Saturday, April 20, 2013

[batavia-news] Liberalisasi Listrik

 

 
 
Jumat, 19 Apr 2013 00:12 WIB

Liberalisasi Listrik

Oleh: Fitria Osin.

 

Setelah menaikkan tarif listriksebesar 4,3% pada 1 Januarilalu, pemerintah akan kembalimenaikkan tarif listrik 4,3% untuk semua golongan pelanggan, kecuali kelompok pelanggan 450 VA dan 900 VA pada April ini. Hal ini merupakan kelanjutan tekad pemerintah untuk meliberalisasi listrik secepatnya dengan menaikkan tarif listrik sebesar 15% secara bertahap pertriwulan pada tahun ini.

Meski UU No. 20 tahun 2002 tentang kelistrikan telah dibatalkan, namun semangat pemerintah untuk meliberalisi listrik tidak pernah surut. Berbagai upaya terus dilakukan. Kebijakan terbaru adalah Statement Dir Keu pada PLN Kita Edisi 22 Januari 2013 yang mengamanatkan agar PLN melakukan Shared Service. Esensi dari Shared Service ini adalah proses unbundling fungsional.

Dalam melakukan Shared Service ini, PLN menggandeng Accenture, yaitu sebuah perusahaan Konsultan Manajemen Global milik Arthur & Andersen Consulting yang berpusat di Amerika Serikat. Agenda ini dilakukan untuk menyempurnakan proses privatisasi listrik berkedok unbundling yang muaranya adalah semakin langgengnya dominasi para kapital asing di Indonesia dan semakin sempitnya kehidupan masyarakat.

Perjalanan Menuju Privatisasi

Di masa Orde Baru, John Perkins -seorang ekonomi AS- mendesain pertumbuhan ekonomi Indonesia yang otomatis terkait dengan pertumbuhan kelistrikan yang sangat melejit-lejit. Pada tahun 80-an, listrik bertumbuh sampai 14% sehingga rezim Soeharto mau tidak mau meminjam dana ke Bank Dunia untuk mengantisipasi pertumbuhan listrik yang melejit-lejit tersebut. Pada tahun 1997, bersamaan dengan krisis moneter dan tenggat pembayaran utang, IMF segera mengajak Indonesia untuk menandatangani letter of inten pada 31 Oktober 1997 yang pada butir 41 IMF berpesan kepada pemerintah untuk memprivatisasi sektor pelayanan publik termasuk PLN.

Tahun 1998 melalui Kementerian Pertambangan dan Energi, pesanan IMF tersebut lolos dengan diterbitkannya road map liberalisasi ketenagalistrikan melalui tahapan Unbundling, Profitisasi dan Privatisasi. Atas desakan IMF, tahun 1999 pemerintah RI mengeluarkan perundang-undangan sektor ketenagalistrikan yang baru untuk menggantikan UU Kelistrikan tahun 1985 yang mengamanatkan liberalisasi sektor listrik.

Tahun 2002, sesuai dengan road map yang telah dirancang, ditelurkan UU No.20 tahun 2002 tentang Unbundling Vertikal dan Horizontal di tubuh PLN. Undang-undang ini sangat kental dan blak-blakan tentang privatisasi listrik. Undang-undang ini diperkuat dengan lahirnya UU No. 19 tahun 2003 yang salah satu pasalnya memuat bahwa restrukturisasi ditujukan untuk mempermudah privatisasi.

Bank Dunia pun segera menggelontorkan pinjaman sebesar US$ 141 juta untuk mempercepat proses tersebut. Esensi program tersebut adalah profitisasi dengan mengintegrasikan data-data keuangan sehingga top management bisa mengontrol kinerja keuangan. Namun, pada 15 Desember 2005, UU No. 20 tahun 2002 ini dibatalkan MK karena dianggap melanggar konstitusi.

Meski demikian, proyek privatisasi tidak berhenti. Pemerintah kemudian menerbitkan PP No. 3 tahun 2005 tentang kebijakan kelistrikan. Tahun 2008, RUPS PLN memutuskan untuk membentuk beberapa anak perusahaan distribusi di Jawa-Bali dan anak perusahaan transmisi. Untuk melegalisasi proyek privatisasi ini, pemerintah telah menelurkan UU Kelistrikan yang baru No. 30 tahun 2009 sebagai pengganti UU No. 20 tahun 2002.

Undang-undang yang baru ini seolah-olah menjadi payung hukum bagi pemerintah untuk meneruskan pesan liberalisasi PLN. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah ada dua yaitu, unbundling vertikal untuk wilayah Jawa-Bali dan unbundling horizontal untuk wilayah luar Jawa. Unbundling horizontal adalah pemecahan tubuh PLN berdasarkan wilayah geografis.

Direncanakan PLN akan dibagi menjadi tiga wilayah operasi yaitu DIT OP Jawa-Bali, DIT Indonesia Barat dan DIT Indonesia Timur. Tujuannya adalah agar setiap wilayah kelistrikan dapat dikelola pemda sesuai konsep otonomi daerah. PLN pun akan melakukan restrukturisasi korporat dengan membubarkan kantor cabang dan menggantinya dengan Area Jaringan. Sampai disini, potensi Pemda untuk menggandeng swasta sangat besar.

Adapun Unbundling vertikal adalah pemecahan tubuh secara fungsi yaitu fungsi pembangkit, transmisi dan distribusi. Oleh karena itu, yang awalnya ketiga fungsi ini merupakan satu birokrasi, maka akan dipecah menjadi birokrasi atau instansi sendiri. Pemecahan ini membuka lebar pintu bagi para korporasi asing untuk masuk berkompetisi mengeruk untung dalam sektor listrik nasional. Misalnya Suralaya yang sudah diincar Prancis (CDA) dan Tambak Lorok yang diincar Jepang. Tentu setiap instansi menginginkan gain tersendiri dan memiliki operational cost sendiri-sendiri pula yang akan ditanggung oleh konsumen. Disinilah terjadinya kenaikan harga listrik. Konsumen yang awalnya hanya membayar transfer pricing satu kali ketika ketiga fungsi ini masih satu kesatuan, menjadi harus membayar tiga kali transfer pricing akibat dipecah-pecahnya fungsi-fungsi tersebut.

Kenaikan harga listrik juga akan terjadi bila praktik kartel terjadi diantara pemilik pembangkit. Bila pembangkit dijual, maka pembelinya tidak lain adalah swasta asing atau pengusaha nasional yang sudah berkolaborasi dengan asing. Sebab harga satu pembangkit yang paling murah mencapai Rp 5,5 triliun.

Oleh karena itu, potensi terjadinya praktik kartel sangat besar. Caranya adalah dengan bersepakat untuk tidak membangkitkan sesuai dengan kapasitas atau membangkitkan listrik di bawah kebutuhan. Bisa dengan alasan libur, terjadi kerusakan pada turbin, generator, dan lain-lain. Yang terjadi selanjutnya tentu offer pricing atau kenaikan harga.

Kondisi unbundling vertikal ini juga berkorelasi dengan buruknya pelayanan sistem. Saat ini PLN masih memiliki board of direction yang bisa memantau semua jalur sehingga bila konsumen mengalami gangguan, PLN bisa segera mendiagnosa sumber kerusakan. Namun bila unit-unit pelayanan PLN telah diswastanisasi, masing-masing ritel PLNdi sebuah daerah akan dimiliki oleh pihak yang berbeda-beda. Sehingga ketika konsumen mengalami gangguan, konsumen hanya bisa mengadu pada badan pengawas di kantor ritel terdekat. Badan pengawas tersebut tidak bisa langsung memberikan diagnosa dan penyelesaian atas gangguan listrik tersebut, tetapi hanya bisa bertanya dan melempar tanggung jawab kepada bagian lain.

Meski masih bernama Perusahaan Listrik Negara, tapi hampir sebagian operasinya dijalankan oleh swasta. Filipina adalah salah satu negara yang telah menjalankan unbundling dan hasilnya adalah harga listrik disana sekitar Rp 3.500,-/kwh yang merupakan tarif listrik termahal di dunia. Hal yang sama terjadi di Kamerun. Saat beban puncak terjadi overpricing tarif listrik hingga 10-15 kali lipat dari tarif kondisi normal.

Alasan Klasik

PLN masih dianggap sebagai BUMN inefisien dan sangat memberatkan APBN. Sehingga untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, menekan subsidi dan mengikis praktik korupsi di tubuh PLN, pemerintah melaksanakan proses privatisasi. Padahal, inefisiensi yang terjadi selama ini lebih karena masalah teknis yang sangat bergantung pada kemampuan manajerial dan kepemimpinan direksi PLN.

Inefisiensi PLN setidaknya terjadi karena inefisiensi teknis dan inefisiensi sistemis. Inefisiensi teknis diantaranya PLN masih didominasi penggunaan bahan bakar minyak yang dibeli dari Pertamina dengan harga internasional, bukan harga subsidi, menyebabkan cost sangat tinggi.

Dari total pembelian bahan bakar Rp 76 triliun, 63% digunakan untuk membeli BBM, sisanya untuk batu bara, gas dan panas bumi. Juga disebabkan adanya praktik korupsi dan kolusi di tubuh manajemen serta tingginya utang yang sudah mencapai Rp 286,4 T di tahun 2012 saja.

Inefisiensi sistemis berkaitan dengan kebijakan pengelolaan energi yang kapitalistik dengan mindstream bahwa harta milik umum harus dikomersilkan. UU No.22 tahun 2001 tentang Migas telah menyebabkan gas langka akibat lebih banyak diekspor daripada memenuhi kebutuhan domestik.

Politik ekonomi kapitalistik telah menempatkan korporasi di posisi yang istimewa dan negara dituntut untuk melayani sekaligus menjamin kebebasan korporasi untuk berkompetisi dalam sektor vital yang menguasai hajat hidup rakyat. Sehingga kebijakan-kebijakan yang ditelurkan sangat pro-kapitalis. Sejatinya, penerapan sistem Kapitalisme inilah yang melahirkan problematika kelistrikan. Bila terus dibiarkan akan menghancurkan PLN dan tentu merugikan rakyat serta negara.***

Penulis adalah Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia.

 
 

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
http://groups.yahoo.com/group/batavia-news
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup 
--------------
MARKETPLACE


.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment