Di Balik Permohonan Maaf
Belanda akan menyampaikan permohonan maaf kepada korban kekejaman perang. Membuka kotak pandora atau diplomasi dagang?
DALAM kunjungannya ke Indonesia pada 20-22 November mendatang, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte akan menyampaikan excuse (permohonan maaf) kepada sebelas janda korban eksekusi Kapten Raymond Westerling di Sulawesi Selatan. Ada kalangan yang khawatir hal itu hanya akan membuka kotak pandora santunan bagi para korban.
Selama enampuluhan tahun, isu excuse atas kejahatan perang menggeliat dan menggelisahkan masyarakat Belanda. Ada apa di balik ini?
Pada Januari 1969, selama 20 menit, Joop Hueting, mantan serdadu Belanda, menceritakan sebuah kisah di televisi: "Di tengah kampung itu ada sebuah rumah. Dua anak buah kami, satu kopral dan satu lagi, prajurit, masuk dan kopral itu menghabiskan peluru mitraliurnya di sana. Aku masuk ke dalam rumah, di remang-remang kegelapan itu tampak lima sampai 20-an perempuan, anak-anak, dan laki-laki…. (A)ku saksikan darah muncrat, jeritan, dan suara kematian di dalam rumah itu..."
Kisah Joop Hueting segera mengguncang Negeri Kincir Angin. Sejak itu, Belanda tak kunjung rampung dengan isu kwestie Indie veteranen (masalah veteran Hindia Belanda), excessen (ekses-ekses perang), oorlogsgeweld (kekerasan dalam perang), atau oorlogsmisdaden (kejahatan perang). Eksekusi, penganiayaan, dan pemerkosaan terhadap warga sipil tersembunyi di balik kisah 200-an ribu tentara Belanda yang dikirim ke Indonesia. Namun khalayak Belanda juga mulai menyadari kekejaman tentaranya di sana.
Pada 1969, atas desakan oposisi di parlemen, Perdana Menteri Piet De Jong menanggapinya dengan menerbitkan Excessennota. De Jong menyatakan, "menyesali terjadinya ekses-ekses tersebut, namun tetap berpendapat bahwa Angkatan Perang kami secara keseluruhan bertindak korek." Sejarawan Cees Fasseur, penulis Excessennota, menyebut korban kekerasan perang masa itu hanya sekitar 20-an orang.
Bermunculanlah kisah, novel, buku dan debat publik seputar episode yang menghadapkan Belanda secara frontal pada masa kelamnya. Sejarawan Loe de Jong, dengan karya standar tentang Belanda di masa Perang Dunia II, menyebut ulah tentara Belanda di Indonesia sebagai oorlogsmisdaden (kejahatan perang), namun dia ditekan agar mencabut istilah tersebut. Sebaliknya, Excessennota pun digugat. Cees Fasseur belakangan mengakui, "Mungkin, saya khilaf."
Tapi bagaimana dengan sikap politik pemerintah Belanda? Sejak 1990-an isu kekerasan perang selalu berbuntut soal excuse (permohonan maaf) kepada Indonesia.
Pada 1995, Joop Hueting, yang kemudian menjadi guru besar Psikologi di Brussel, kembali tampil. Dia menuduh pemerintah Belanda menyembunyikan sesuatu. "Tak ada satu pun kasus yang menjadi isu (yang terselesaikan)," katanya di suratkabar Trouw.
Tahun itu, Indonesia genap 50 tahun merdeka. Sejumlah kalangan mendesak, dalam kunjungan kenegaraan ke Indonesia, Ratu Beatrix menghadiri perayaan 17 Agustus 1995 di Istana Merdeka dan menyampaikan excuse. Namun pemerintahan Perdana Menteri Wim Kok mendapat tekanan dari kalangan veteran tentara Indie agar membuang jauh-jauh usulan seperti itu. Akhirnya Ratu Belanda menginap di Singapura dan batal hadir pada perayaan resmi kemerdekaan Indonesia. Dia berkunjung tanpa menyampaikan excuse. Sudah menjadi rahasia umum, ayah Ratu Beatrix, Pangeran Bernhard, dan Partai Liberal-Konservatif (VVD) akrab dengan lobby veteran Indie dan menjadi semacam pelindung mereka.
Dalam percaturan diplomatik, bentuk paling empuk dan sederhana adalah pernyataan "penyesalan" atas apa yang telah terjadi. Sementara excuse bisa sekadar ungkapan politik dan moral atau menjadi suatu konsep hukum yang mengandung implikasi. Excuse dengan implikasi yuridis sangat rumit dan tak pernah terjadi. Yang kerap menjadi isu di Belanda adalah excuse sebagai ekspresi politik-moral; tapi ini pun tersendat-sendat.
Pada 2005, Menteri Luar Negeri Belanda Bernard Bot menghadiri perayaan resmi 17 Agustus dan menyatakan "Belanda berada pada sisi yang salah" pada masa Perang Dunia II di Indonesia. Saat itu Pangeran Bernhard sudah tiada dan para veteran pun makin lanjut usia. "Kehadiran saya dapat dipandang sebagai penerimaan (aanvarding) secara politik dan moral terhadap tanggal (17 Agustus 1945) tersebut," ujar Bot. Dengan kata lain, Bot tak menyatakan pengakuan politik-yuridis terhadap kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 melainkan "menerima" secara de facto kemerdekaan. Dengan demikian, isu excuse pun tak tuntas.
Perlukah Indonesia secara resmi menerima excuse dan pengakuan resmi Belanda atas 17 Agustus 1945 sebagai Hari Kemerdekaan? Menjelang kunjungan Ratu Beatrix pada 1995, Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas menyangsikannya. "Moeten wij oude koeien uit de sloot halen? (Haruskah kita membongkar hal-hal masa lalu?)," katanya kepada Ranesi (Radio Nederland Seksi Indonesia). Pemerintahan Orde Baru, yang membuka dan merawat hubungan diplomatik dengan Belanda, secara pragmatis berkepentingan demi hubungan dagang dan pembangunan ekonomi.
Prakarsa excuse Belanda bisa menerbitkan sejumlah isu lain yang terkait. Misalnya, bagaimana dengan kasus-kasus kejahatan perang yang dilakukan para pemuda pejuang Indonesia terhadap warga sipil Belanda atau eks tawanan perang Jepang di Jawa pada masa yang di Belanda disebut periode "bersiap" (1946-1947)? Tak kalah penting, layakkah kita menyambut excuse Belanda atas kejahatan perang tentaranya di Indonesia, ketika pada saat yang sama pemerintah Indonesia melestarikan impunitas terhadap kejahatan perang tentaranya di Timor Timur (1975-1999) dengan cara menguburnya melalui Komisi Bersama Indonesia-Timor Leste untuk Kebenaran dan Persahabatan (CTF) pada 2008?
Betapa pun, isu excuse sekali lagi dimaksud untuk menyelesaikan endapan emosi dan moral Belanda-Indonesia. Dilema Belanda ini akhirnya mendapat terobosan melalui pintu lain, yaitu generasi baru para praktisi hukum yang duduk di kehakiman dan kejaksaan. Berkat pembelaan ahli hukum kejahatan perang Prof Lisbeth Zegveld pada 2011 –dengan bantuan aktivis Belanda asal Menado Jeffrey Pondaag– untuk kali pertama Dewan Hakim di Den Haag meluluskan tuntutan santunan ganti rugi para janda Rawagede (kini Balongan, Jawa Barat) terhadap negara Kerajaan Belanda atas kasus kejahatan perang berupa eksekusi massal. Padahal, selama puluhan tahun terakhir kasus-kasus semacam ini dianggap "kadaluwarsa". Maka, untuk kali pertama pula, pemerintah Belanda diwakili Duta Besar Koos van Dam menyampaikan excuse kepada korban kejahatan perang di Indonesia pada 2011.
Sejak mencuatnya kasus Rawagede, ulah Westerling digugat melalui meja hijau. Lisbeth berhasil menemukan sebelas janda dari sejumlah desa yang menjadi korban eksekusi pasukan Westerling semasa bertugas "memulihkan ketertiban dan keamanan" di Sulawesi Selatan. Pemerintah koalisi Partai Buruh (PvdA) dan Partai Liberal-Konservatif (VVD) tak segera memberikan tanggapan tegas namun juga tak menampik. Isu itu mencuat ke permukaan ketika R. Ten Broecke, wakil VVD di parlemen, menyatakan menolak santunan baru dengan alasan "hanya akan membuka kotak pandora". Menteri Luar Negeri Frans Timmerman dari PvdA menjauhi pernyataan ini. Situasi neraca moneter Belanda menunjukkan perlunya menekan defisit anggaran yang berada di atas patokan Uni Eropa, dengan keharusan menambah penghematan dan pemasukan pendapatan negara.
Santunan senilai 200-an ribu euro bagi kesebelas korban Westerling tentu tak berdampak signifikan bagi penghematan negara. Karenanya, kecemasan "kotak pandora" pun segera ditampik. Sebaliknya, mengingat pentingnya meningkatkan perdagangan Indonesia-Belanda, excuse malah diharapkan dapat membantu membuka jalan bagi para pebisnis Belanda.
Indonesia, dengan angka pertumbuhan sekitar 6 persen berkat peningkatan investasi asing, dipandang punya prospek ekonomi menjanjikan. Nilai perdagangan Indonesia-Belanda tahun lalu mencapai 3,5 milyar euro. Di Uni Eropa, Belanda memimpin dengan status mitra dagang kedua terbesar dengan Indonesia.
Kesediaan Perdana Menteri Mark Rutte, yang berasal dari partai VVD dan selama ini setia kepada kalangan veteran Indie, untuk menyatakan excuse dan memberi santunan tampaknya merupakan isyarat diplomatik segar demi meningkatkan hubungan dengan Indonesia. Excuse dan santunan akan disampaikan duta besar Belanda dalam kunjungannya ke Sulawesi Selatan dalam waktu deka
Belanda akan menyampaikan permohonan maaf kepada korban kekejaman perang. Membuka kotak pandora atau diplomasi dagang?
DALAM kunjungannya ke Indonesia pada 20-22 November mendatang, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte akan menyampaikan excuse (permohonan maaf) kepada sebelas janda korban eksekusi Kapten Raymond Westerling di Sulawesi Selatan. Ada kalangan yang khawatir hal itu hanya akan membuka kotak pandora santunan bagi para korban.
Selama enampuluhan tahun, isu excuse atas kejahatan perang menggeliat dan menggelisahkan masyarakat Belanda. Ada apa di balik ini?
Pada Januari 1969, selama 20 menit, Joop Hueting, mantan serdadu Belanda, menceritakan sebuah kisah di televisi: "Di tengah kampung itu ada sebuah rumah. Dua anak buah kami, satu kopral dan satu lagi, prajurit, masuk dan kopral itu menghabiskan peluru mitraliurnya di sana. Aku masuk ke dalam rumah, di remang-remang kegelapan itu tampak lima sampai 20-an perempuan, anak-anak, dan laki-laki…. (A)ku saksikan darah muncrat, jeritan, dan suara kematian di dalam rumah itu..."
Kisah Joop Hueting segera mengguncang Negeri Kincir Angin. Sejak itu, Belanda tak kunjung rampung dengan isu kwestie Indie veteranen (masalah veteran Hindia Belanda), excessen (ekses-ekses perang), oorlogsgeweld (kekerasan dalam perang), atau oorlogsmisdaden (kejahatan perang). Eksekusi, penganiayaan, dan pemerkosaan terhadap warga sipil tersembunyi di balik kisah 200-an ribu tentara Belanda yang dikirim ke Indonesia. Namun khalayak Belanda juga mulai menyadari kekejaman tentaranya di sana.
Pada 1969, atas desakan oposisi di parlemen, Perdana Menteri Piet De Jong menanggapinya dengan menerbitkan Excessennota. De Jong menyatakan, "menyesali terjadinya ekses-ekses tersebut, namun tetap berpendapat bahwa Angkatan Perang kami secara keseluruhan bertindak korek." Sejarawan Cees Fasseur, penulis Excessennota, menyebut korban kekerasan perang masa itu hanya sekitar 20-an orang.
Bermunculanlah kisah, novel, buku dan debat publik seputar episode yang menghadapkan Belanda secara frontal pada masa kelamnya. Sejarawan Loe de Jong, dengan karya standar tentang Belanda di masa Perang Dunia II, menyebut ulah tentara Belanda di Indonesia sebagai oorlogsmisdaden (kejahatan perang), namun dia ditekan agar mencabut istilah tersebut. Sebaliknya, Excessennota pun digugat. Cees Fasseur belakangan mengakui, "Mungkin, saya khilaf."
Tapi bagaimana dengan sikap politik pemerintah Belanda? Sejak 1990-an isu kekerasan perang selalu berbuntut soal excuse (permohonan maaf) kepada Indonesia.
Pada 1995, Joop Hueting, yang kemudian menjadi guru besar Psikologi di Brussel, kembali tampil. Dia menuduh pemerintah Belanda menyembunyikan sesuatu. "Tak ada satu pun kasus yang menjadi isu (yang terselesaikan)," katanya di suratkabar Trouw.
Tahun itu, Indonesia genap 50 tahun merdeka. Sejumlah kalangan mendesak, dalam kunjungan kenegaraan ke Indonesia, Ratu Beatrix menghadiri perayaan 17 Agustus 1995 di Istana Merdeka dan menyampaikan excuse. Namun pemerintahan Perdana Menteri Wim Kok mendapat tekanan dari kalangan veteran tentara Indie agar membuang jauh-jauh usulan seperti itu. Akhirnya Ratu Belanda menginap di Singapura dan batal hadir pada perayaan resmi kemerdekaan Indonesia. Dia berkunjung tanpa menyampaikan excuse. Sudah menjadi rahasia umum, ayah Ratu Beatrix, Pangeran Bernhard, dan Partai Liberal-Konservatif (VVD) akrab dengan lobby veteran Indie dan menjadi semacam pelindung mereka.
Dalam percaturan diplomatik, bentuk paling empuk dan sederhana adalah pernyataan "penyesalan" atas apa yang telah terjadi. Sementara excuse bisa sekadar ungkapan politik dan moral atau menjadi suatu konsep hukum yang mengandung implikasi. Excuse dengan implikasi yuridis sangat rumit dan tak pernah terjadi. Yang kerap menjadi isu di Belanda adalah excuse sebagai ekspresi politik-moral; tapi ini pun tersendat-sendat.
Pada 2005, Menteri Luar Negeri Belanda Bernard Bot menghadiri perayaan resmi 17 Agustus dan menyatakan "Belanda berada pada sisi yang salah" pada masa Perang Dunia II di Indonesia. Saat itu Pangeran Bernhard sudah tiada dan para veteran pun makin lanjut usia. "Kehadiran saya dapat dipandang sebagai penerimaan (aanvarding) secara politik dan moral terhadap tanggal (17 Agustus 1945) tersebut," ujar Bot. Dengan kata lain, Bot tak menyatakan pengakuan politik-yuridis terhadap kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 melainkan "menerima" secara de facto kemerdekaan. Dengan demikian, isu excuse pun tak tuntas.
Perlukah Indonesia secara resmi menerima excuse dan pengakuan resmi Belanda atas 17 Agustus 1945 sebagai Hari Kemerdekaan? Menjelang kunjungan Ratu Beatrix pada 1995, Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas menyangsikannya. "Moeten wij oude koeien uit de sloot halen? (Haruskah kita membongkar hal-hal masa lalu?)," katanya kepada Ranesi (Radio Nederland Seksi Indonesia). Pemerintahan Orde Baru, yang membuka dan merawat hubungan diplomatik dengan Belanda, secara pragmatis berkepentingan demi hubungan dagang dan pembangunan ekonomi.
Prakarsa excuse Belanda bisa menerbitkan sejumlah isu lain yang terkait. Misalnya, bagaimana dengan kasus-kasus kejahatan perang yang dilakukan para pemuda pejuang Indonesia terhadap warga sipil Belanda atau eks tawanan perang Jepang di Jawa pada masa yang di Belanda disebut periode "bersiap" (1946-1947)? Tak kalah penting, layakkah kita menyambut excuse Belanda atas kejahatan perang tentaranya di Indonesia, ketika pada saat yang sama pemerintah Indonesia melestarikan impunitas terhadap kejahatan perang tentaranya di Timor Timur (1975-1999) dengan cara menguburnya melalui Komisi Bersama Indonesia-Timor Leste untuk Kebenaran dan Persahabatan (CTF) pada 2008?
Betapa pun, isu excuse sekali lagi dimaksud untuk menyelesaikan endapan emosi dan moral Belanda-Indonesia. Dilema Belanda ini akhirnya mendapat terobosan melalui pintu lain, yaitu generasi baru para praktisi hukum yang duduk di kehakiman dan kejaksaan. Berkat pembelaan ahli hukum kejahatan perang Prof Lisbeth Zegveld pada 2011 –dengan bantuan aktivis Belanda asal Menado Jeffrey Pondaag– untuk kali pertama Dewan Hakim di Den Haag meluluskan tuntutan santunan ganti rugi para janda Rawagede (kini Balongan, Jawa Barat) terhadap negara Kerajaan Belanda atas kasus kejahatan perang berupa eksekusi massal. Padahal, selama puluhan tahun terakhir kasus-kasus semacam ini dianggap "kadaluwarsa". Maka, untuk kali pertama pula, pemerintah Belanda diwakili Duta Besar Koos van Dam menyampaikan excuse kepada korban kejahatan perang di Indonesia pada 2011.
Sejak mencuatnya kasus Rawagede, ulah Westerling digugat melalui meja hijau. Lisbeth berhasil menemukan sebelas janda dari sejumlah desa yang menjadi korban eksekusi pasukan Westerling semasa bertugas "memulihkan ketertiban dan keamanan" di Sulawesi Selatan. Pemerintah koalisi Partai Buruh (PvdA) dan Partai Liberal-Konservatif (VVD) tak segera memberikan tanggapan tegas namun juga tak menampik. Isu itu mencuat ke permukaan ketika R. Ten Broecke, wakil VVD di parlemen, menyatakan menolak santunan baru dengan alasan "hanya akan membuka kotak pandora". Menteri Luar Negeri Frans Timmerman dari PvdA menjauhi pernyataan ini. Situasi neraca moneter Belanda menunjukkan perlunya menekan defisit anggaran yang berada di atas patokan Uni Eropa, dengan keharusan menambah penghematan dan pemasukan pendapatan negara.
Santunan senilai 200-an ribu euro bagi kesebelas korban Westerling tentu tak berdampak signifikan bagi penghematan negara. Karenanya, kecemasan "kotak pandora" pun segera ditampik. Sebaliknya, mengingat pentingnya meningkatkan perdagangan Indonesia-Belanda, excuse malah diharapkan dapat membantu membuka jalan bagi para pebisnis Belanda.
Indonesia, dengan angka pertumbuhan sekitar 6 persen berkat peningkatan investasi asing, dipandang punya prospek ekonomi menjanjikan. Nilai perdagangan Indonesia-Belanda tahun lalu mencapai 3,5 milyar euro. Di Uni Eropa, Belanda memimpin dengan status mitra dagang kedua terbesar dengan Indonesia.
Kesediaan Perdana Menteri Mark Rutte, yang berasal dari partai VVD dan selama ini setia kepada kalangan veteran Indie, untuk menyatakan excuse dan memberi santunan tampaknya merupakan isyarat diplomatik segar demi meningkatkan hubungan dengan Indonesia. Excuse dan santunan akan disampaikan duta besar Belanda dalam kunjungannya ke Sulawesi Selatan dalam waktu deka
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup
--------------
No comments:
Post a Comment