Thursday, May 23, 2013

[batavia-news] Fajar Itu Masih Merah

 

 
Fajar Itu Masih Merah
 
Nofanolo Zagoto | Kamis, 23 Mei 2013 - 14:08:21 WIB


(dok/ist)
Anak kedua Wiji Thukul melawan keadaan lewat musik.

Sesungguhnya suara itu tak bisa diredam

mulut bisa dibungkam

namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang

dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku

"Saya paling suka puisi ini. Keren!" Hanya itu yang dapat dikatakan Fajar Merah usai mengucap sebait puisi Sajak Suara yang paling diingatnya. Lidahnya tak sulit mengucap satu-dua baris puisi perlawanan karya bapaknya, Wiji Thukul, seolah ingin berkaca pada jalan hidupnya yang sesungguhnya juga berhias nyanyian bimbang, pertanyaan, dan perasaan yang campur aduk.

Tanggal 23 Desember tahun 2013 nanti, anak muda berperawakan kurus itu akan berusia 20 tahun. Tapi di usia yang kian bertambah ini, ia tetap punya satu pertanyaan pokok yang selalu menghantui benaknya, yakni tentang rasanya memiliki sosok ayah.

Fajar memang tak pernah dapat mengenal secara pribadi penyair dan aktivis yang diyakini banyak pihak hilang menjelang tragedi Mei 1998. Wiji Thukul adalah satu dari 13 korban penculikan yang tak pernah kembali sejak itu.

Tak pelak, hingga kini Fajar hanya mampu meraba-raba bagaimana sosok Thukul lewat cerita orang atau mencoba memahaminya lewat karya puisi yang diakuinya baru mulai dibacanya belakangan ini. "Saya senang karena tulisannya sangat alami. Tidak seperti penulis lain yang pakai kiasan. Gila juga ini orang," begitu kata Fajar coba menerangkan seperti apa perasaannya ketika membaca puisi-puisi bapaknya.

Fajar merupakan anak kedua dari Thukul, adik dari Fitri Nganthi Wani. Yang ia tahu dari cerita ibunya, Dyah Sujirah yang kerap disapa Mbak Sipon, ayahnya pergi ketika ia masih berumur empat tahun. Waktu itu, masih sedikit tersisa dalam ingatannya saat Thukul sempat memberikannya mainan mobil kayu. "Yang lainnya saya tidak ingat karena masih kecil," ungkapnya.

Tetapi walau harus tumbuh besar bersama kakak serta ibunya, bukan berarti bakat seni tak bergejolak dalam darah Fajar. Meminjam kata dalam puisi Thukul yang berjudul Bunga dan Tembok, lambat laun Fajar juga tumbuh bagaikan bunga liar mengasah bakatnya bermain musik.

Saking besar niat dia bermusik, Fajar nekat tak menamatkan sekolahnya di SMK Negeri 8 Surakarta. Ini agak berbeda dari ayahnya yang dulu, katanya, tak selesai karena persoalan biaya, di sekolah yang sama.

Saat itu, ia sempat mendapati kekecewaan ibunya karena keputusannya itu. Namun, Fajar beralasan tak cocok dengan sekolah formal. "Mending sekolah alam saja. Saya baru akan melanjutkan sekolah kalau ada sekolah khusus musik," jelasnya.

Bermusik

Memang, sudah lama Fajar mengisi kesehariannya dengan bermusik. Keinginannya berkarya lewat musik makin tebal setelah dipercaya menjaga studio musik yang sempat dilakoninya enam sampai tujuh bulan tahun lalu.

Untuk mewujudkan mimpinya, upah Rp 120.000 per minggu itulah yang sedikit demi sedikit disisihkannya untuk membeli gitar akustik seharga Rp 600.000. Ia juga membentuk grup musik bersama beberapa temannya. Sampai saat ini sudah empat lagu ciptaannya yang sudah ia direkam.

Fajar bercerita, dari beberapa lagu ciptaannya ada satu lagu tanpa lirik yang dibuatnya khusus untuk Mbak Sipon. Lagu ini tercipta berdasar perasaannya yang mendalam terhadap sosok ibu yang benar-benar selalu ada dan rela bekerja apa saja buat menghidupi keluarga. "Sekarang pun sudah mulai menjahit lagi setelah sempat berhenti tahun lalu karena harus dirawat," katanya.

Belum sebulan ini, ketertarikan Fajar terhadap puisi karya bapaknya juga telah mendorong dirinya membuat musikalisasi puisi dari Bunga dan Tembok. Lewat musik, Fajar juga ingin melawan. Sikapnya itu muncul karena ia melihat kondisi Indonesia yang diamatinya masih cacat. Fajar melihat terlalu banyak orang licik dan merugikan.

"Sebenarnya bukan karena bapak, tetapi lebih karena saya melihat banyak saudara-saudara yang dirugikan. Dengan musik saya melawan, walaupun tetap penuh warna temanya," ujar anak muda yang mengaku nyaman mendengar grup musik seperti Efek Rumah Kaca atau Dialog Dini Hari itu.

Sampai sekarang perasaan Fajar terhadap bapaknya terbilang campur aduk. Di satu sisi ia mengaku coba belajar tak terlalu berharap menunggu kepulangan bapaknya, walau sebetulnya ia juga merindukan sosok ayah. Bisa diibaratkan, Fajar itu masih merah. Di sisi lain, posisinya sebagai anak Wiji Thukul kadang juga membuatnya merasa tak nyaman. Ia risih karena selalu dihubungkan dan ditanyai tentang bapaknya.

"Misalkan, ketika main ke tempat orang. Kalau aku datang kepada mereka menunjukkan karya aku, mereka tidak peduli. Tapi begitu mereka bicara tentang bapak, mereka langsung semangat. Saya tidak pernah bisa jawab karena tidak tahu sama sekali tentang bapak," akunya.

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
http://groups.yahoo.com/group/batavia-news
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup 
--------------
.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment