Monday, April 15, 2013

[batavia-news] Korupsi dan Trias Politica

 

 
 

Korupsi dan Trias Politica

Tuesday, 02 April 2013 11:21

"Mengapa korupsi marak di sejumlah negara, tapi tidak di sejumlah negara lainnya?" tanya Montinola dan Jackman di British Journal of Political Science 32/2002. Bagi kaum kulturalis, korupsi disebabkan norma sosial penghargaan atas hadiah atau loyalitas keluarga dan suku. Di masyarakat bernorma seperti ini, korupsi mustahil dibasmi.

Kaum developmentalis menyanggah. Bagi mereka, korupsi bukan soal kultur, melainkan fenomena pembangunan. Sebagian dari mereka menilai, korupsi bisa mendorong efisiensi, juga mengatasi kekakuan birokrasi sebagai ciri khas modernisasi. Fenomena korupsi akan melemah seiring dengan kemajuan pembangunan, utamanya pada tahap kematangan industrial. Sebagian lagi setuju korupsi memang by product modernisasi, tapi meragukan efisiensi yang ditimbulkannya.

Di tengah perbedaan itu, muncul mazhab pilihan publik (public choice). Bagi mazhab ini, akar korupsi adalah absennya pilihan kompetitif: pos-pos publik bidang politik dan ekonomi tak diisi lewat kompetisi. Akibatnya, birokrat atau legislator mudah mengintervensi lewat kekuasaan regulatif yang mereka miliki atau mengalihkan kontrak-kontrak bernilai tinggi. Intervensi macam ini membuka peluang khas bagi korupsi. Semakin besar intervensi pejabat dan legislator, semakin tinggi rente yang harus disetor. Maka, kompetisi adalah kunci minimalisasi korupsi. Tapi itu pun masih perlu dua kondisi. Pertama, pengawasan ketat lewat jejaring asosiasi publik, penyedia informasi, dan media. Kedua, pergantian cepat yang menjamin pejabat tak bisa mengambil manfaat dari aturan yang mereka buat.

Toh, seperti kata Dahlstrom dan kawan-kawan, problem korupsi lebih luas dari kompetisi. Banyak studi menunjukkan, di negara demokrasi muda, korupsi lebih marak dibandingkan dengan di negara otoriter. Hanya di negara demokrasi tua, korupsi terjadi amat langka. Di negara seperti itu, politisi membangun reputasi lewat penetapan kebijakan nir-korupsi. Birokratnya siap melayani, bukan minta dilayani. Pada demokrasi muda, politisi perlu patron dan ''suhu'' agar sukses di pemilu. Lalu birokrasi dimobilisasi guna meraih banyak kursi. Itulah biang klientilisme. Jadi, bila orang mengeluh, korupsi kini lebih menyeluruh, maka hal itu adalah penanda bahwa demokrasi kita perlu perbaikan segera.

Tapi, apa sih korupsi itu? Bagi Robert Klitgaard, formulanya sederhana, yakni buah monopoli plus diskresi kewenangan, tapi minus akuntabilitas. Di balik formula sederhana ini terdapat keluasan dimensi korupsi, yang oleh Shah dan Schacter dipilah menjadi tiga. Pertama, grand corruption, yaitu penyalahgunaan kekuasaan skala besar oleh segelintir birokrat atau politisi elite. Katakan, anggaran nasional dikavling sesuai dengan ''jatah'' para elite. Kedua, state/regulatory capture: ini jenis kolusi sektor swasta dengan birokrat atau politisi guna keuntungan timbal balik pribadi. Di sini, swasta ''menangkap'' aparat negara, atau sebaliknya, aparat negara memeras swasta. Ketiga, petty bureaucratic/administrative corruption, yakni transaksi pejabat publik secara mandiri, lewat suap atau balas budi.

Adapun kompetisi ala mazhab public choice hanya bisa mereduksi korupsi bila lembaga demokrasi diperbaiki. Kuncinya ada pada check and balance antar-tiga unsur trias politica yang terpisah, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ini pun harus didukung dengan penegakan hukum dan kontrol masyarakat sipil. Pada demokrasi tua seperti Australia, trias politica tak selalu terpisah nyata. Tapi check and balance terpelihara, utamanya berkat tradisi oposisi yang jelas dan melembaga. Pada demokrasi muda seperti Indonesia, tantangannya justru disfungsi trias politica, sehingga check and balance tak tercipta. Lihatlah, proses dan outcome legislasi berjalan tak terjaga, karena fungsi pengawasan ada di tangan legislatif juga. Herankah bila korupsi dilakukan sistemik antar-mereka?

Nah, sistem yang koruptif itu harus dipotong lewat alih fungsi. Hak pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus dialihkan ke lembaga yang ada dengan legitimasi setara: Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Fungsinya yang kini kabur dibuat jelas: mengawal proses dan outcome legislasi DPR, juga pelaksanaannya oleh pemerintah. Gunanya, deteksi sedini mungkin ketiga aras korupsi. Dengan begitu, DPD bisa disebut ''lembaga eksaminatif'', yang fungsinya mengamati, menganalisis, dan mempertanyakan kinerja legislatif dan eksekutif. Lembaga yudikatif sebaiknya dicakup, berikut uji kelayakan pejabatnya, seperti Jaksa Agung, hakim agung, atau anggota Komisi Pemberantasan Korupsi. Fungsi eksaminatif DPD juga bagus bagi penguatan masyarakat sipil, karena anggotanya bisa menjadikan masyarakat sipil sebagai basis.

Harapannya, rakyat tetap percaya pada lembaga demokrasi. Upaya penguatannya tumbuh dinamis dan semangat korupsi makin tipis. Dilihat dari perspektif ini, pemilu 2014 krusial bagi perbaikan demokrasi dan pemberantasan korupsi.

Abdul Aziz, Peneliti senior Balitbang Kementerian Agama, mantan anggota KPU

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
http://groups.yahoo.com/group/batavia-news
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup 
--------------
.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment