jaringan radio di London, Inggris, 1942. Sikap Ratu Wilhelmina sebagai jawaban atas Petisi Soetardjo tanggal 15 Juli 1936.

Petisi Soetardjo ditandatangani anggota dewan rakyat, terdiri dari Soetardjo Kartohadikusoemo, Ignatius Josep Kasimo Hendrowahjono, G.S.S.J. Ratulangi, Datuk Tumenggung, dan Ko Kwat. Petisi itu ditujukan kepada Ratu Wilhelmina dan Staten Generaal (parlemen) di negeri Belanda, meminta Indonesia dimerdekakan secara bertahap, dalam bentuk pemberian tertib administrasi berkelanjutan.

Sebagai tindak lanjut, dari tujuh butir sikap resmi pemerintah Belanda, 10 Februari 1946, di antaranya Indonesia dimerdekakan secara bertahap dan mengikat semua pihak selama 10-15 tahun, dan Belanda sendiri yang akan mendaftarkan Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam bentuk negara persemakmuran dan federal.

Langkah pemerintah Belanda, sebagai respons dari tekanan dunia internasional setelah Perang Dunia II, agar sebuah negara yang masih melakukan penguasaan terhadap wilayah lain, segera dimerdekakan. Jika tidak, negara bersangkutan diancam dikucilkan di dalam pergaulan internasional.

Pemerintah Belanda menempatkan Sultan Hamid II sebagai salah satu perpanjangan tangan memerdekakan Indonesia secara bertahap dalam bentuk federal, mengingat bangsa Indonesia sangat majemuk. Ini kemudian dibuktikan digelarnya Konferensi Malino di Sulawesi Selatan, oleh Wakil Gubernur Hindia Belanda, Hubertus Johanes van Mook, 15-25 Juli 1946.

Rupanya Jepang tidak suka dengan langkah Belanda. Zulkifli Lubis diinstruksikan bertolak ke Singapura naik pesawat pemburu menemui perwira Jepang Mayor Ogi. Zukifli Lubis diperkenalkan dengan Fujiwara Kikan, Badan Rahasia Jepang untuk Asia Tenggara.

Periode 1945-1947 Zulkifli Lubis menggelar ekspedisi TNI ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali, dan Nusa Tenggara. Bahkan ke luar negeri, antara lain ke Singapura.

Hasilnya sangat luar biasa. Perlawanan bersenjata rakyat dan TNI merebak di semua negara bagian. Atas dasar itu pula, Belanda kemudian menggelar Agresi Militer I dan II, sebagai bentuk bela diri terhadap perlawanan bersenjata secara sporadis dari rakyat dan TNI.

Tapi dalam perkembangannya, Belanda ternyata tidak terlalu serius lagi mempersiapkan kemerdekaan Indonesia dalam bentuk RIS, setelah Sultan Hamid II ditangkap di Jakarta, 5 April 1950. Akibatnya, Presiden Soekarno secara sepihak menyatakan Indonesia berubah menjadi bentuk negara kesatuan terhitung 17 Agustus 1950.

Tuntutan Federal

Tuntutan Indonesia berubah dari negara kesatuan menjadi federalisme, ternyata tidak pernah padam dalam benak kaum intelektual di Indonesia. Ketua Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) periode 1999-2004, Amien Rais, sangat garang mendesak Indonesia berubah menjadi negara federal.

Pandangan Amien Rais, sebagai dukungan terhadap wacana yang pernah dilontarkan secara terbuka oleh Yusuf Bilyarta Mangunwijaya (rohaniawan Katolik) dan Samsu Rizal Panggabean (Universitas Gadjah Mada) tahun 1998.

Nazarudin Syamsudin, dari Universitas Indonesia, tahun 2002, secara detail menerbitkan buku berupa argumentasi ilmiah mengapa Indonesia harus berbentuk federal. Salah satu argumentasi ilmiahnya, sila ketiga dari Pancasila, yakni persatuan Indonesia, menggariskan Indonesia berbentuk federal.

Persatuan artinya federalisme, sedangkan unitarianisme berarti kesatuan. Kata persatuan dan kesatuan mengandung makna ilmiah bertolak belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan terluas dan terbesar di dunia, berpenduduk 240 juta jiwa, tersebar di 17.408 pulau, masyarakatnya majemuk terdiri dari 1.128 suku bangsa dengan menggunakan 746 bahasa daerah, sangat mustahil jika tetap saja dipaksakan menjadi negara kesatuan.

Federalisme merupakan sebuah mekanisme hubungan antara pemerintah pusat dengan negara-negara bagian yang mengutamakan keseimbangan agar pemerintah federal tidak melakukan perubahan kebijakan terhadap pemerintahan lokal secara sepihak.

Pola pikir Jakartasentris dan Jawasentris dengan kurang memperhitungkan faktor potensi kearifan lokal di seluruh wilayah, telah mendorong masyarakat untuk segera mendesakkan perubahan bentuk negara dari unitarianisme menjadi federalisme.

Sumber : Sinar Harapan

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
http://groups.yahoo.com/group/batavia-news
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup 
--------------
.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment