Sembilan Tahun, 290 Kepala Daerah Terjerat Korupsi
Efek Ongkos Politik Pilkada
PEMILIHAN kepala daerah secara langsung dipercaya sebagai salah satu penyumbang terbesar tingginya ko rupsi di Indonesia. Tingginya ongkos politik untuk pen calonan hingga kampanye membuat banyak kepala daerah terpilih merogoh kocek dalam-dalam jika ingin menang.
Efeknya, se telah terpilih, para kepala daerah itu merampas uang negara. Menurut data Kementerian Dalam Negeri (Ke mendagri), sejak tahun 2004 hingga Februari 2013, sudah ada 290 kepala daerah yang 'menjarah' uang rakyat.
Mereka adalah Gubernur 20 orang, Wakil Gubernur 7 orang, Bupati 156 orang, Wakil Bupati 46 orang, Walikota 41 orang dan Wa kil Walikota 20 orang. "Hingga Februari 2013 sudah 290 kepala daerah yang ter libat sebagai saksi, tersangka, terdakwa dan terpidana," terang Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi ke pada INDOPOS, beberapa waktu lalu.
Mendagri tidak menjelaskan lebih jauh apakah jumlah itu sudah termasuk Gubernur Riau Rusli Zainal yang ditetapkan KPK sebagai tersangka untuk kasus tindak pidana korupsi, Jumat (8/2). Yang jelas, 187 kepala daerah sudah ditetapkan sebagai tersangka, terdakwa dan terpidana dalam kasus korupsi.
Kenapa mereka sampai nekat melakukan perbuatan me lawan hukum, Kemendagri menengarai salah satunya karena proses Pemilukada langsung Di mana kepala daerah yang mencalonkan kembali membutuhkan dana kampanye yang besar.
Karena hal ini pula, Kemendagri mengusulkan agar pelaksanaan Pemilukada langsung ditingkat provinsi diganti dengan pemilihan tidak langsung atau perwakilan. Lagipula, kata Gamawan, kewenangan yang diberikan pemerintah pusat kepada Gubernur tidak sampai 25 persen. Karena kewenangan telah diserahkan ke Bupati dan Walikota.
"Dari total kewenangan yang diserahkan Gubenur itu tidak sampai 25 persen, padahal Gubernur itu wakil pemerintah pusat. Dengan argumentasi seperti itu kenapa harus mahal betul pemilihannya?," terangnya. Dan lagi, dalam UUD 1945 tidak pernah menyebut adanya pemilihan langsung bagi kepala daerah. Penyebutan lebih menekankan kepala daerah dipilih secara demokratis.
Pemilukada langsung muncul setelah adanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Dengan gencarnya empat pilar disosialisasikan ke masyarakat, Gamawan berpendapat adanya elaborasi nilai-nilai Pancasila dalam UUD 1945 dan UUD 1945 dielaborasi lagi dalam Undang- Undang. Diakuinya, demokrasi pemilihan kepala daerah baik melalui perwakilan ataupun langsung, dua-duanya sah dilakukan.
Hanya saja, menurutnya lebih dekat dengan jiwa demokrasi Pancasila jika dilakukan melalui perwakilan. Pengamat politik LIPI Wawan Ichwanuddin mengatakan, banyaknya kepala daerah yang terseret dalam pusaran korupsi karena besarnya biaya yang dikeluarkan oleh yang bersangkutan saat pesta demokrasi lima tahunan berlangsung.
Mereka mengeluarkan dana hingga miliaran untuk membiayai kampanye, konstituen dan kendaraan politik (parpol). Karena telah mengeluarkan dana besar itulah kemudian kepala daerah 'balasdendam' dengan berupaya mengembalikan uang yang dikeluarkannya. Caranya bermacam-macam, dari proses pembahasan anggaran di tingkat dewan, perijinan, penerimaan CPNS hingga proyek-proyek di masing-masing dinas.
"Publik sebenarnya sudah tahu karena hal ini bukan rahasia umum, contoh bagaimana saat penerimaan CPNS berlangsung di suatu daerah," tegasnya kepada INDOPOS kemarin. Partai politik, menurut Wawan juga mempunyai andil yang sangat besar. Karena sebagian besar parpol disebutnya tidak mempunyai sistem pengkaderan yang baik.
Terbukti manakala Pemilukada datang banyak parpol yang justru mengambil calonnya dari luar partai. Padahal, jika parpol melakukan kaderisasi dengan baik, setiap kali Pemilukada dipastikan akan mengusung kadernya sendiri.
"Hampir tidak ada partai politik yang melakukan kaderisasi dengan baik, mereka menjadi tidak pede manakala Pemilukada datang untuk mengusung kadernya sendiri," jelasnya. Tidak pede karena kader yang ada tidak memiliki aspek kapasitas dan kapabilitas yang memadai untuk diajukan, sehingga mau tidak mau mengambil calon luar partai.
Selain itu, Pemilukada langsung juga turut membawa dampak terseretnya kepala daerah dalam pusaran korupsi. Meski Wawan buru-buru menggarisbawahi bahwa hal itu bukan berarti demokrasi pemilihan langsung sebagai penyebab utamanya. Karena bagaimanapun pemilihan langsung adalah keinginan masyarakat, yakni bagaimana dasarnya adalah partisipasi publik dalam proses demokrasi.
Yang perlu diatur dalam rangka meminimalisir terjadinya korupsi di daerah, lanjutnya lagi, adalah belanja kampanye oleh calon kepala daerah. Komisi Pemilihan Umum dan Panitia Pengawas Pemilu dalam hal ini sebagai panglimanya. Sehingga tidak ada lagi calon melalui tim suksesnya melakukan pencitraan melebihi kemampuannya.
Seperti iklannya di berbagai media nasional, padahal skup pemilihannya kecil. Sementara dana yang dikeluarkan untuk satu media saja publik sudah mengetahui, akan tetapi tayang terusmenerus. Di samping itu juga keseriusan aparat penegak hukum dalam menjangkau setiap tindak pidana korupsi yang dilakukan di daerah.
"Ini bukan soal keberhasilan aparat penegak hukum, karena kalau mau lebih serius akan banyak kepala daerah yang diproses. Tinggal kemauan penegak hukum saja," sambung Wawan. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pemeriksaan kepala daerah yang tersangkut korupsi tanpa ijin Presiden, ia berharap aparat penegak hukum mau lebih serius memberantas korupsi.
Karena tidak ada lagi alasan kepolisian maupun kejaksaan dan KPK untuk lamban mengusut kasus korupsi di daerah. (tro)
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup
--------------
No comments:
Post a Comment