res: Tentu saja harus pilihan Istana, karena diperlukan menjaga keselamatan harta dan penghuni istana beserta konco-konco bin sahabat.
Kapolri Pilihan Istana
Tajuk Rencana | Selasa, 01 Oktober 2013 - 13:47 WIB: 86
(dok/ist)
Ilustrasi.
Banyak kasus korupsi di Polri mengendap dan kemudian terlupa.
Sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hari ini tampaknya akan memuluskan langkah Kabareskrim Komjen Sutarman menjadi Kapolri.
Menjadi calon tunggal sesuai usulan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ia memang masih harus menjalani tes uji kelayakan dan kepatutan. Namun hal itu lebih seperti proforma karena hingga kini tidak terdengar suara penolakan dari fraksi-fraksi.
Justru kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) masih mempertanyakan kelayakannya, terutama mengenai komitmen Sutarman pada pemberantasan korupsi.
Indonesia Police Watch (IPW), misalnya, mempersoalkan sikap DPR yang tidak kritis terhadap pencalonan Sutarman dan menilai para wakil rakyat itu tidak memainkan peran pengawasan secara efektif. Apalagi, pergantian Kapolri ini dilakukan menjelang pemilu legislatif dan pemilihan presiden sehingga sarat nuansa politik.
Sutarman oleh beberapa kalangan dinilai sebagai polisi yang baik, tegas, dan tidak terlalu memperkaya diri, meski tidak bisa juga dipandang sebagai polisi yang bersahaja. Secara profesional ia dinilai layak menggantikan Jenderal Timur Pradopo, meski akan pensiun 20 bulan lagi. Tentu tak banyak yang bisa ia perbuat kecuali menyukseskan misi pengamanan sepanjang pemilihan umum dan pilpres tahun depan.
Masuk akal bahwa penunjukan Sutarman sarat kepentingan politik, berkaitan dengan sejumlah isu panas seperti kekacauan daftar pemilih tetap yang berselisih 65 juta suara. Demikian pula mengenai penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap beberapa kasus besar, misalnya, skandal Bank Century, kasus Hambalang, dan daging impor. Kasus-kasus tersebut akan terus menjadi perhatian publik, antara lain karena ada dugaan keterlibatan orang-orang sekitar kekuasaan.
Dari sisi kemampuan dan ketegasannya, SBY memilih tokoh yang tepat. Sutarman dikenal sangat tegas, bahkan keras, terutama terhadap mereka yang dinilai polisi sebagai teroris. Mereka dinilai semata penjahat yang layak dibunuh. Di sini proses hukum dinomorduakan, sebaliknya aksi militer dikedepankan.
Sutarman mungkin tokoh yang bisa diterima semua kalangan Polri, berkaitan banyaknya kasus korupsi di instansi ini. Polri disorot publik sebagai lembaga pemerintah paling korup, selain DPR.
Banyak kasus korupsi di Polri mengendap dan kemudian terlupa. Kasus simulator SIM merupakan kekecualian, tapi pemeriksaannya sempat menimbulkan ketegangan tinggi antara KPK dan Polri. Di sini posisi Sutarman dipertanyakan karena ia dinilai melangkah terlalu jauh ketika banyak anak buahnya "mengepung" kantor KPK beberapa waktu lalu.
Sutarman tentu bukan seorang reformis dan kepemimpinannya nanti tidak akan banyak mengubah kondisi Polri. Kasus-kasus lama, termasuk "rekening gendut" akan aman-aman saja. Maka tidak banyak yang bisa kita harapkan dari Kapolri baru itu. Apalagi Sutarman itu berlatar belakang ajudan yang sangat mungkin akan mendahulukan kesetiaannya kepada siapa pun yang menunjuknya.
Harapan kita kepadanya harus dibatasi. Namun setidaknya kita bisa meminta Polri lebih profesional dalam menjaga keamanan dan ketertiban, memberantas peredaran narkoba, peredaran senjata api, premanisme, perdagangan manusia dan penyakit masyarakat lainnya.
Polri yang kita inginkan adalah institusi yang melayani dan berkemampuan melindungi warga. Polri memang harus memperbesar anggaran untuk membiayai unit-unit terkecil yang berada di tengah masyarakat karena tugas mereka melakukan pelayanan dan pembinaan langsung kepada warga. Aparat harus hadir di setiap desa, bahkan tingkat kampung, tak ada bedanya dengan guru dan para petugas penyuluhan yang juga hadir di sana.
Polri harus mengubah paradigmanya. Polri tidak boleh menjaga jarak, tapi harus hidup di tengah rakyat dan menyelami kehidupan mereka. Maka sosok Polri harus makin "sipil", tidak angker dan mengedepankan kekerasan yang sangat menakutkan.
Dalam penanganan kasus terorisme, misalnya, bila aparat terbiasa dekat dengan warga maka akan lebih mudah mendeteksi keberadaan tersangka, meringkus mereka, bahkan bersama-sama warga sekitar. Pendekatan bergaya militer sangat tidak cocok, selain menimbulkan antipati masyarakat terhadap Polri, ekses negatifnya juga sangat besar.
Sumber : Sinar Harapa
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
http://groups.yahoo.com/group/batavia-news
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup
--------------
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup
--------------
.
__,_._,___
No comments:
Post a Comment