Wednesday, May 28, 2014

[batavia-news] Negara Hadapi Risiko Likuiditas

 

 
 
res : Politik ekonomi dan keuangan gali lubang tutup lubang  meninggalkan beban berat bagi penguasa rezim baru, jadi barangkali tak keliru jika pertanyaan apakah mereka mampu mengatasi masalah ini atau menlanjutkan tradisi lama baru?
 
 

Negara Hadapi Risiko Likuiditas

Share

Kemampuan membayar utang pemerintah makin melemah lantaran terus mencari utang baru.

JAKARTA - Pencapaian lifting minyak hingga April 2014 masih berada di kisaran 804.000 barel per hari (bph), jauh di bawah target dalam APBN 2014 yang mengharapkan lifting minyak dapat mencapai 840.000 bph. Pemerintah bahkan mengajukan perubahan capaian target lifting minyak tersebut dalam APBN Perubahan 2014 di kisaran 818.000 bph.

Dalam keterangannya, anggota Komisi VII DPR, Rofi Munawar mengatakan, lifting minyak dan gas (migas) yang rendah telah menyebabkan defisit pada anggaran negara. Menurutnya, realisasi lifting yang tidak mencapai target telah menyebabkan APBNP 2014 mengalami penurunan cukup signifikan.

"Lifting yang rendah telah menyebabkan defisit pada anggaran negara. Di sisi lain, dalam APBN-P tekanan nilai tukar rupiah diprediksi naik mencapai 10,2 persen. Tentunya akan semakin memperburuk struktur anggaran karena importasi minyak masih akan cukup tinggi," kata Rofi, Selasa (27/5).

Ia mengungkapkan, realisasi lifting minyak periode Desember 2013 sampai Maret 2014 baru di kisaran 797.000 bph. Situasi itu, menurutnya, menunjukkan SKK Migas tidak mampu mengembangkan industri migas nasional.

Tudingan itu bukan tanpa alasan, sebab Rofi juga menyebut SKK Migas tidak pernah bisa mencapai target yang ditetapkan APBN. Bahkan, ia mengatakan, setiap tahun perolehan lifting migas menurun.

"Lifting minyak memang sudah lama menurun. SKK Migas telah berjanji akan mengompensasinya dengan kenaikan gas. Namun, hingga kini tidak kunjung ada hasilnya," ucapnya.

Bila terus mengandalkan sumur yang sudah ada, Rofi menilai akan sangat sulit untuk meningkatkan produksi. Karena itu, ia mengatakan, diperlukan suatu rencana strategis yang dapat mengurangi unplanned shutdown. Bila tidak, ia memprediksi, pada 2015 lifting minyak bisa berada di bawah 800.000 bph.

Selain lifting minyak, ia juga menyebut, lifting gas masih lebih rendah dibanding target yang telah ditetapkan. Menurutnya, target lifting gas ditetapkan sebesar 1.240.000 barel setara minyak per hari (bsmph). Namun, realisasinya hanya mencapai 1.224.000 ribu bsmph.

Padahal, bila target lifting minyak sebesar 870.000 bph dapat terpenuhi, penerimaan negara diperkirakan dapat mencapai US$ 30 miliar. Namun, bila lifting hanya mencapai 818.000 bph, penerimaan negara akan berkurang US$ 3 miliar.

Dengan begitu, terjadi defisit anggaran dalam APBN Perubahan sebesar 2,5 persen, yang diakibatkan penerimaan negara turun dari Rp 1.667,1 triliun menjadi Rp 1.597,7 triliun. Di sisi lain, belanja negara naik dari Rp 1.842,5 triliun menjadi Rp 1.849,4 triliun.

Salah satu yang membuat meningkatnya belanja negara adalah bertambahnya subsidi bahan bakar minyak (BBM) sebesar Rp 65 triliun, menjadi Rp 285 triliun. Pembengkakan ini lantaran deviasi kurs rupiah yang cukup besar, dari Rp 10.500 per dolar AS, menjadi Rp 11.700 per dolar AS.

Lebih Tinggi
Menteri ESDM, Jero Wacik mengatakan, sebelumnya Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) awalnya sempat mengajukan target lifting hingga akhir tahun ini hanya sebesar 804.000 bph. Namun, pemerintah meminta agar lifting minyak bisa dinaikkan menjadi 818.000 bph.

"Kami akan melakukan terobosan agar target lifting sebesar 818.000 bph bisa tercapai. Saat ini sedang proses, nanti kami panggil KKKS yang produksinya bisa naik 2.000-3.000 bph," ujarnya beberapa waktu lalu.

Risiko Likuiditas
Ekonom Iman Sugema mengatakan, negara saat ini menghadapi masalah likuiditas. Pasalnya, kemampuan membayar utang pemerintah makin melemah lantaran kian lama, negara harus terus mencari utang baru hanya untuk membayar bunga utang sebelumnya.

Iman menuturkan, defisit keseimbangan primer pada APBN belakangan, merupakan masalah yang serius. Ia menggambarkan, sejak 2012 sampai 2013 defisit primer dirancang dalam APBN-P terus membengkak.

"Dari Rp 52 triliun di 2012 menjadi Rp 89,8 triliun di 2013 dan akan diubah dalam APBNP 2014 menjadi Rp 115 triliun. Sebelumnya, kami nggak pernah alami defisit primer, baru 2012 sampai sekarang," ujarnya.

Untuk diketahui, keseimbangan primer adalah total penerimaan dikurangi belanja, tidak termasuk kewajiban pembayaran bunga utang (earning before interest). "Jika defisit untuk membayar bunga utang saja kita harus pinjam baru, jadi gali lubang tutup lubangnya bukan hanya bayar utang pokok, tetapi juga bunga utang," ujarnya.

Ia menggambarkan, jika hal ini terjadi di perusahaan, situasi seperti ini tak berkesinambungan dan tak layak diberi utang. "Karena cash flow-nya nggak bisa bayar bunga utang, apalagi utang pokoknya," ujarnya.

Ia menerangkan, dalam kasus negara memang konteksnya agak berbeda. Kondisi tersebut bukan berarti tak ada lembaga donor yang tak mau kasih pinjam. "Indonesia sedang menghadapi risiko likuiditas. Pemerintah kesuitan membayar bunga utang dan pokoknya. Memang ini bukan masalah negara bangkrut atau tidak, melainkan ada risiko likuiditas," ucapnya.

Misalnya saja, investor asing hengkang dan tak mau lagi membeli obligasi negara maka pemerintah akan kesulitan membayar bunga dan pokok utang. Kalau saja keseimbangan primer masih positif, ia melanjutkan, otomatis beban untuk bayar utang masih ringan karena pemerintah bisa mencicil bayar pokok plus bunganya.

"Likuiditas sejauh ini sangat mengandalkan hot money. Jika keluar, pemerintah sulit berutang kembali. Presiden mendatang itu harus market friendly, bukan yang bikin takut. Pemilik modal bisa hengkang," tuturnya.

Sementara itu, Bank Indonesia (BI) menilai, perekonomian nasional tahun ini akan sangat terpengaruh kebijakan subsidi energi yang diambil. Pemerintah perlu memperjelas kebijakan ini lantaran Indonesia masih memiliki risiko lain, termasuk dari luar negeri.

Asisten Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Muslimin Anwar dalam diskusi bertemakan "Menuju Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas dan Berkelanjutan" di Bandung, akhir pekan lalu mengatakan, faktor dalam negeri yang akan paling menjadikan risiko perekonomian nasional adalah anggaran beban subsidi BBM dalam APBN 2014.

"Beban anggaran subsidi dalam APBN masih menjadi risiko terbesar perekonomian nasional. Jika bisa ditekan, ini akan menjadi momentum untuk memaksimalkan porsi anggaran kita," kata Muslimin.

Masalahnya, tatkala anggaran subsidi BBM dalam APBN 2014 sudah cukup tinggi, pemerintah justru menambah anggaran belanja subsidi BBM pada Rencana APBN-P 2014. Jika sebelumnya dipatok di angka Rp 210,7 triliun, bertambah dalam APBNP menjadi Rp 285 triliun.

Pengamat ekonomi, Anton Hermanto Gunawan meyakini, saat ini sudah selayaknya pemerintah mencabut subsidi untuk BBM. Selain memberatkan anggaran, subsidi BBM menyebabkan diskriminasi harga yang mengakibatkan kebocoran.

Anton menyebut, murahnya harga BBM subsidi seperti premium dan solar di Indonesia, berpotensi akan kembali dijual keluar negeri dengan harga yang lebih mahal. "Kejelekan utama dari penerapan subsidi BBM itu membuat diskriminasi harga. Kalau kita tidak bisa memisahkan pasarnya, akan ada kebocoran. Kalaupun kita bisa memisahkan pasarnya, akhirnya orang beli yang murah kemudian dijual keluar negeri ataupun orang yang tadi seharusnya beli yang mahal," ucapnya.

Ia menegaskan, pengurangan subsidi BBM melalui price discrimanation (perbedaan harga) tidak akan berhasil sampai kapanpun. "Janganlah menerapkan price discrimination, sampai kapan pun tidak akan berhasil," ucapnya.

Justru price discrimination membuka disparitas harga semakin lebar sehingga ada yang memanfaatkan untuk mencari keuntungan. Melakukan pembatasan-pembatasan konsumsi BBM diyakininya pun tidak akan pernah berhasil.

Ia lebih setuju jika pengurangan subsidi BBM dengan menaikkan harga secara bertahap sehingga masyarakat nantinya terbiasa dengan kenaikan harga BBM da tidak kaget lagi.

Memang, ia mengakui, jika menaikkan harga BBM akan menimbulkan gejolak. Namun, gejolak tersebut dipastikannya hanya berlangsung selama dua bulan.

Untuk meredam gejolak tersebut, pemerintah, menurutnya, bisa menyiapkan program subsidi langsung untuk masyarakat yang benar-benar tidak mampu. "Jika dana subsidi BBM yang disalurkan ini tepat sasaran, defisit anggaran tidak melebar terus," tuturnya.

Sumber : Sinar Harapan

__._,_.___

Posted by: "Sunny" <ambon@tele2.se>
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
http://groups.yahoo.com/group/batavia-news
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup 
--------------

.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment