Paguyuban Krida Mardawa sebagai salah satu lembaga
kesenian milik Keraton Yogyakarta kembali membuka kelas pelatihan tari
Yogyakarta klasik untuk umum mulai Ahad 3 Maret 2013.
Dalam pembukaan kelas tari hari pertama yang berpusat di Ndalem
Kastriyan itu hadir puluhan peserta. Seorang Pamucal Kakung (guru tari
putra) Krido Mardawa, Sardjiwo, kepada Tempo menuturkan kelas ini dibuka
kembali setelah sempat vakum selama 12 tahun.
"Dulu sempat hilang generasinya yang melatih, sibuk bekerja
sendiri-sendiri dan banyak yang meninggal. Akhirnya kelas berhenti,"
kata Sardjiwo yang juga Dosen Jurusan Tari Institut Senin Indonesia
Yogyakarta itu.
Ia mengatakan, pembukaan kelas ini, merupakan inisiatif keraton
khususnya setelah Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta disahkan.
Pimpinan Krida Mardawa yang juga Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Gusti
Bendoro Pangeran Hario Yudhaningrat meminta para unsur Krido Mardawa
yang berjumlah 20 orang mengumpulkan lagi bakat-bakat penari di
Yogyakarta.
"Keraton meminta wadah sebagai tempat pelatihan tari kembali
digunakan, karena selama ini menganggur. Toh sifatnya gratis," kata dia.
Wadah ini juga kembali hidup setelah para mantan murid seperti Sardjiwo
bersedia meluangkan waktu setiap minggu untuk melatih.
Pada hari pertama tersebut, setidaknya hadir 20 penari putra dan 50
penari putri. Mulai dari usia 10 tahun dan tertua 50 tahun. Tak
ketinggalan dua turis Jepang yang kebetulan sedang berwisata di keraton
melihat koleksi lukisan ikut serta dalam program tiap minggu itu.
Wakil Kepala Sekolah Pamulangan Hamung Bekso Wasiso (paguyuban
sekolah tari keraton) Winoto menambahkan setidaknya ada tiga tari klasik
gaya Yogyakarta yang akan diajarkan. Untuk putri yakni tari Sari
Tunggal, Srimpi dan Golek. Sedang putar adalah tari Tayungan, Beksan dan
Klonorojo.
Setelah lama vakum, para guru seperti tak kesulitan melatih para
siswa. Sebab para siswa sudah kebanyakan berlatih di luar. Para siswa
yang datang dengan pakaian peranakan itu didominasi siswa Sekolah
Menengah Kesenian Indonesia (SMKI) meski ada juga mahasiswa Universitas
Negeri Yogyakarta dan kalangan professional.
Di hari pertama para siswa pria dilatih tari yang merupakan dasar
gerakan yakni Tayungan. Sedangkan untuk putri langsung diminta berlatih
tari jadi Srimpi. Karena tempatnya sangat terbatas dengan diiringi
gamelan langsung, para siswa bergantian berlatih selama dua jam yang
dialokasikan dengan dibimbing langsung tujuh guru tari yang dibayar
sukarela.
"Ini pengabdian. Kami tidak dibayar pun tidak masalah, asalkan ada
ruang belajar lagi di keraton secara langsung," kata Sardjiwo. Berlatih
di keraton dan di luar dirasakan bedanya. Pelatihan yang dilakukan di
dalam keraton, membuat siswa sekaligus belajar tentang etika. Bahkan
dari jenis kain jarik yang digunakan pun diatur selain tata karma
sebelum memulai tari di lingkungan keraton.
"Untuk kain yang digunakan di dalam keraton, siswa tidak boleh
menggunakan motif parang ageng. Itu motif jarik resmi raja meskipun di
luar sudah banyak yang buat," kata dia.
Dengan hidupnya lagi pelatihan tari ini, nantinya akan menjadi ruang
bagi siswa untuk mendapatkan kesempatan untuk tampil dalam berbagai
kegiatan kerajaan.
No comments:
Post a Comment