Oleh: Fuad Mahfud Azuz, Durian Patah, 6 Pebruari 2014
Guru Mangaji
Diskusi dalam peluncuran buku "Beta Agama Noaulu" karangan M. Azis Tunny menjadi sangat menarik. Bukan saja karena judul dan materi yang ditulis "sexy" untuk dibahas, tapi buku ini juga sekaligus menggelitik pikiran kita yang selama ini terpaku dengan apa yang kita lakoni sebagai orang-orang yang beragama "resmi" karena diakui pemerintah. Kata "agama" dalam judul sangat menggelitik. Pemahaman agama yang selama ini hanya dipahami dengan kriteria harus punya konsep Tuhan, Kitab Suci dan Nabi, ternyata oleh Azis juga dilekatkan ke Noaulu, Agama Noaulu.
Dalam peluncuran buku tersebut, para pakar hadir dan membedahnya, Prof. Dr. Abdul Khalik Latoconsina, Prof A Watloly, Manaf Tubaka, dosen IAIN Ambon dan Pdt. Elifas T Maspaitella, M.Si. Sementara hadir juga sejumlah doktor dan tokoh agama memboboti diskusi sore itu.
Dalam tulisan pertama saya ini, saya tidak akan membedah buku tersebut secara utuh, namun pada bagian tertentu ingin saya mendekati dari sisi saya sebagai seorang guru mangaji, yang berarti saya muslim. Dan itu sangat memungkinkan terjadi perbedaan cara berpikir dan tentunya menghasilkan output yang juga berbeda.
Satu kalimat yang sekarang popular, "Tuhan kita sama, kita sama menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Persoalan perbedaan nama panggilan pada Tuhan, adalah persoalan simbol". Kalimat tersebut bak gayung bersambut dalam diskusi kita saat itu. Dan bila ditelusuri diskusi semacam itu, juga menjamur di berbagai kalangan terpelajar. Sederhananya dengan mengatakan itu, bahwa kita sedang menyembah tuhan yang sama, Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini juga menjadi catatan ketika mendiskusikan masyarakat Naoulu yang menuhankan Upuku Anahatana, sebagai Kekuatan Yang Maha Gaib, Pencipta alam semesta.
Apa benar kita semua bermuara ke tuhan yang sama? Tentu masih harus diperdebatkan dengan pikiran dan hati yang jernih. Kalau kita bisa mengakui bahwa ada pluralisme agama, ada perbedaan dalam praktik penghayatan kita terhadap agama masing -masing, kenapa kita menyuarakan tuhan yang disebah itu sama. Mengakui pluralisme, tentu memberi peluang mengakui pluralnya tuhan yang disembah, bahwa Tuhan Yang Maha Esa disembah si "A" bisa saja bukan tuhan yang si "B" sembah dan seterusnya walau sama mengakui ke-Esa-an Tuhan.
BAPAK TEOLOGI
Bapak Teologi di tiga agama global adalah Nabi Ibrahim, atau Abraham. Ini diakui Yahudi, Kristen maupun Islam. Cerita bagaimana Nabi Ibrahim berpindah pemahaman dari mengakui bulan sebagai tuhan, kemudian berpindah ke matahari sebagai tuhan, dan terakhir ia mengakui bahwa Tuhan adalah pencipta bulan, matahari dan semua alam adalah tuhan yang sebenarya. Dari turunan Nabi Ibrahim-lah tiga agama besar tersebut lahir.
Dalam Al-Qur'an, cerita Nabi Ibrahim di sebut dalam Suarah Al-Anaam ayat 76-78. Bahkan ritual paling sakral dalam Islam yakni shalat, ada bacaan shalawat pada Rasulullah Muhammad dan keluarga disandarkan pada shalawat dan barakah yang telah diberikan pada Nabi Ibrahim dan keluarganya.
Cerita Nabi Ibrahim mencari tuhan, banyak memberi pelajaran. Nabi Ibrahim dilahirkan dan besar dalam masa kekuasaan Raja Namrud dari Kan'an. Pencarian Tuhan oleh Nabi Ibrahim dimulai dari keraguan melihat patung-patung yang disembah, yang dibuat sendiri oleh masyarakat termasuk ayahnya sendiri. Patung itu biasa menjadi dagangan Ibrahim kala remaja. Saat itu, masyarakat menganut paham banyak tuhan atau politeisme. Dewa Bulan atau Sin merupakan salah satu berhala yang paling popular. Di samping Dewa Bulan, ada juga menyembah bintang dan matahari.
Ibrahim juga mengalami proses pergumulan mencari tuhan yang berpindah-pindah. Awalnya, di malam gelap gulita, ia melihat sebuah bintang (bersinar-sinar), lalu ia berkata: "Inikah Tuhanku?" Kemudian ketika bintang itu lenyap karena sinarnya redup dan mengilang, logika Ibrahim berputar. Tuhan tidak redup. Proses pencarian kemudian beralih ke Bulan, yang juga kemudian redup cahayanya bersamaan dengan munculnya cahaya terang matahari. Ibrahin beralih lagi ke matahari sebagai tuhan. Namun matahari juga lenyap dengan rotasi bumi dan datangnya malam. Dan pergolakan pencarian tuhan ia tiba pada titik tertinggi, Tuhan tidak muncul dan tenggelam atau redup atau hilang. Tuhan adalah yang abadi.
ESA TAPI BEDA-BEDA
Logika yang terbangun oleh kisah Nabi Ibrahim di atas, bahwa ketika penyembahan sebagai tuhan itu kepada satu objek, semisal bulan, atau matahari, atau bintang yang paling terang dan paling besar, atau kepada sesuatu yang abstrak sekalipun baru menunju monoteisme. Tuhan Yang Esa.
Cerita Nabi Ibrahim, tidak berdiri sebagai cerita lepas. Bila proses pencarian sebagai satu permisalan paham atau komunitas tertentu, maka kita bisa sandarkan, bahwa bulan sebagai tuhan, mewakili satu komunitas penyembah tertentu. Penyembah matahari juga bisa menjadi komunitas tertentu. Nanti penyembah "satu tuhan lain", juga dimasukkan sebagai kelompok tersendiri. Pertanyaannya, apakah sama tuhan bulan, tuhan matahari, tuhan bintang, atau tuhan pohon "Yang Satu atau Esa" itu ? apakah yang mereka sembah adalah sama, padahal nyata objeknya beda
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup
--------------
No comments:
Post a Comment