RES : Tidak semua orang (warganegara) NKRI boleh menjadi presiden NKRI, undang pemilu melarang mereka yang (dituduh atau) pernah menjadi anggota organisasi terlarang yaitu PKI. Belum lagi faktor lain seperti uang (kekayaan), etnik dan agama memainkan peranan penting untuk bisa dinominasi untuk dipilih..
Siapa Pun Boleh Jadi Presiden, Asal Senpi Tak Lagi Menyalak
Kesalahan masa lalu menerapkan operasi militer menyisakan trauma bagi warga.
BANDA ACEH - Konflik yang terjadi di Aceh dimulai pada 1976 hingga 2005 hanya menyisakan air mata dan derita. Perekonomian masyarakat juga hancur. Tata pemerintahan tidak berjalan baik, bahkan semua sendi kehidupan masyarakat tidak berjalan normal.
Saat pelaksanaan pemilihan legislatif (pileg) yang akan dilaksanakan pada 9 April 2014, kondisi Aceh kembali memanas, granat dan senjata api kembali mengeluarkan suara dan merenggut nyawa. Bom molotov juga membakar rumah, mobil, dan harta benda lainnya.
Menjelang pelaksanaan pemilihan presiden (pilpres) yang akan dilaksanakan pada 9 Juli 2014, masyarakat Aceh tidak berharap banyak. Mereka hanya ingin, siapa pun yang menjadi presiden, perdamaian di Aceh harus tetap berlanjut dan senjata api tidak lagi merenggut nyawa masyarakat. Ini yang mengemuka sebagai harapan masyarakat.
"Jika yang menjadi pemimpin negeri ini Jokowi-JK atau Prabowo-Hatta Rajasa, kami korban konflik tidak meminta banyak hal. Kami hanya ingin hidup damai dan dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga," tutur Zulkarnaini, Selasa (27/5).
Zulkarnaini yang berasal dari Kabupaten Aceh Timur mengaku, akibat konflik yang terjadi, banyak masyarakat yang tidak terlibat malah menjadi korban, baik itu korban nyawa maupun harta benda. Mereka juga tidak bisa bekerja dengan nyaman.
"Kami sangat berharap, apa pun konflik itu tidak pernah lagi terjadi di Aceh. Kami sudah sangat lelah dengan konflik. Saya harus meninggalkan kampung halaman hanya karena tidak bisa bekerja dengan nyaman di sana. Saya harus menafkahi keluarga. Siapa pun presiden harus menjaga agar Aceh tidak lagi terjadi perang," ujar Zulkarnaini.
Dari data yang berhasil dikumpulkan SH, konflik Aceh pada 1989-2005 dimulai saat pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh pada 1989-1998. Saat itu jumlah korban masyarakat Aceh mencapai 6.873 orang, kasus Simpang KKA 1999 korbannya mencapai 200 orang, kekerasan dalam Operasi Wibawa pada 1999 korbannya sekitar 73 orang.
Disusul pembantaian Tgk Bantaqiah dan santri pada 1999, korbannya mencapai 57 orang. Pembantaian di Idi Cut, Kabupaten Aceh Timur pada 1999 ada 28 korban, Operasi Rajawali pada 2001 membawa korban 1.216 orang. Pada masa Darurat Militer I dan II pada 2003-2004 jumlah korbannya mencapai 1.326 orang.
Seorang warga Aceh yang tinggal di pedalaman Aceh Utara, Husni Mubarak menyebutkan, siapa pun yang menjadi pemimpin Indonesia, tidak mengulang kesalahan masa lalu dengan menetapkan Aceh menjadi daerah operasi militer. Ayah dua anak tersebut mengaku, konflik bersenjata yang terjadi di Aceh merupakan masa-masa suram dalam hidupnya.
Pengalaman Dianiaya
"Saat konflik, saya hanya bekerja sebagai tukang ojek, di Aceh disebut RBT. Mengantar penumpang ke berbagai pelosok daerah menggunakan sepeda motor sangatlah berisiko. Sweeping atau razia oleh aparat keamanan, baik TNI maupun Brimob, hampir tiap hari dilakukan. Salah menjawab pertanyaan mereka, bogem mentah mendarat ke tubuh kita," ujar pria kelahiran 1975 tersebut.
Husni tinggal di Kecamatan Nisam, Kabupaten Aceh Utara. Daerah itu merupakan daerah yang sangat rawan saat konflik terjadi. Banyak rekan Husni sesama tukang ojek hingga saat ini tidak pulang ke rumah.
Salah satu yang membekas di ingatannya adalah 18 April 2000. Sekitar pukul 10.00 WIB, ia sedang mengantar seorang warga kampungnya yang ingin berangkat ke Banda Aceh. Warga tersebut memintanya mengantar hingga ke Terminal Bus di Ibu Kota Aceh Utara. Saat berpapasan dengan konvoi TNI, penumpangnya dianiaya lantaran tak bisa bahasa Indonesia dengan lancar dan dituding GAM.
Sebaliknya, Suryaman, seorang pegawai negeri sipil (PNS) di Kabupaten Aceh Timur, malah mengalami hal serupa dengan ihwal berbeda. Ia harus membayar pajak Nanggroe, hingga pernah disekap GAM karena dituduh mata-mata TNI. Bekerja sebagai guru, lalu mengelola 2 ha kebun karet warisan orang tuanya, telah membuat Suryaman bahagia hidup bersama keluarganya.
Terkait memanasnya situasi di Provinsi Aceh menjelang pemilu, banyak warga Aceh berharap semua pihak tidak memperkeruh suasana yang sudah damai. Harapan Suryaman tidak jauh berbeda dengan masyarakat Aceh lain, siapa pun yang terpilih menjadi presiden dan wakil presiden, konflik tidak lagi terjadi di Aceh sehingga kehidupan masyarakat yang mulai bangkit tidak lagi terpuruk.
Saat pelaksanaan pemilihan legislatif (pileg) yang akan dilaksanakan pada 9 April 2014, kondisi Aceh kembali memanas, granat dan senjata api kembali mengeluarkan suara dan merenggut nyawa. Bom molotov juga membakar rumah, mobil, dan harta benda lainnya.
Menjelang pelaksanaan pemilihan presiden (pilpres) yang akan dilaksanakan pada 9 Juli 2014, masyarakat Aceh tidak berharap banyak. Mereka hanya ingin, siapa pun yang menjadi presiden, perdamaian di Aceh harus tetap berlanjut dan senjata api tidak lagi merenggut nyawa masyarakat. Ini yang mengemuka sebagai harapan masyarakat.
"Jika yang menjadi pemimpin negeri ini Jokowi-JK atau Prabowo-Hatta Rajasa, kami korban konflik tidak meminta banyak hal. Kami hanya ingin hidup damai dan dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga," tutur Zulkarnaini, Selasa (27/5).
Zulkarnaini yang berasal dari Kabupaten Aceh Timur mengaku, akibat konflik yang terjadi, banyak masyarakat yang tidak terlibat malah menjadi korban, baik itu korban nyawa maupun harta benda. Mereka juga tidak bisa bekerja dengan nyaman.
"Kami sangat berharap, apa pun konflik itu tidak pernah lagi terjadi di Aceh. Kami sudah sangat lelah dengan konflik. Saya harus meninggalkan kampung halaman hanya karena tidak bisa bekerja dengan nyaman di sana. Saya harus menafkahi keluarga. Siapa pun presiden harus menjaga agar Aceh tidak lagi terjadi perang," ujar Zulkarnaini.
Dari data yang berhasil dikumpulkan SH, konflik Aceh pada 1989-2005 dimulai saat pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh pada 1989-1998. Saat itu jumlah korban masyarakat Aceh mencapai 6.873 orang, kasus Simpang KKA 1999 korbannya mencapai 200 orang, kekerasan dalam Operasi Wibawa pada 1999 korbannya sekitar 73 orang.
Disusul pembantaian Tgk Bantaqiah dan santri pada 1999, korbannya mencapai 57 orang. Pembantaian di Idi Cut, Kabupaten Aceh Timur pada 1999 ada 28 korban, Operasi Rajawali pada 2001 membawa korban 1.216 orang. Pada masa Darurat Militer I dan II pada 2003-2004 jumlah korbannya mencapai 1.326 orang.
Seorang warga Aceh yang tinggal di pedalaman Aceh Utara, Husni Mubarak menyebutkan, siapa pun yang menjadi pemimpin Indonesia, tidak mengulang kesalahan masa lalu dengan menetapkan Aceh menjadi daerah operasi militer. Ayah dua anak tersebut mengaku, konflik bersenjata yang terjadi di Aceh merupakan masa-masa suram dalam hidupnya.
Pengalaman Dianiaya
"Saat konflik, saya hanya bekerja sebagai tukang ojek, di Aceh disebut RBT. Mengantar penumpang ke berbagai pelosok daerah menggunakan sepeda motor sangatlah berisiko. Sweeping atau razia oleh aparat keamanan, baik TNI maupun Brimob, hampir tiap hari dilakukan. Salah menjawab pertanyaan mereka, bogem mentah mendarat ke tubuh kita," ujar pria kelahiran 1975 tersebut.
Husni tinggal di Kecamatan Nisam, Kabupaten Aceh Utara. Daerah itu merupakan daerah yang sangat rawan saat konflik terjadi. Banyak rekan Husni sesama tukang ojek hingga saat ini tidak pulang ke rumah.
Salah satu yang membekas di ingatannya adalah 18 April 2000. Sekitar pukul 10.00 WIB, ia sedang mengantar seorang warga kampungnya yang ingin berangkat ke Banda Aceh. Warga tersebut memintanya mengantar hingga ke Terminal Bus di Ibu Kota Aceh Utara. Saat berpapasan dengan konvoi TNI, penumpangnya dianiaya lantaran tak bisa bahasa Indonesia dengan lancar dan dituding GAM.
Sebaliknya, Suryaman, seorang pegawai negeri sipil (PNS) di Kabupaten Aceh Timur, malah mengalami hal serupa dengan ihwal berbeda. Ia harus membayar pajak Nanggroe, hingga pernah disekap GAM karena dituduh mata-mata TNI. Bekerja sebagai guru, lalu mengelola 2 ha kebun karet warisan orang tuanya, telah membuat Suryaman bahagia hidup bersama keluarganya.
Terkait memanasnya situasi di Provinsi Aceh menjelang pemilu, banyak warga Aceh berharap semua pihak tidak memperkeruh suasana yang sudah damai. Harapan Suryaman tidak jauh berbeda dengan masyarakat Aceh lain, siapa pun yang terpilih menjadi presiden dan wakil presiden, konflik tidak lagi terjadi di Aceh sehingga kehidupan masyarakat yang mulai bangkit tidak lagi terpuruk.
Sumber : Sinar Harapan
__._,_.___
Posted by: "Sunny" <ambon@tele2.se>
Reply via web post | • | Reply to sender | • | Reply to group | • | Start a New Topic | • | Messages in this topic (1) |
http://groups.yahoo.com/group/batavia-news
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup
--------------
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup
--------------
.
__,_._,___
No comments:
Post a Comment