Monday, April 22, 2013

[batavia-news] Kartinian Tak Lagi Berkonde

 

Ref:  Terlalu repot membuat konde dan lagi sekarang banyak debu akibat polusi udara. hehehe
 
 
 
Kartinian Tak Lagi Berkonde
Wahyu Dramastuti | Senin, 22 April 2013 - 14:35:40 WIB
: 76
 


(SH/Muniroh)
Murid, guru, beserta orang tua TK Aisyah 94 Kali Pasir melakukan pawai dengan memakai pakaian kebaya untuk mengenang Hari Kartini, di Cikini Raya, Jakarta, Senin (22/4).
Peringatan Hari Kartini lebih dimaknai sebagai hari pembebasan.

Tiga belas perempuan naik ke atas panggung. Tampil satu per satu berparade membacakan surat-surat Kartini "Habis Gelap Terbitlah Terang". Semuanya terlihat cantik-menarik. Namun hanya satu dari 13 perempuan itu yang berkonde: artis Jajang C Noor. Tak ada yang salah dengan penampilan mereka, memang. Zamanlah yang berubah.

Memperingati Hari Kartini di era digital ini tak lagi identik dengan tampil mlipis berkebaya dengan tusuk konde dan bersandal jinjit. Layaklah, dalam parade pembacaan surat-surat Kartini, Kamis (18/4) malam lalu di Galeri Cipta 2 Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, ada pembaca yang mengenakan rok mini dengan sepatu high heels dan rambut lurus bergaya asimetris.

Tak ada yang merasa terusik dengan penampilan itu. Ini jelas beda dengan tahun 1980-an di era Presiden Soeharto, ketika masyarakat masih kriwil memandang acara peringatan Kartini tidak elok kalau kaum perempuannya datang tanpa kebaya dan tusuk konde. Maka di zaman itu mengenakan kebaya dan konde sewaan pun jadilah, kalau perlu giwang dan kalungnya juga sewa, yang penting tampil ala Ibu RA Kartini.

Apalagi para penonton yang datang di Kamis (18/4) malam itu, tampil lebih selebor lagi. Ada yang memasang anting-anting di cuping hidung dengan kaus pendek memperlihatkan pusarnya. Ada yang bercelana jeans butut bolong-bolong. Namun mereka semua tertib menyimak surat-surat Kartini yang dibacakan di atas pentas.

Tak terdengar suara berisik di bangku belakang, sekalipun mike pengeras suara sempat mati beberapa kali sehingga pembaca yang suaranya lembut hanya terdengar sayup-sayup dari bangku belakang. Tapi tak ada pula penonton memprotes suasana kurang nyaman itu. Yang ada hanya gema tepuk tangan setiap kali surat selesai dibacakan.

Tepuk riuh juga mengiringi ketika surat Kartini untuk Estella H Zeehandelaaar dibacakan:

"...Saya ingin bebas agar saya boleh dan dapat berdiri sendiri, tidak perlu tergantung pada orang lain, agar... agar tidak harus kawin! Tetapi kami harus kawin, harus, harus! Tidak kawin adalah dosa, cela paling besar yang ditanggung seorang gadis Bumiputera dan keluarganya.

Dan, mengenai perkawinan di sini, aduh, azab sengsara masih merupakan ungkapan yang terlalu halus untuk menggambarkannya. Bagaimana tidak, kalau hukumnya dibuat untuk orang laki-laki dan tidak ada sesuatu pun untuk perempuan, kalau hukum dan pendidikan keduanya untuk laki-laki belaka?

...kalau anak perempuan berjalan, maka ia harus melakukannya dengan pelan-pelan, dengan langkah pendek-pendek, sopan, aduh... seperti siput. Kalau berjalan agak cepat, maka akan dikatai seperti kuda berlari. Saya sendiri disebut "kuda kore", kuda liar, karena saya jarang berjalan pelan melainkan selalu pecicilan. Dan, karena suatu dan lain hal lagi saya dikatai juga, sebab saya sering sekali tertawa terbahak-bahak dan memperlihatkan banyak gigi; itu dianggap perbuatan tidak sopan."

Penonton tertawa mendengar isi ungkapan hati Kartini di tahun 1899 itu. Bukan melecehkan, tapi sebaliknya menghargai para perempuan Indonesia yang hidup di abad ke-19. Anak muda bernama Kristin Amelina (26), Asisten Manajer dan Manager Marketing PT Alpha Merah Kreasi, lantas menyarankan agar kawula muda sekarang meniru sikap Kartini yang berpikiran maju ke depan.

"Itu memang adat zaman segitu. Perempuannya tidak berpendidikan tinggi. Jadi aku merasa beruntung hidup di era sekarang yang tidak diikat oleh adat," katanya kepada SH. Kristin pun setuju bahwa peringatan Hari Kartini tidak mutlak diikuti oleh perempuan dengan berpakaian kebaya dan konde sebab yang lebih penting adalah bagaimana meneruskan pemikiran Kartini.

Belenggu dan Ancaman

Sayangnya, kenyataan tak seindah angan-angan. Seperti yang dituturkan oleh Ruth Indiah Rahayu, peneliti feminis yang berasosiasi dengan Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) dan Institut Kajian Krisis dan Studi Pembangunan Alternatif (Inkrispena). Menurutnya, di era kini perempuan masih dikekang oleh perkawinan yang tidak adil.

"Problem perkawinan itu yang paling membelenggu. Setelah itu, soal pembagian pekerjaan gender yang tidak berubah dari zaman dulu sampai sekarang, semisal pekerjaan di rumah tangga; perempuan karier begitu sampai di rumah masih wajib melakukan pekerjaan rumah tangga. Selain itu, masih ada persoalan kekerasan seksual, serta kurangnya perlindungan terhadap perempuan pekerja dari ancaman kekerasan, dan masalah di tempat kerja seperti kurangnya kesempatan bagi perempuan untuk naik jabatan," jelasnya kepada SH, di Komunitas Salihara, baru-baru ini.

Ruth juga mencontohkan soal kesehatan reproduksi dan menyusui yang tidak diakomodasi oleh pemerintah dan pihak swasta. Dalam hal ini, perusahaan dan kantor pemerintah tidak memberikan uang tunjangan menyusui dan pengasuhan anak. Sebaliknya dari pihak perempuan, ada yang tidak peduli akan pentingnya cuti haid karena merasa masih kuat. "Padahal ini penting sebagai hakikat perempuan," lanjutnya.

Oleh karena itu, perempuan harus meletakkan diri sesuai harkat dan martabatnya. Hal ini jugalah yang diingatkan oleh Aquarini Priyatna, dosen Sastra Inggris di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Jawa Barat.

Menurutnya, perempuan harus memberi kesempatan pada lelaki untuk menolongnya. "Orang yang mau meminta tolong itu justru kuat, karena ketika minta tolong pasti dia meminta tolong kepada orang yang lebih kuat," kata dia.

Aquarini juga menegaskan feminitas di masyarakat masih dianggap ada di bawah maskulinitas. Namun diingatkan pula bahwa menjadi perempuan tidak berarti lantas tampil seperti lelaki.

Tampaknya apa yang dikemukakan Aquarini itu terekspresikan pada parade pembacaan surat-surat Kartini di TIM. Para pembaca meskipun tidak berkain kebaya dan sanggul konde, tetap terlihat feminin. Dengan kain panjang membebat tubuh dan rambut tergerai mereka tampil anggun. Yang berpakaian rok mini dan high heels pun mempresentasikan bahasa tubuhnya dengan santun.

Perempuan-perempuan Kartini baru tersebut selain Jajang C Noor adalah Ratna Riantiarno (artis dan pendiri Teater Koma), Laksmi Notokusumo (sutradara teater dan koreografer), Faiza Mardzoeki (Direktur Institute Ungu), Okky Madasari (novelis dan pendiri Yayasan Muara Bangsa), dan Firliana Purwanti (Senior Development Program Coordinator Kedutaan New Zealand).

Selain itu, Juanita Wiratmaja (penyiar SCTV), Yuniyanti Chuzaifah (Ketua Komnas Perempuan), Winner Fransisca (mahasiswa Universitas Paramadina), Jumisih (Ketua Forum Buruh Lintas Pabrik), Tommy F Awuy (Dosen Filsafat UI), Tiga Setia Gara (penyanyi), dan Mumu Aloha (Managing Editor Detik.com).

Mengapa dikatakan presentasi bahasa tubuh? Kalau menurut Ruth Indiah Rahayu, bahasa perempuan adalah bahasa kejujuran karena tidak manipulatif. Apa yang dirasakan oleh perempuan adalah benar. Kalau kejujuran ditulis, itulah yang dikatakan sebagai kebenaran.

"Seperti misalnya perempuan korban pemerkosaan, berarti omongan perempuan itu benar. Tak mungkin kita menuliskan pelakunya," kata Ruth. Kasus pemerkosaan ditarik sebagai contoh karena sampai saat ini masih terus-menerus menjadi topik panas yang tak kunjung reda. Perempuan di zaman moderen bebas pulang malam, tetapi seksualitasnya tetap terancam.

Sumber : Sinar Harapan

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
http://groups.yahoo.com/group/batavia-news
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup 
--------------
MARKETPLACE


.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment