Selasa, 25 februari 2014 00:44 WIB
17 Perusahaan Merusak DAS Citarum
Pemerintah Daerah Jangan Cuci Tangan
Deni Sahbudin/GM |
PEMULUNG sedang mencari plastik bekas di dasar dan permukaan Sungai Citarum di betulan Desa Rancamanyar, Kec. Baleendah Kab. Bandung, beberapa waktu lalu. |
CIUMBULEUIT (GM) - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI melakukan audit lingkungan Sungai Citarum. Dari hasil audit tersebut, BPK menemukan 17 perusahaan yang berlokasi di sepanjang DAS Citarum melanggar ekosistem lingkungan.
BPK pun berharap pemerintah daerah jangan cuci tangan atas kerusakan lingkungan saat ini. Mengingat ada unsur pidananya, maka hasil audit tersebut sudah diserahkan ke Mabes Polri dan DPR sejak dua bulan lalu.
"Saya tidak bisa menyebutkan nama perusahan tersebut. Yang jelas ada 17 perusahaan. Perusahaan tersebut melanggar baku mutu air sungai. Pabrik-pabrik itu membuang limbahnya ke sungai dengan luar biasa," tegas anggota IV BPK RI, Ali Masykur Musa kepada wartawan di sela-sela kuliah umum "Etos Kebangsaan dan Penyelamatan Keuangan Negara" di Gedung Rektorat Universitas Katolik Parahyangan, Jln. Ciumbuleuit Bandung, Senin (24/2).
Ia menyebutkan pabrik itu berada di sepanjang Majalaya hingga Purwakarta. Selain itu, ia juga menilai, hulu DAS Citarum kondisinya sudah rusak dan ini membahayakan kesehatan masyarakat sekitar Bandung Raya dan Jakarta. Karena 45 persen kebutuhan air Ibu Kota yang disuplai dari Jatiluhur, semua dari DAS Citarum.
"Saya mengimbau kepada pemprov dan pemkab/pemkot terkait untuk segera merehabilitasi lahan DAS Citarum yang rusak parah. Lalu untuk aparat penegak hukum, harus berani menindak bagi pencemar lingkungan. Sehingga ini menjadi shock therapy bagi perusak atau pencemar lingkungan," tegasnya. Dikatakan, sanksi yang diberikan penegak hukum diharapkan bisa menjadi efek jera bagi pengusaha atau perusahaan yang merusak lingkungan.
Menurutnya, anggaran rehabilitasi DAS Citarum nilainya mencapai Rp 1,3 triliun setiap tahun. Anggarannya cukup besar tapi kemudian jika di hulunya tetap rusak dan para pengrusak lingkungan tetap menggunduli hutan, maka anggaran sebesar itu tidak ada artinya.
"Kalau tidak ada artinya, Rp 1,3 triliun bisa untuk yang lain," tegasnya. Tapi yang jelas, katanya, Baleendah dan Majalaya sudah rusak parah. Sehingga diperlukan tata ruang baru dan perda baru, baik yang disusun Pemprov Jabar maupun pemkab atau pemkot terkait.
Ditanya berapa kerugian secara nominal atas kerusakan DAS Citarum tersebut, Ali enggan membeberkannya. "Jumlahnya ada, tapi izinkan saya berbeda, dari pidana lingkungannya saja yang didorong. Materilnya tidak bisa dikemukakan," katanya.
Cuci tangan
Ia menilai, soal tata ruang baru karena kerusakan DAS Citarum sudah sangat parah, harus dilakukan Pemprov Jabar dan pemkab/pemkot. Karena bukan tata ruang nasional, urusan ini termasuk parsial sehingga yang mengurusnya daerah.
Disinggung apakah Pemprov Jabar berperan dalam kerusakan Citarum, Ali menegaskan, semua pemerintah daerah terkait terkesan cuci tangan dalam urusan ini. Baik pemprov maupun pemkab/pemkot kurang aware.
Sementara di tempat terpisah, Wakil Ketua Komisi D DPRD Jawa Barat, Herry Mei Oloan mengatakan, pemerintah pemprov dan pemerintah pemkab./pemkot harus ikut bertanggung jawab terhadap kerusakan di Citarum.
"Kalau hasil pemeriksaan BPK Itu saya pikir benar, karena 'kan itu ada di wilayah Jabar, jadi tanggung jawab pemprov dan pemerintah daerah. Apalagi ada wilayah yang menjadi kewenangan pemprov, yaitu di hulunya. Harusnya pemprov menjaga kondisi agar tidak terjadi sendimentasi. Harus punya wilayah ke sana. Pemprov juga yang memberikan izin, sehingga industri masuk ke sungai-sungai. Selain ada wilayah yang juga menjadi tanggung jawab pemkab, tapi tidak dilaksanakan, jadi wajar kalau BPK memberikan rekomendasi seperti itu," jelas Herry.
Dikatakannya, saran BPK memang perlu diikuti, apalagi untuk menjaga kondisi Citarum. Sehingga izin-izin industri perlu diperhatikan, terutama terkait dengan alih fungsi lahan.
Dalam hal ini leading sector tata ruang harus dilakukan Pemprov Jabar. Sehingga nantinya pemkab/pemkot bisa mengikuti. "Tata ruang kita pun mengikuti tata ruang nasional," katanya.
Terkait 17 pengusaha yang menyalahi aturan, terutama dalam instalasi pengolahan air limbah (IPAL), Herry mengatakan, harus ada tindakan tegas dari pemerintah.
"Saya pikir harus mengacu pada perda dan perundang-undangan. Kalau undang-undang mengharuskan pencabutan perizinan, saya pikir cabut saja izinnya. Harus tegas, 'kan ada aturannya. Jadi lihat aturan, undang-undangnya. Kalau bedasarkan kualitas pelanggaranya (izin) harus dicabut, ya cabut saja," katanya.
BPK pun berharap pemerintah daerah jangan cuci tangan atas kerusakan lingkungan saat ini. Mengingat ada unsur pidananya, maka hasil audit tersebut sudah diserahkan ke Mabes Polri dan DPR sejak dua bulan lalu.
"Saya tidak bisa menyebutkan nama perusahan tersebut. Yang jelas ada 17 perusahaan. Perusahaan tersebut melanggar baku mutu air sungai. Pabrik-pabrik itu membuang limbahnya ke sungai dengan luar biasa," tegas anggota IV BPK RI, Ali Masykur Musa kepada wartawan di sela-sela kuliah umum "Etos Kebangsaan dan Penyelamatan Keuangan Negara" di Gedung Rektorat Universitas Katolik Parahyangan, Jln. Ciumbuleuit Bandung, Senin (24/2).
Ia menyebutkan pabrik itu berada di sepanjang Majalaya hingga Purwakarta. Selain itu, ia juga menilai, hulu DAS Citarum kondisinya sudah rusak dan ini membahayakan kesehatan masyarakat sekitar Bandung Raya dan Jakarta. Karena 45 persen kebutuhan air Ibu Kota yang disuplai dari Jatiluhur, semua dari DAS Citarum.
"Saya mengimbau kepada pemprov dan pemkab/pemkot terkait untuk segera merehabilitasi lahan DAS Citarum yang rusak parah. Lalu untuk aparat penegak hukum, harus berani menindak bagi pencemar lingkungan. Sehingga ini menjadi shock therapy bagi perusak atau pencemar lingkungan," tegasnya. Dikatakan, sanksi yang diberikan penegak hukum diharapkan bisa menjadi efek jera bagi pengusaha atau perusahaan yang merusak lingkungan.
Menurutnya, anggaran rehabilitasi DAS Citarum nilainya mencapai Rp 1,3 triliun setiap tahun. Anggarannya cukup besar tapi kemudian jika di hulunya tetap rusak dan para pengrusak lingkungan tetap menggunduli hutan, maka anggaran sebesar itu tidak ada artinya.
"Kalau tidak ada artinya, Rp 1,3 triliun bisa untuk yang lain," tegasnya. Tapi yang jelas, katanya, Baleendah dan Majalaya sudah rusak parah. Sehingga diperlukan tata ruang baru dan perda baru, baik yang disusun Pemprov Jabar maupun pemkab atau pemkot terkait.
Ditanya berapa kerugian secara nominal atas kerusakan DAS Citarum tersebut, Ali enggan membeberkannya. "Jumlahnya ada, tapi izinkan saya berbeda, dari pidana lingkungannya saja yang didorong. Materilnya tidak bisa dikemukakan," katanya.
Cuci tangan
Ia menilai, soal tata ruang baru karena kerusakan DAS Citarum sudah sangat parah, harus dilakukan Pemprov Jabar dan pemkab/pemkot. Karena bukan tata ruang nasional, urusan ini termasuk parsial sehingga yang mengurusnya daerah.
Disinggung apakah Pemprov Jabar berperan dalam kerusakan Citarum, Ali menegaskan, semua pemerintah daerah terkait terkesan cuci tangan dalam urusan ini. Baik pemprov maupun pemkab/pemkot kurang aware.
Sementara di tempat terpisah, Wakil Ketua Komisi D DPRD Jawa Barat, Herry Mei Oloan mengatakan, pemerintah pemprov dan pemerintah pemkab./pemkot harus ikut bertanggung jawab terhadap kerusakan di Citarum.
"Kalau hasil pemeriksaan BPK Itu saya pikir benar, karena 'kan itu ada di wilayah Jabar, jadi tanggung jawab pemprov dan pemerintah daerah. Apalagi ada wilayah yang menjadi kewenangan pemprov, yaitu di hulunya. Harusnya pemprov menjaga kondisi agar tidak terjadi sendimentasi. Harus punya wilayah ke sana. Pemprov juga yang memberikan izin, sehingga industri masuk ke sungai-sungai. Selain ada wilayah yang juga menjadi tanggung jawab pemkab, tapi tidak dilaksanakan, jadi wajar kalau BPK memberikan rekomendasi seperti itu," jelas Herry.
Dikatakannya, saran BPK memang perlu diikuti, apalagi untuk menjaga kondisi Citarum. Sehingga izin-izin industri perlu diperhatikan, terutama terkait dengan alih fungsi lahan.
Dalam hal ini leading sector tata ruang harus dilakukan Pemprov Jabar. Sehingga nantinya pemkab/pemkot bisa mengikuti. "Tata ruang kita pun mengikuti tata ruang nasional," katanya.
Terkait 17 pengusaha yang menyalahi aturan, terutama dalam instalasi pengolahan air limbah (IPAL), Herry mengatakan, harus ada tindakan tegas dari pemerintah.
"Saya pikir harus mengacu pada perda dan perundang-undangan. Kalau undang-undang mengharuskan pencabutan perizinan, saya pikir cabut saja izinnya. Harus tegas, 'kan ada aturannya. Jadi lihat aturan, undang-undangnya. Kalau bedasarkan kualitas pelanggaranya (izin) harus dicabut, ya cabut saja," katanya.
(B.96/B.99)**
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
http://groups.yahoo.com/group/batavia-news
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup
--------------
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup
--------------
.
__,_._,___
No comments:
Post a Comment