(dok/ist)
Ilustrasi.
Salah satu persoalan yang dituding menjadi biang keladi pembengkakan defisit adalah makin besarnya impor bahan bakar karena produksi nasional terus merosot. APBN mematok produksi minyak mentah kita sebanyak 900.000 barel per hari, namun kini sumur-sumur tua kita hanya mampu mengeluarkan minyak mentah sekitar 840.000 barel. Dengan biaya produksi yang sangat ditentukan oleh para kontraktor maka bagian pemerintah makin sedikit.
Kita bisa memperhitungkan keadaan ini makin menekan perekonomian nasional karena tidak ada upaya serius dan mendasar dari pemerintah untuk mengatasi keadaan. Sinyal negatif terjadi sejak semester pertama tahun lalu ketika mulai April kita mencatat berturut-turut defisit, kondisi yang tidak pernah terjadi sebelumnya, namun kondisi tidak disikapi dengan saksama.
Dari data yang ada terlihat beberapa hal yang cukup menarik. Pertama, kita mencatat defisit dalam perdagangan dengan China, Jepang, AS, negara-negara Eropa dan ASEAN, sebaliknya tercatat surplus dengan negara-negara Afrika dan Amerika Latin.
Kedua, penurunan ekspor dipengaruhi kebijakan pemerintah menekan pengusaha pertambangan mineral untuk mengolahnya terlebih dahulu di dalam negeri sebelum mengekspornya. Ketiga, terjadi peningkatan impor bahan bakar minyak (BBM) oleh Pertamina untuk mengamankan pasokan dalam negeri.
Data tersebut memperlihatkan masih terbukanya peluang ekspor ke Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Latin. Untuk itu dibutuhkan promosi yang lebih gencar, seperti dilakukan oleh China, meski negara itu memiliki kemampuan penetrasi pasar yang sangat besar. Pemerintah perlu memfasilitasinya agar biayanya lebih murah dan dicapai hasil lebih maksimal.
Tentang kebijakan pemerintah yang mendorong pengolahan barang tambang mineral sebelum diekspor, sepenuhnya patut didukung demi meningkatkan nilai tambah.
Ini mirip dengan keputusan pemerintah menyetop ekspor log pada 1980 sekaligus mengembangkan industri plywood di dalam negeri. Hasilnya cukup bagus, meski ekspor log langsung menurun, namun dibarengi peningkatan ekspor kayu olahan. Industri nasional juga tumbuh dan berkembang.
Peningkatan impor BBM diperhitungkan makin besar. Itu berpangkal dari kegagalan pemerintah menggenjot produksi minyak, lambat pula dalam pelaksanaan konversi BBM ke gas, tidak berhasil menaikkan harga BBM dan tidak berdaya pula menghadapi tekanan permintaan daerah atas BBM yang terus meningkat.
Kini pemerintah justru merencanakan kenaikan harga BBM yang membingungkan, yaitu dua jenis harga. Pelaksanaannya diperkirakan sulit, merepotkan dan berdampak buruk, apalagi bila pemerintah tidak mempersiapkan sosialisasinya dengan baik.
Oleh karena itu, diperhitungkan defisit neraca dagang akan terus membesar. Hal tersebut akan memukul cadangan devisa, meski kini masih dianggap aman karena cukup untuk mendukung impor selama 5,7 bulan.
Bila tren berlanjut maka cadangan devisa makin tergerus, apalagi Bank Indonesia (BI) juga masih harus mengamankan kurs rupiah dari para spekulan pasar. Tentu saja penurunan cadangan devisa akan sangat merugikan karena melemahkan kemampuan BI dalam mengendalikan gejolak moneter dan menjamin stabilitasnya.
Pemerintah seharusnya tidak memandang situasi negatif ini dengan sebelah mata. Dunia usaha membutuhkan kewibawaan pemerintah untuk memberikan arah yang jelas serta langkah yang terkoordinasi. Itu harus tercermin dalam sikap dan pernyataan pemerintah yang lebih mendorong optimisme, bukan justru pesimistis dan membingungkan.
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup
--------------
No comments:
Post a Comment