Wednesday, May 8, 2013

[batavia-news] Intoleransi Meningkat, SBY Dapat Penghargaan

 

 
 
Intoleransi Meningkat, SBY Dapat Penghargaan
Ruhut Ambarita | Rabu, 08 Mei 2013 - 14:15:12 WIB
: 163
 


(dok/antara)
Kalangan pemuka agama dan pegiat HAM menolak penghargaan untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

JAKARTA - Di tengah meningkatnya aksi intoleransi terhadap komunitas beragama di Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima penghargaan World Statesman 2013 dari Yayasan Appeal of Conscience yang berasal dari Amerika Serikat (AS) atas jasanya dalam penyelesaian konflik sipil maupun agama.

Kalangan pemuka agama dan pegiat hak asasi manusia menolak pemberian penghargaan ini. Namun, agaknya presiden akan tetap pergi ke New York untuk menerima penghargaan tersebut.

Puluhan orang yang berasal dari Solidaritas Korban Pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan, termasuk jemaat dari GKI Yasmin dan HKBP Filadelpia, aktivis Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan Forum Rohaniawan se-Jabotabek menggelar aksi di depan Kedutaan Besar AS, Jakarta untuk menolak penghargaan ini.

Pendeta Palti Pandjaitan dari Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelpia kepada SH, Rabu (8/5), menilai jumlah kasus intoleransi di Indonesia meningkat tajam sejak SBY menjabat sebagai presiden pada 2004. Ia mengatakan, banyak kasus yang bisa dijadikan contoh terkait hal tersebut.

HKBP adalah gereja Kristen yang memiliki jemaat terbesar di Indonesia. Banyak Gereja HKBP disegel dan jemaatnya mengalami teror, salah satunya Gereja HKBP Filadelpia di Tambun, Bekasi, Jawa Barat.

Palti mengatakan, tidak hanya jemaat gereja yang ia pimpin merasakan terror, tetapi ratusan gereja ditutup dan jemaat Kristen di seluruh Indonesia terus-menerus mengalami teror. Umat Islam di Indonesia juga mengalami hal serupa, seperti jemaah Ahmadiyah dan Syiah.

Seperti diketahui, penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah terus terjadi di Indonesia tanpa bisa diantisipasi aparat keamanan. Hal sama terjadi pada komunitas Syiah di Madura yang hingga hari ini harus tinggal di lokasi penampungan dan menghadapi desakan pengusiran warga.

Di tengah situasi ini, rencana lembaga AS memberikan penghargaan "Negarawan" kepada Presiden Yudhoyono dinilai tak pantas. "Presiden tidak pantas menerima itu," ujar Palti.

Palti mengatakan, para pemuka lintas agama di Indonesia telah mengirimkan surat resmi kepada lembaga yang akan memberikan penghargaan kepada SBY dan Pemerintah Amerika Serikat. Surat tersebut berisi protes keras dari para pemuka lintas agama di Indonesia.

Menurut Palti, Presiden Yudhoyono baru layak menerima penghargaan yang berkaitan dengan toleransi setelah memberi tindakan nyata melindungi warga negaranya dalam menjalankan ibadah.

Tidak hanya itu, presiden layak menyandang status kepala negara yang negarawan setelah mencabut peraturan daerah yang diskriminatif dan tidak bertentangan dengan konstitusi. "Presiden tidak cukup hanya pidato di Istana. Dia harus bertindak melindungi kebebasan beragama. Kalau hanya kata-kata, saya juga bisa," ujarnya.

Secara terpisah, Bikku Jayamedho yang mewakili komunitas umat Buddha di Indonesia mengatakan, secara konseptual apa yang disampaikan Yudhoyono soal toleransi selama ini sudah cukup baik. Namun, pidato saja tidak cukup untuk melindungi kebebasan beragama di Indonesia.

"Banyak pidatonya yang toleran, tapi tindakannya tidak tegas. Seperti seorang pendeta, banyak khotbahnya bagus-bagus, tapi apakah seirama dengan perbuatan? (Yudhoyono) adalah seorang pengkhotbah yang bagus, tapi sebagai kepala negara tidak," ujar Jayamedho.

Hal senada dikatakan Sekretaris Eksekutif Bidang Diakonia Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Jeirry Sumampow. "Pemerintahan SBY justru memberi panggung terhadap kelompok-kelompok intoleran, yang melakukan kekerasan tidak ditindak tegas," ujar Jeirry.

Menurut Jeirry, sudah banyak laporan soal intoleransi beragama kepada presiden, tetapi tidak ada yang ditindaklanjuti, malah kekerasan dan intoleransi semakin meningkat. "Jika menerima penghargaan itu, SBY seharusnya malu kepada penganut Ahmadiyah, Syiah, jemaat GKI Yasmin, HKPB Philadelpia, HKBP Ciketing, dan HKBP Setu. Penghargaan itu adalah ironi," tukasnya.

Anggota Komisi III DPR, Eva Kusuma Sundari juga mengatakan Presiden Yudhoyono tidak pantas menerima penghargaan di bidang kebebasan beragama. "Kalau presiden mau menerima, itu haknya, tetapi secara legitimasi jelas bertentangan dengan realitas yang terjadi saat ini," ungkapnya.

Eva mengatakan, eskalasi intoleransi justru semakin meningkat. Presiden Yudhoyono tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan terkait kebebasan beragama. "Bagaimana dia (presiden) bisa menerima penghargaan itu, sementara setiap minggu jemaat GKI Yasmin beribadahnya di depan Istana," paparnya.

Eva menganggap penghargaan itu bernuansa politis. Ada agenda tertentu di balik pemberian penghargaan tersebut. Menurut Eva, Presiden SBY juga tidak tepat jika menyalahkan persoalan kebebasan beragama kepada pemerintah daerah karena urusan agama seharusnya berada di tangan pemerintah pusat.

Kekerasan Ahmadiyah

Terkait serangan terhadap komunitas Ahmadiyah di Tasikmalaya yang terjadi Minggu (5/5), Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan mengatakan, aksi kekerasan itu merupakan ekses dari indikasi masih aktifnya penyebaran Ahmadiyah di Jawa Barat. Padahal telah dikeluarkan larangan penyebaran Ahmadiyah lewat Peraturan Gubernur Jawa Barat No 12/2011.

Isi Pergub tersebut, menurut Heryawan, memperkuat SKB 3 Menteri maupun fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang pelarangan penyebaran ajaran Ahmadiyah. Namun, menurut Heryawan, Pergub sama sekali tidak mengatur tentang larangan beribah bagi Ahmadiyah. Sejauh tidak menyebarkan ajarannya, Ahmadiyah tidak bisa dilarang menjalankan ibadah.

Aturan dalam Pergub No 12/2011 itu sudah dianggap tegas. Oleh karenanya, Heryawan menilai belum perlu dilakukan perubahan aturan dari Pergub menjadi perda. Heryawan tetap meminta tidak menggunakan cara-cara kekerasan dalam meluruskan ajaran yang salah. "Kerukunan antarumat beragama di Jabar harus terus dijaga. Tidak boleh ada kekerasan," ungkapnya.

Kemarin, saat membuka sidang kabinet terbatas bidang ekonomi dan keamanan, Presiden Yudhoyono meminta agar konflik-konflik berbasis agama segera diselesaikan secara tuntas, guna memberikan rasa tentram dan kedamaian kepada masyarakat.

"Menyangkut konflik antarumat beragama ini, saya sebetulnya berharap semua pihak, utamanya jajaran pemerintah daerah di mana benturan atau kekerasan sosial itu terjadi, mengambil tanggung jawab penuh untuk mengatasinya, sampai tuntas. Tentu pemerintah pusat juga tidak bisa tinggal diam memberikan bantuan yang sama sampai tuntas," katanya.

Ia juga menegaskan, penyelesaian masalah tersebut tidak boleh sepotong-sepotong atau sekadar telah dilakukan pertemuan antarkedua pihak yang bertikai. Namun permsalahan dapat diselesaikan secara permanen.

Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono dalam konferensi pers seusai sidang kabinet terbatas mengatakan, sejauh ini mekanisme penyelesaian konflik berbasis agama terutama Ahmadiyah telah tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri Tahun 2008.

Pelaksanaan SKB tiga menteri tersebut perlu untuk didorong sebagai upaya dalam pencegahan konflik berbagai agama. "Seperti juga kasus Ahmadiyah di Tasik dan lain-lain, saya kira dengan berpedoman pada SKB dapat dilakukan pencegahan. Ini tugas pemerintah, tentu didukung seluruh komponen masyarakat, terutama pemda (pemerintah daerah)," katanya.(Ant/Vidi Batlolone/Didit Ernanto)

Sumber : Sinar Harapa
 

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
http://groups.yahoo.com/group/batavia-news
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup 
--------------
.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment