Belajar Ilmu Santet, DPR Habiskan Dana Rp6,5 Miliar (?)
Timbul satu tandatanya besar di benak kita apakah sekarang ini memang sangat harus dilakukan revisi atas KUHP dan KUHAP? Kalau penulis tidak salah rancangan drap (RUU KUHP) sudah lama selesai dibuat pada zaman Prof. Yusril Ihza Mahendra yang ketika masa itu masih menjabat sebagai Mentri Hukum dan Ham. Lantas kenapa baru sekarang hal ini muncuul kepermukaan, apakah ada kaitan atau hubunganya denga tahun 2014? (untuk mencari citra) ataukah anggota dewan kita sudah mulai sadar akan tugasnya sebagai badan Legislasi? Hanya mereka-lah yang tahu.
Tiga Pasal Panas
Ada tiga pasal dalam RUU KUHP yang cukup menarik perhatian publik. Yaitu dimasukanya pasal mengenai santet, kumpul kebo, serta penyadapan. Mari kita coba bahas satu persoalan pasal panas ini. Yang pertama mengenai pasal santet yang menjadi persoalan pada santet ini ialah bagaimana cara merumuskan atau membuktikan santet sebagai satu tindak pidana? Sangat sulit untuk menyinkronkan mistik dengan logika, ilmu pengetahuan kita sekarang ini tidak mampu untuk mengungkap misteri santet. Mungkin yang dapat menjadi alat bukti dari santet ini hanyalah keterangan saksi ahli (Paranormal) selain itu dampak berlakunya dari pasal santet ini juga berakibat negatif bagi masyarakat kita.
Dengan alasan negara eropa lebih baik dalam pengaturan perbuatan santet. Anggota dewan kita seakan terlalu bernafsu untuk melakukan study banding ke eropa, seperti Anggota Komisi III DPR Dimyati Natakusumah ketika ditemui di Gedung Nusantara II DPR di Jakarta, Jumat (22/3), mengatakan, "Untuk revisi KUHAP dan KUHP, kami masih perlu melakukan studi komparatif guna mendapatkan masukan, melihat, dan mendengar secara langsung dari sumber hukum yang menganut Eropa Konstinental," kata Dimyati.
Dia menjelaskan, kunjungan kerja tersebut akan difokuskan pada penggalian informasi terkait dengan adanya pasal yang menyangkut tentang praktik santet. Menurut dia, praktik sihir semacam itu juga terjadi dan dibahas dalam undang-undang hukum di negara-negara Eropa sejak lama. "Jangan salah, santet itu bagian dari sihir. Sihir di zaman nabi sudah ada di negara luar. Ini perlu pengaturan-pengaturan. Sebenarnya, kami bisa mempelajari melalui internet, tapi kalau secara langsung kan lebih akuntabel," ujarnya. (voa-islam.com)
Penulis pribadi merasa sangat terheran dengan wancana anggota dewan kita untuk melakukan Study banding ke eropa demi mempelajari santet. Kalau Cuma ingin menambah ilmu mengenai santet, bukankah Indonesia adalah negri "Raja Mistik". bukankah tingkatan ilmu serta kualitas santet di Indonesia sungguh sangat jauh lebih tinggi tingkatanya dibandingakna dengan negara-negara eropa yang akan dikunjungi para anggota dewan kita?
Kemudian untuk masalah kumpul kebo (Zinah) memang benar pasal zina (284) yang berlaku sekarang ini tidak sesuai dengan norma bangsa indonesia. Pasalnya yang dikategorikan zina ialah orang yang sudah meikah yang melakukan hubungan suami-istri dengan orang lain yang bukan pasanganya. Jadi kalau ada laki atau perempuan yang belum menikah melakukan hubungan suami istri, tidak dikategorikan sebagai perbuatan zinah.
Menurut Guru besar hukum pidana Universitas Indonesia, Andi Hamzah, menyatakan sulit untuk memperkarakan kasus kumpul kebo. Hal itu dia sampaikan terkait Pasal 485 Rancangan yang mengatur tindakan kumpul kebo. "Kumpul kebo termasuk ke dalam delik aduan, bukan delik pidana," ujar Andi.
Dalam Pasal 485 Rancangan Undang-Undang KUHP disebutkan, setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami-istri di luar perkawinan yang sah dipidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 30 juta. Dia khawatir diberlakukannya pasal itu membuat sebagian masyarakat di Indonesia tidak setuju dan dikhawatirkan dapat memecah kesatuan NKRI. "Di Indonesia ada tiga daerah yang membolehkan kumpul kebo, yaitu Bali, Minahasa, dan Mentawai. Dikhawatirkan malah nanti mereka ingin pisah dari NKRI " kata Andi. (tempo.co)
Seharusnya dalam penerapan pasal zinah ini juga harus mempertimbangkan kearifan atau adat istihadat daerah setempat. Jadi pemberlakuan pasal zinah juga harus pandang buluh, dikhawatirkan pasal ini akan menjadi polemik bagi daerah atau wilayah yang memiliki adat istihadat yang demikian. Oleh karena itu hal ini juga harus dipertimbangkan dengan matang.
Kemudian mengenai pasal penyadapan yang bertenyangan dengan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melaksanakan tugasnya. DPR memang sering dikesankan ingin selalu menggembosi kewenangan KPK. Beberapa waktu lalu, Komisi III sempat menyarankan agar kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan harus dipangkas. KPK harus meminta izin dari Pengadilan Negeri sebelum melakukan penyadapan ke pihak-pihak tertentu. Penegasan ini menjawat kabar bahwa revisi KUHP merupakan salah satu upaya DPR untuk mengalihkan isu tentang upaya penghilangan kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK.
Perjalanan Rp 6,5 Miliar
Menurut hemat penulis, kunjungan kerja ke Belanda, Francis, Rusia, dan Inggris yang akan dilaksanakan pada 14 April 2013 untuk menggodok pasal santet hanyalah kedok belaka. Sebenarnya para anggota dewan kita hanya ingin jalan-jalan untuk menghabiskan uang negara saja. Bayangkan saja dari kunjungan kerja ini memakan dana sebesar Rp. 6,5 Miliar. Angka ini dihitung berdasarkan Peraturan Mentri Keuangan No 37/PMK. 02/2012 Tentang Standar Biaya Tahun 2013.
Dengan perincian untuk ke Prancis dengan asumsi 13 anggota dewan ditambah 2 orang staf dibutuhkan dana sebesar Rp. 1.673.226.000 Miliar. Untuk ke Rusia sebesr Rp. 1.595.043.000. ke Belanda Rp. 1.330.695.000 dan ke Inggris 1.907.154.000
Sungguh sangat besar anggaran yang dikeluarkan untuk membiayai perjalanan dinas yang tidak terlalu penting ini. banyak pihak yang mengencam dan menyayangkan mengenai perjalanan yang memakan dana cukup besar ini. Namun, Anggota Komisi III Fraksi Partai Demokrat Saan Mustopa menegaskan, studi banding ke luar negeri tersebut memang diperlukan, karena Indonesia masih perlu belajar dalam pembuatan undang-undang dari negara yang sudah mapan. "Ini lama sekali, perlu direvisi. Nah perlu juga pasokan dari negara yang sudah mapan," ujar Saan di Kompleks Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (22/3).
Saan yang mengaku tidak turut serta dalam kunjungan ke luar negeri itu, mengatakan, KUHAP yang ada saat ini merupakan peninggalan kolonial. Sehingga kunjungan itu tidak cukup jika sekadar 3 hari. "3 Hari enggak cukuplah. Kan bicara yang penting-penting aja. Kalau kelamaan dikritik, sedikit dipertanyakan," ujarnya (voa-islam.com)
Bgaimanapun juga revisi terhadap KUHP memang hal yang penting. Mengingat isi dari KUHP itu sendiri sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman terutama kebutuhan masyarakat indonesia. Bahkan di negara yang mewariskan (Belanda) KUHP kepada kita melalui asas Konkordasi sudah tidak menggunakan KUHP yang kita gunakan sekarang ini. Para ahli hukum di Belanda sudah jauh dari dulu merancang dan merumuskan KUHP untuk mereka gunakan. Lantas mengapa Indonesia masih betah untuk menggunakan harta warisan belanda yang telah usang ini?
Apkah para Profesor, ahli hukum, para praktisi hukum, serta sarjana hukum kita tidak mampu untuk membuat KUHP yang baru atau, kita masih senang dan merasa cocok dengan yang ada sekarang? Ya ini hanyalah secuil dari segudang persoalan hukum yang tak kunjung usai dinegara kita. Di sebuah negara yang bernama Indonesia, negara yang secara yuridis katanya negara Rechstaat, tapi kenyataannya lebih condrong kepada negara Machstaat. Dan untuk para anggota dewan, cepatlah kalian bertaubat sebelum terlambat.***
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum UMSU
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup
--------------
No comments:
Post a Comment