res : Kalau mau berantas korupsi harus dengan sepenuh hati bukan cara neo-Mojopahit. Koruptor dipenjarakan paling tidak rendah 25 tahun tanpa grasi. Lima tahun si koruptor dikurang dalam isolasi selama 5 tahun tanpa boleh ada kunjungan atau hubangan apa pun dengan dunia luar (keluarga, ayah ibu dsb). Seluruh kekayaan, termasuk kekayaan istri,anak disita oleh negara. Koruptor dan keluarga dilarang melakukan usaha apa pun yang mendatangkan laba selama 30 tahun.
Menindak Penikmat Hasil Korupsi
Selasa, 18 Febuari 2014
HANYA tekad dan kemauan luar biasa dari seluruh anak bangsa, utamanya para penegak hukum, yang bisa memerangi kejahatan luar biasa bernama korupsi. Segala perangkat pun telah tersedia, tetapi penegak hukum masih separuh hati mengoptimalkan perangkat-perangkat itu.
Untuk memberangus korupsi, negara sudah menyediakan Undang-undang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi. Jika masih dipandang kurang, masih ada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang atau TPPU.
Faktanya, korupsi masih saja terjadi, bahkan semakin ganas menggerogoti setiap sisi kehidupan. Artinya, ada yang salah kenapa dua senjata yang disediakan negara itu majal, gagal membuat kapok koruptor dan calon koruptor.
Mustahil disangkal bahwa belum semua penegak hukum serius berperang melawan korupsi. Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi yang paling gigih memberantas korupsi pun sejatinya belum benar-benar total bertindak.
Kita memang patut mengapresiasi KPK yang tiada henti menindak para perampas duit rakyat. KPK pula yang paling gencar membidikkan Undang-Undang TPPU untuk menembak koruptor.
Namun, juga harus kita katakan KPK masih setengah hati menggunakan senjata ampuh itu. Dengan prinsip follow the money, Undang-Undang TPPU merupakan cara andal untuk mengusut aliran uang hasil korupsi dan kemudian mengembalikannya ke negara.
Sayangnya, KPK masih terpaku pada pelaku. Padahal, Undang-Undang TPPU jelas dan tegas menggariskan bahwa penerima atau yang menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga hasil korupsi juga wajib dipidana. Ancaman hukumannya maksimal 5 tahun penjara.
Akan tetapi, sekali lagi mesti kita katakan, senjata itu masih sekadar menjadi pajangan. Ia tak pernah dicabut dari sarungnya, apalagi ditarik pelatuknya.
Dalam banyak kasus TPPU, KPK belum pernah meÂnyentuh para penikmat hasil korupsi. Seabrek nama, mulai istri, anak, kerabat, hingga para pesohor yang mayoritas perempuan cantik jelas-jelas disebut menerima aliran dana hasil korupsi.
Tengok saja dalam kasus Irjen Djoko Susilo, Ahmad Fathanah, Luthfi Hasan Ishaaq, Akil Mochtar, dan teranyar Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan. Dalam perkara Wawan, tak kurang dari 12 artis diduga bersinggungan dengan hasil pencucian uang adik Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah itu.
Namun, sederet nama tersebut sekadar membuat kehebohÂan. Setelah kasusnya mereda, reda pula gaung nama-nama itu.
Secara konseptual, uang dan kekayaan ialah target sekaligus tujuan pelaku korupsi. Hasil kejahatan ialah darah yang menghidupi dan menjadi motivasi kenapa seseorang aktif melakukan korupsi.
Korupsi terus ada, juga karena ada pelaku pasif yang sayangnya hingga kini tak pernah ditelikung hukum. Dengan menindak penikmat hasil korupsi, kita bisa berharap muncul kesadaran pada semua orang akan bahaya laten korupsi.
Penindakan terhadap penikmat hasil korupsi bisa menjadi pengingat bagi setiap individu untuk tidak sembarangan menerima dana yang tidak wajar dari siapa pun, apa pun alasannya, apa pun niatnya. Dengan begitu, semangat antikorupsi akan tumbuh dan berbiak ke mana-mana.
Untuk memberangus korupsi, negara sudah menyediakan Undang-undang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi. Jika masih dipandang kurang, masih ada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang atau TPPU.
Faktanya, korupsi masih saja terjadi, bahkan semakin ganas menggerogoti setiap sisi kehidupan. Artinya, ada yang salah kenapa dua senjata yang disediakan negara itu majal, gagal membuat kapok koruptor dan calon koruptor.
Mustahil disangkal bahwa belum semua penegak hukum serius berperang melawan korupsi. Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi yang paling gigih memberantas korupsi pun sejatinya belum benar-benar total bertindak.
Kita memang patut mengapresiasi KPK yang tiada henti menindak para perampas duit rakyat. KPK pula yang paling gencar membidikkan Undang-Undang TPPU untuk menembak koruptor.
Namun, juga harus kita katakan KPK masih setengah hati menggunakan senjata ampuh itu. Dengan prinsip follow the money, Undang-Undang TPPU merupakan cara andal untuk mengusut aliran uang hasil korupsi dan kemudian mengembalikannya ke negara.
Sayangnya, KPK masih terpaku pada pelaku. Padahal, Undang-Undang TPPU jelas dan tegas menggariskan bahwa penerima atau yang menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga hasil korupsi juga wajib dipidana. Ancaman hukumannya maksimal 5 tahun penjara.
Akan tetapi, sekali lagi mesti kita katakan, senjata itu masih sekadar menjadi pajangan. Ia tak pernah dicabut dari sarungnya, apalagi ditarik pelatuknya.
Dalam banyak kasus TPPU, KPK belum pernah meÂnyentuh para penikmat hasil korupsi. Seabrek nama, mulai istri, anak, kerabat, hingga para pesohor yang mayoritas perempuan cantik jelas-jelas disebut menerima aliran dana hasil korupsi.
Tengok saja dalam kasus Irjen Djoko Susilo, Ahmad Fathanah, Luthfi Hasan Ishaaq, Akil Mochtar, dan teranyar Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan. Dalam perkara Wawan, tak kurang dari 12 artis diduga bersinggungan dengan hasil pencucian uang adik Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah itu.
Namun, sederet nama tersebut sekadar membuat kehebohÂan. Setelah kasusnya mereda, reda pula gaung nama-nama itu.
Secara konseptual, uang dan kekayaan ialah target sekaligus tujuan pelaku korupsi. Hasil kejahatan ialah darah yang menghidupi dan menjadi motivasi kenapa seseorang aktif melakukan korupsi.
Korupsi terus ada, juga karena ada pelaku pasif yang sayangnya hingga kini tak pernah ditelikung hukum. Dengan menindak penikmat hasil korupsi, kita bisa berharap muncul kesadaran pada semua orang akan bahaya laten korupsi.
Penindakan terhadap penikmat hasil korupsi bisa menjadi pengingat bagi setiap individu untuk tidak sembarangan menerima dana yang tidak wajar dari siapa pun, apa pun alasannya, apa pun niatnya. Dengan begitu, semangat antikorupsi akan tumbuh dan berbiak ke mana-mana.
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
http://groups.yahoo.com/group/batavia-news
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup
--------------
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup
--------------
.
__,_._,___
No comments:
Post a Comment