Mengakhiri Tirani Politik Uang
MASA tenang selama tiga hari mulai kemarin hingga menjelang pencoblosan pada Pemilihan Umum 2014 pada 9 April, atau lusa, mestinya menjadi waktu yang penting bagi pemilih untuk meneliti calon yang kredibel berdasarkan gagasan, ide, dan visi.
Namun, dalam tiga perhelatan pemilu terakhir kita justru menyaksikan masa tenang menjadi periode yang paling genting. Itu disebabkan pada saat hari tenang, ruang-ruang demokrasi kita malah disesaki dengan negosiasi dan transaksi politik uang.
Itu pula yang amat mungkin terjadi pada masa tenang di Pemilu 2014 kali ini. Indikasi politik uang sudah tampak, bahkan kian terang-terangan, pada saat kampanye terbuka digelar tiga pekan lalu. Hasil pemantauan yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan sedikitnya terjadi 135 kasus kecurangan dan praktik politik uang pada dua pekan masa kampanye. Bahkan, pola politik uang yang dilakukan pun bergeser dengan tindakan yang disertai perjanjian menggunakan meterai, yang selama ini lazim dipakai untuk perjanjian yang berimplikasi hukum bagi yang mengkhianatinya.
Yang lebih mencengangkan lagi, tindakan kecuÂrangÂan tersebut lebih banyak dilakukan tim sukses dan aparat pemerintah. Dalam data ICW, 85% kecurangan dan politik uang dilakukan kandidat dari unÂsur yang sedang memerintah. Itu berarti partai politik dan kandidat masih menjadikan praktik politik uang dan penyalahgunaan fasilitas negara serta jabatan sebagai ‘jembatan’ untuk membangun keterpilihan mereka.
Temuan ICW tersebut diyakini hanya memotret sebagian kecil dari praktik politik transaksional yang sudah akut. Temuan itu, boleh jadi, barulah puncak gunung es yang amat mungkin memiliki ‘cabang-cabang’ di bawahnya yang tertimbun secara rapi.
Untuk melengkapi puncak gunung es politik uang di masa kampanye itu, bakal muncul politik uang saat subuh di hari pencoblosan yang lazim disebut serangan fajar. Begitulah, banjir uang yang mengalir ke dunia politik kita hari-hari ini telah membawa polusi pada demokrasi. Hampir segala nilai dalam politik dikonversikan dengan uang.
Hubungan politik pun akhirnya digantikan hubungan yang bersifat konsumtif. Politik akhirnya mengalami proses konsumerisasi dan privatisasi sembari meninggalkan nilai-nilai kebajikan sipil dan ideal kewargaan.
Akal sehat sebagai panduan untuk memilah dan memilih para elite berdasarkan integritas, gagasan, dan kompetensi pun dirusak beberapa lembar uang. Pada titik itu, hajatÂan demokrasi berupa pemilu yang telah menghabiskan triliunan rupiah uang negara menjadi nyaris tidak punya makna penting bagi tumbuh kembangnya demokrasi di negeri ini.
Karena itu, pengawas pemilu mestinya lebih aktif dan giat menangkap gejala tersebut. Politik uang yang terus terjadi dan menjadi lingkaran setan gagal diputus karena belum ada kisah sukses penegakan sanksi yang tegas dari pengawas pemilu. Kalaupun ada yang dikenai sanksi, jumlah dan kualitas hukumannya teramat kecil dan ringan.
Karena itu, jika kita ingin Pemilu 2014 menjadi momentum penting bagi bangsa ini untuk berubah, pengawasan dalam bentuk penindakan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Pengawasan yang berorientasi pencegahan sudah tidak efektif untuk membendung politik uang yang masif.
Negeri ini teramat mahal hanya untuk ‘digadaikan’ dengan lembaran uang yang terlihat mengenakkan dalam waktu sesaat, tetapi berakibat fatal untuk jangka panjang.
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup
--------------
No comments:
Post a Comment