Pengaruh Ibu Negara

dok / Rumgapres

TINJAU PERHIASAN - Ibu Negara Ani Yudhoyono meninjau perhiasan di gerai pameran Mutumanikam Nusantara Indonesia 2012 di Balai Kartini, Jakarta, Rabu (13/11) lalu.

Ada yang menjadi penasihat kunci suami, namun ada pula yang kemaruk uang dan jabatan.

Pepatah mengatakan, di belakang lelaki sukses, pasti ada perempuan hebat. Demikian pula di belakang presiden sukses, ada ibu negara hebat. Sejarah membuktikan, banyak presiden mencapai kesuksesan dan menuai pujian berkat pengaruh istrinya, namun ada pula yang dikecam akibat ulah istrinya.

Tiga hari belakangan ini, media massa ramai memberitakan bocoran WikiLeaks yang dimuat harian The Australian yang mengungkap penyadapan terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan istrinya, Ani.

Kabel diplomatik "rahasia" yang dikirimkan dari Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Jakarta kepada diplomat AS di Canberra, Australia dan CIA itu menyebut ada pemain yang menjadi penasihat penting bagi SBY, yang tak lain adalah istrinya sendiri. Tak tanggung-tanggung, Ani bahkan disebut mengorbankan penasihat kunci suaminya.

"Ibu negara (Ani Yudhoyono) diduga telah memanfaatkan akses kepada presiden untuk membantu teman-temannya dan menjatuhkan lawannya, termasuk Wakil Presiden (Jusuf) Kalla," tulis kabel tersebut, Minggu (15/12), seperti dikutip dari The Australian.

Sumber di WikiLeaks juga menyebutkan Ani adalah satu-satunya orang yang mendapat kepercayaan penuh dari presiden dalam menghadapi setiap isu, terutama ketika menuju paruh kedua masa jabatannya. Hal ini sampai membuat Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, yang selama ini menjadi penasihat presiden, frustrasi bahkan hampir saja mengundurkan diri.

Ani juga disebut berambisi menjadikan dirinya calon presiden 2014 demi memuluskan putra sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono, menjadi calon presiden 2019.

WikiLeaks juga mengungkapkan kedekatan Ani dengan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie (Ical). Ini dilakukan setelah Ical di-reshuffle dari jabatannya sebagai Menko Bidang Perekonomian tahun 2005. Kedekatan Ical dengan ibu negara ini sempat membuat hubungan antara Jusuf Kalla (JK) dengan Ani berada di ujung tanduk. Saat itu, JK ingin kembali berpasangan dengan SBY pada 2009.

Hingga kini, belum ada yang bisa memastikan kebenaran bocoran WikiLeaks ini. Hal yang jelas, pihak Istana, Partai Demokrat, termasuk sejumlah politikus dari partai politik lainnya menyangsikan kesahihan berita ini.

Menolak Poligami

Bicara soal ibu negara berpengaruh, istri presiden kedua Republik Indonesia, Ibu Tien Soeharto, juga santer terdengar sangat memengaruhi suaminya. Salah satunya menjadi otak di balik terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No 10 Tahun 1983 yang melarang pegawai negeri sipil (PNS) berpoligami karena ia tidak ingin dimadu.

Kekhawatiran Ibu Tien ini terungkap dalam buku Pak Harto: The Untold Stories, ketika mantan ajudan Soeharto, Brigjen TNI (Purn) Eddie Marjuki Nalapraya, mengungkapkan kisah saat akan pergi memancing bersama Soeharto di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat.

Saat itu, mereka sudah berada di dalam mobil dan Ibu Tien sambil tersenyum jenaka tiba-tiba mengetuk kaca mobil. "Jangan memancing ikan yang rambutnya panjang, ya!" kenang Eddie. Mendengar pesan istrinya, Soeharto ikut tersenyum.

Seakan membantah pembuatan PP No 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS ini akibat "dipaksa" istrinya, Soeharto berusaha menjelaskan latar belakang penerbitan PP itu lewat bukunya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.

Dikatakan mantan penguasa Orde Baru itu, kemenangan gerakan perempuan di Indonesia adalah dengan diundangkannya Undang-Undang (UU) No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang ingin meningkatkan harkat dan martabat perempuan. UU Perkawinan itu lalu dilengkapi dengan PP No 10 Tahun 1983 bagi PNS yang menjadi penangkal kawin cerai.

"Terhadap mereka yang memberi contoh tidak baik, kita harus mengambil tindakan. Tidak mungkin seorang pemimpin yang melakukan hal-hal yang tidak baik kita diamkan saja. Kalau kita biarkan saja, pengaruhnya pun dengan sendirinya tidak akan baik," tutur Soeharto.

Penyelamat Suami

Ibu negara lain yang dikabarkan memiliki pengaruh kuat terhadap suaminya adalah Hillary Clinton. Hal ini terungkap dalam buku For Love of Politics yang ditulis Sally Bedell Smith. Hillary disebut sering menolak masukan-masukan penting, seperti bahasa yang dipakai dalam pidato presiden.

Dalam satu insiden, setelah Presiden Bill Clinton terlihat goyah pada komitmennya terkait proposal perawatan kesehatan universal yang diusulkan istrinya di sebuah acara di Boston tahun 1994, Hillary yang sangat peduli pada isu-isu kesehatan dan kesejahteraan, melampiaskan kemarahannya di Gedung Putih.

"Dia (Hillary) mengangkat telepon," tulis Smith, "dan mengatakan pada operator, 'Sambungkan saya pada Presiden.' Beberapa saat kemudian, Bill tersambung di ujung telepon. 'Apa (sumpah serapah) yang kamu lakukan di sana?' teriak Hillary. 'Saya ingin bertemu denganmu segera setelah kamu pulang.'

"Beberapa jam kemudian," tulis buku itu, "Bill tiba dengan naik helikopter dan berjalan menuju Ruang Resepsi Diplomatik, di mana seorang ajudan telah menunggu untuk mengawalnya ke lantai atas."

Smith juga menulis, mantan Menteri Kesehatan dan Layanan Masyarakat Donna Shalala mengatakan bahwa Hillary memaksa suaminya menandatangani reformasi UU Kesejahteraan pada 1996 – setelah memveto dua RUU sebelumnya.

Hillary tampil menjadi penyelamat suaminya ketika beredar rumor dan tuduhan bahwa Bill berselingkuh. Pada 1992, Hillary membela Bill sekaligus mempertahankan pernikahan mereka dalam wawancaranya di acara 60 Minutes yang dinilai menyelamatkan suaminya yang tengah mengikuti kampanye pemilihan presiden, setelah ramai dikabarkan berselingkuh dengan Gennifer Flowers.

Pada 1995, ketika skandal perselingkuhan Bill dengan seorang karyawan magang di Gedung Putih Monica Lewinsky terkuak, Hillary berhasil mendapatkan simpati masyarakat berkat responsnya yang kuat dan bijaksana dalam menanggapi masalah ini.

Dia kembali menegaskan komitmennya untuk mempertahankan pernikahannya, dan popularitasnya meningkat secara signifikan, bahkan ketika suaminya diancam untuk dilengserkan.

Ibu Negara Korup

Ibu negara yang satu ini menjadi orang yang sangat dipercaya suaminya, tapi juga dikenal "korup" dan gila jabatan. Dia adalah Imelda Marcos, yang juga menjadi salah satu pemimpin paling berpengaruh di Filipina pada 1970-an dan awal 1980-an.

Setelah suaminya, Ferdinand Marcos, menjadi presiden Filipina tahun 1965, Imelda menduduki sejumlah posisi penting.

Mulai dari gubernur Metro Manila, duta besar keliling hingga menjadi anggota Majelis Nasional Interim Filipina, meskipun pemilihannya dinodai tuduhan terjadinya kecurangan suara besar-besaran. Melalui semua posisi itu, dia bisa mengalokasikan dana untuk proyek-proyek yang tak terhitung jumlahnya.

Pascaterbunuhnya tokoh oposisi Benigno Aquino, Agustus 1983, bersamaan dengan menurunnya kesehatan suaminya, Imelda menjadi juru bicara utama untuk pemerintah Filipina. Perannya yang menonjol ini membuat banyak analis berasumsi bahwa ia siap-siap menggantikan suaminya yang diktator jika satu saat nanti meninggal dunia atau mundur dari jabatannya.

Namun, Februari 1986, Marcos akhirnya berhasil digulingkan melalui Revolusi Rakyat yang dipimpin Cory Aquino, janda Benigno Aquino, yang kemudian menggantikan Marcos. Imelda dan suaminya beserta ratusan anggota keluarga dan teman-temannya lari ke Hawaii. Di Istana Malacanang, Imelda meninggalkan bukti bahwa ia seorang gila belanja, yang hobi mengoleksi perhiasan, pakaian termasuk ribuan pasang sepatu.

Imelda tinggal di pengasingan bersama suaminya di Hawaii hingga meninggal dunia tahun 1989 dan kembali ke negaranya tahun 1991. Setahun kemudian, Imelda mencalonkan diri sebagai presiden, namun gagal karena hanya mendapatkan 8 persen suara. Namun, November 1995, Imelda kembali ke panggung politik ketika terpilih sebagai anggota parlemen dengan suara terbanyak.

Tahun 2010, pengadilan antikorupsi Filipina memerintahkan Imelda mengembalikan uang sekitar US$ 230.000 ke kas negara. Uang itu adalah hasil korupsi saat suaminya masih menjabat presiden Filipina. Jumlah ini tidak sebanding dengan uang negara yang dikorupsi Marcos selama 21 tahun menjadi penguasa Filipina, yang diperkirakan mencapai US$ 11 miliar