Tuesday, April 16, 2013

[batavia-news] Sesat Pikir Menteri Agama

 

Koran Tempo, 11 April 2013

 

Sesat Pikir Menteri Agama

Oleh Victor Silaen

 

     Terkait Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali (SDA) dan pernyataannya tentang kebebasan beribadah baru-baru ini yang sangat kontroversial, Harian The Jakarta Post edisi 2 April lalu memberi judul besar: "Minister: Christians Bring Discrimination on Themselves". Intinya, Menag SDA menyalahkan umat Kristen terkait peristiwa penutupan, penyegelan dan pembongkaran gedung gereja yang terjadi belakangan ini. Menurut SDA, "Mereka telah mempolitisasi masalah administratif pembangungan gedung gereja. Orang Kristen bukan satu-satunya yang memiliki masalah mendapatkan izin untuk membangun tempat ibadah, tetapi mereka mendapat perhatian karena mereka bicara kepada media atau pers. Umat Islam di beberapa daerah seperti di Bali, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Timur juga kesulitan mendapatkan izin untuk membangun masjid; tapi mereka tidak bicara kepada pers. Mereka juga tidak memprotes atau melakukan doa di depan Istana Presiden."

     Pernyataan Menag SDA tersebut jelas mengandung beberapa kesalahan. Yang pertama, soal diskriminasi, bahkan menjurus pada sebuah kesesatan logika (logical fallacy). Bukankah diskriminasi merupakan sebuah kebijakan berat-sebelah yang ditujukan kepada pihak lain? Jadi, mana mungkin diri sendiri mendiskriminasikan diri sendiri?

     Kedua, Menag SDA mengatakan "masalah administratif pembangunan gedung gereja". Sayang, dia tak menyebut gedung gereja yang mana. Tapi mudah diduga bahwa salah satu gereja yang dimaksud adalah GKI Yasmin. Sebab, SDA juga menyebut-nyebut soal "melakukan doa di depan Istana Presiden".

     Benar, GKI Yasmin secara rutin dua minggu sekali melaksanakan ibadah di depan Istana Negara, Jakarta. Boleh jadi hal itu didorong oleh keinginan untuk menggugah perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang mestinya bertanggungjawab atas kebuntuan yang dihadapi GKI Yasmin sejak Wali Kota Bogor Diani Budiarto bergeming atas keputusan Mahkamah Agung (MA) tahun 2009 yang memenangkan GKI Yasmin. Sebab, setelah Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan dan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi juga tak berdaya menertibkan tindakan mal-administratif Wali Kota Bogor, siapa lagi yang dapat diharapkan kalau bukan Presiden SBY?

     Selain itu, ada faktor lain yang menyebabkan GKI Yasmin terpaksa menggelar ibadah di depan istana presiden. Pertama, ibadah yang sebelumnya mereka laksanakan di halaman gedung gereja mereka sendiri selalu diganggu oleh massa yang bukan penduduk setempat dan diintimidasi oleh Satpol PP. Kedua, ibadah yang mereka gelar di rumah-rumah warga jemaat pun mengalami perlakuan yang sama. Dan herannya, polisi yang bertugas saat itu lebih kerap memperlihatkan sikap "mengalah" kepada massa yang bukan penduduk setempat daripada menjamin keamanan dan kententeraman warga yang sedang beribadah.

     Kembali pada pernyataan SDA soal "masalah administrasi", tidakkah dia paham bahwa ini sudah menjadi masalah hukum: bahwa pihak GKI Yasmin sudah mengantongi kemenangan berupa keputusan dari lembaga pengadilan tertinggi yang menyatakan IMB gedung gereja mereka sah, apalagi kemudian diperkuat dengan rekomendasi dari Ombudsman RI yang menyatakan tindakan Wali Kota Bogor itu merupakan sebentuk perbuatan melawan hukum. Sebagai menteri, yang notabene juga pemimpin bangsa, bukankah SDA mestinya bangga melihat jemaat GKI Yasmin gigih memperjuangkan kebenaran dan keadilan hukum? Tidakkah lantaran itu SDA tergerak untuk membantu perjuangan GKI Yasmin alih-alih mencelanya?

     Yang lebih memprihatinkan, SDA bahkan memperbandingkan antara umat Kristen dan Muslim, antara gereja dan masjid. Tidakkah dia sadar ada bahaya sentimen primordial yang mengintai di balik pernyataannya itu?

      Saya teringat berita dari situs kbr68h.com (27/5/2012), berjudul "LSM Imparsial: Menag Putar Balikkan Fakta Intoleransi". Tertulis dalam berita tersebut, LSM Pemantau Hak Asasi Manusia Imparsial menilai Menag SDA memutarbalikkan fakta soal kerukunan umat beragama di Indonesia. Hal itu menyusul pernyataan SDA yang mengklaim Indonesia sebagai negara paling toleran di dunia.

      Peneliti Imparsial Swandaru mengatakan pernyataan Menag itu sangat bertolak belakang dengan kekerasan yang sering dilakukan kelompok intoleran. "Artinya, ukuran yang digunakan oleh Menteri adalah Presiden datang di setiap perayaan. Sementara itu, fakta yang terjadi, kekerasan begitu banyak di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa tidak ada semacam sense of crisis yang dimiliki menteri bahwa sudah ada begitu banyak orang mati, begitu banyak orang harus meninggalkan rumahnya, meninggalkan rumahnya kehilangan harta bendanya karena pemerintah gagal memberikan perlindungan."

     Sebelumnya Menag SDA mengklaim Indonesia sebagai negara dengan toleransi tertinggi di dunia. Menurutnya, kehadiran dirinya, Presiden SBY dan Wakil Presiden Boediono dalam setiap perayaan hari besar keagamaan di Indonesia merupakan bentuk kerukunan umat beragama. SDA juga menyayangkan tindakan sejumlah LSM yang melaporkan kasus kekerasan oleh kelompok intoleran di Indonesia ke sidang Dewan HAM PBB. Menurutnya, hal tersebut memperburuk citra pemerintah di dunia internasional.
     Cara berpikir SDA jelas sangat formalistik dan hanya menonjolkan hal-hal yang seremonial. Itu pun, jka dikaitkan dengan statistik, terkesan SDA buta-data. Bayangkan, di era Presiden Soekarno, ada dua gereja yang dirusak/ditutup paksa. Selanjutnya, di era Soeharto ada 456, di era BJ Habibie ada 156, di era Abdurrahman Wahid ada 232, di era Megawati Soekarnoputri ada 92, sedangkan di era SBY sampai tahun 2010 ada sekitar 2.442 gereja yang mengalami gangguan berupa perusakan dan penutupan paksa.

     Belum lagi jika kita bicara tentang rumah ibadah milik umat lain seperti Jamaah Ahmadiyah Indonesia. Yang jelas fakta bicara bahwa praktik kekerasan dengan mengatasnamakan agama dalam beberapa tahun terakhir ini meningkat. Penyebabnya? Pertama, adanya kecenderungan meningkatnya intoleransi di tengah masyarakat. Kedua, akibat absennya negara untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut secara tegas. Inilah yang disebut kejahatan melalui tindakan pembiaran (crime by omission), yang pelakunya adalah negara, dan yang salah satu pemimpinnya adalah SDA.

 

* Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan.

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
http://groups.yahoo.com/group/batavia-news
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup 
--------------
.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment