Relevansi Golput

Share

Sikap golput tak bisa disalahkan dan dihakimi secara sepihak.

Mendekati pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014, sejumlah kalangan—dari Komisi Pemilihan Umum, pengamat hukum tata negara hingga pihak kepolisian—tiba-tiba santer memperingatkan siapa pun yang berkampanye atau mengajak orang lain untuk golput, alias tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu nanti, bakal dikenai sanksi pidana.
 
Bahkan, Badan Intelijen Negara (BIN) mendadak mulai sibuk menengarai sejumlah gerakan golput di kalangan yang mereka sebut "separatis".

Mereka mengacu Pasal 292 dan Pasal 308 UU No 8/2012 yang menyebutkan setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya, dipidana dengan penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta.

Peringatan ini mengingatkan kita pada rezim Orde Baru. Pada 1971, sebuah gerakan golput muncul karena kekecewaan terhadap sistem pemilu yang seolah-olah demokratis. Pemilu di bawah Orde Baru mengesankan seolah masyarakat punya kebebasan memilih.

Padahal, jauh-jauh hari sudah diketahui golongan karyalah—yang merupakan kekuatan pendukung Orde Baru—yang akan selalu memenangkan kompetisi. Sementara itu, dua partai politik lainnya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) hanya sebagai "ornamen demokrasi".

Kekecewaan ini membentuk perlawanan dalam sikap diam, sikap membangkang. Sebuah gerakan protes yang tidak dilakukan dengan huru-hara atau hiruk pikuk, tapi dengan cara bersepakat untuk tidak mendatangi bilik-bilik suara saat pemilu digelar.

Sebuah cara memprotes legalitas "demokrasi" dengan cara yang "melecehkan" dan "menghina". Sebuah gerakan masyarakat untuk mengatakan kepada pemerintah bahwa "kalian bisa saja memenangi kursi kekuasaan, tapi sebenarnya legalitas kekuasaan yang kalian pegang diragukan karena tidak mendapatkan mandat yang sejati dari kami".

Saat reformasi bergulir dan Pemilu 1999 digelar di bawah rezim yang lebih baru, orang beramai-ramai meninggalkan sikap golput yang sadar (tidak menggunakan hak pilih secara sadar-red) karena merasa "demokrasi sejati" telah datang. Partai bebas berdiri—meski tetap ada larangan untuk partai-partai berhaluan kiri—dan semua orang bebas memilih.

Namun, saat kualitas anggota parlemen dari masing-masing parpol tak bisa dibedakan dan saat suara vokal anggota legislatif dibungkam parpol, orang kembali memasang jarak dengan politik.

Pada 2004, sebagian warga mulai tak menggunakan hak pilih yang sempat mereka gunakan pada 1999. Sebanyak 23.551.321 warga atau sekitar 15,91 persen dari total pemilik suara memutuskan tak menggunakan hak pilihnya. Ironisnya, hal ini terjadi saat sistem pemilu digelar langsung, saat warga dapat memilih langsung siapa wakilnya.

Pada 2009, jumlah mereka yang menolak menggunakan hak suaranya makin besar, sebanyak 49.677.076 suara atau 29,01 persen dari total pemilih. Pada 2014, jumlah ini diperkirakan akan makin bengkak.

Tentu kita tahu tak semua angka tersebut adalah pengguna golput yang "sadar". Banyak juga yang tak menggunakan hak pilihnya karena malas atau tak mau ribet datang jauh-jauh ke bilik suara.

Tapi untuk jenis golput yang sadar, seperti gerakan yang dicetuskan intelektual Arief Budiman pada 1971 sebagai bentuk perlawanan terhadap Golkar—partai pendukung Orba—kita khawatir jumlah ini juga meningkat pada Pemilu 2014.

Melihat situasi politik yang ada saat ini, hiruk pikuk demokrasi masih bergulat dalam demokrasi prosedural. Politik belum menyentuh tataran substansial, sikap golput tak bisa disalahkan dan dihakimi secara sepihak.

Penuhnya pengadilan tindak pidana korupsi oleh para politikus yang menjadi tersangka korupsi, membuat warga juga semakin jeri dengan politik dan antipati pelaksanaan sistem pemilu yang hanya melahirkan para koruptor baru.

Seluruh pihak harus berani introspeksi, tindak korupsi yang menggurita di kalangan politikus kita saat ini tak bisa disalahkan semata pada "moralitas" buruk para politikus tersebut, tapi juga sistem pemilu yang sangat membuka celah peluang korupsi. Dalam konteks inilah sebuah gerakan yang mengkritisi sistem politik kita, tak bisa dihakimi sepihak seperti menghakimi seorang kriminal.

Memorandum gerakan golput pada 1971 berbunyi, "Kalau ada yang merasa lebih baik tidak memilih daripada memilih, bertindaklah atas dasar keyakinan itu pula".

Maka kini, kita juga bisa mengatakan," Kalau ada yang merasa lebih baik memilih, daripada tidak memilih, bertindaklah atas dasar keyakinan itu. Bukan karena uang."