(dok/antara)
Sudah 15 tahun reformasi berjalan, tetapi rakyat seperti tidak mendapat manfaat apa-apa. Padahal reformasi dimaksudkan agar ada perubahan mendasar dalam kehidupan politik dan ekonomi masyarakat.
Ironisnya, kehidupan politik yang lebih demokratis juga tidak sejalan dengan rasa nyaman beragama. Eskalasi kekerasan atas nama agama terus meningkat setelah masa reformasi. Dalam berbagai pertistiwa kekerasan karena fundamentalisme agama, negara justru seolah absen.
Kelompok-kelompok masyarakat tertentu begitu saja dengan mudah menyerang kelompok masyarakat lain yang tidak seagama, tidak sealiran atau sepaham. Warga Ahmadiyah dan syiah merupakan kelompok yang menjadi sasaran kekerasan. Di sejumlah daerah, rumah dan tempat ibadah mereka dihancurkan, sering kali juga diikuti pembunuhan.
Namun ironisnya, status mereka yang semula korban malah kerap dituding menjadi pelaku. Pada pertisitiwa pembunuhan, penyerangan rumah warga Ahmadiyah di Cikeusik Banten, misalnya, justru ada warga Ahmadiyah yang dijadikan tersangka.
Baru-baru ini Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengeluarkan pernyataan yang mencerminkan bahwa pemerintah tidak berdiri di atas semua golongan. Pemerintah gamang menerapkan konstitusi dan lebih takluk kepada tekanan kelompok garis keras dan intoleran.
Menanggapi kasus penyerangan tempat ibadah Ahmadiyah di Bandung beberapa waktu lalu, Heryawan justru mengatakan "Ahmadiyah hilang, masalah hilang." Menafikan kenyataan bahwa pembuat masalah bukan kelompok yang ingin menjalankan ibadahnya, tetapi kelompok-kelompok yang menggunakan kekerasan karena tidak tahan hidup berdampingan dalam kedamaian.
Aktivis kebebasan beragama Romo Beny Susetyo mengatakan reformasi justru menjadi anacaman dalam kebebasan beragama. Pemerintah yang seharusnya melindungi dan menjamin kebebasan sesuai Pasal 29 UUD 1945 malah gagal menjalankan perannya.
"Ketika hukum tidak jadi syarat demokrasi, yang terjadi justru tunduk terhadap premanisme," papar Beny. Hal ini menurut Benny tidak terlepas dari politik transaksional. Elite-elite politik dan perilaku seperti Orde Baru masih sama, hanya berganti baju saja. Politik centeng tetap berjalan. Dikuasai jawara-jawara lokal yang membuat lingkar kekerasan tidak pernah putus.
Pada masa refromasi juga kita mendengar kabar berbagai penutupan atau pelarangan aktivitas kelompok-kelompok yang tidak sepaham dengan aliran yang lebih mayoritas. Misalnya dalam kasus Lia Aminuddin alias Lia Eden. Pada 2005 sebagian masyarakat mengepung rumahnya. Majelis Ulama Indonesia mengganggap apa yang diajarkan Lia sebagai aliran sesat.
Kemudian secara menghebohkan sempat juga muncul ajaran "salat bilingual" atau salat yang menggunakan dua bahasa yang diajarkan Yusman Roy. Di Bogor ada perguruan Mahesa Kurung yang diserbu kelompok Gerakan Umat Islam Indonesia karena dianggap menyesatkan. Di Palu ada kelompok Madi yang pemimpin dan pengikutnya juga berkahir di jeruji.
Di Sampang Madura, kelompok Tajul Ali Murtahdo yang penganut Syiah, diserang puluhan orang yang membawa pentungan dan celurit. Rumah-rumah mereka dihancurkan. Peenyebabnya adalah karena perbedaan keyakinan karena sebagian besar warga sekitarnya adalah penganut Suni.
Penghargaan SBY
Dari berbagai kekerasan dan intoleransi yang muncul, malah muncul kabar yang mengherankan. Appeal of Concience Foundation sebuah lembaga di Amerika Serikat berencana memberikan penghargaan World Statesmen atas kerjanya dalam isu toleransi dan kebebasan beragama.
Hal ini kontan diprotres banyak pihak, terutama aktivis-aktivis yang selama ini bergelut dengan isu kebebasan beragama. Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari misalnya menilai penghargaan itu tidak menemukan legalitas dan rasionalisasinya ketika melihat kenyataan kasus-kasus intoleransi di Indonesia.
"Bagaimana SBY bisa menerima itu ketika GKI Yasmin dan HKBP Bekasi masih menjalankan ibadah di depan Istana Negara karena tidak bisa beribadah di gedung gerejanya sendiri," tuturnya.
Ketua Setara Institute Hendardi juga mempertanyakan pemberian penghargaan tersebut. Menurutnya, selama masa kepemimpinan SBY, praktik intoleransi jutsru meningkat. Menurutnya, tidak ada kemauan politik SBY untuk menyelesaikan masalah intoleransi ini.
Ini menurut Hendardi karena tidak ada penegakan hukum yang tegas dari pemerintah. Bahkan kadang intoleransi tersebut digunakan untuk kepentingan tertentu.
Menurut catatan Setara Institute, kekerasan yang terjadi antara penganut keyakinan selama 2007 saja ada 135 kasus, pada 2009 meningkat menjadi 200 kasus. Jumlah itu meningkat lagi menjadi 216 kasus di 2010. Pada 2011, kekerasan meningkat menjadi 244 kasus, dan 2012 mencapai 264 kasus.
"Kita khawatir penghargaan itu justru menjadi justifikasi bagi kelompok radikal dan intoleran untuk tetap memperahankan sikap mereka, dan digunakan SBY untuk menghindari tanggung jawab untuk menjalankan konstitusi," kata Hendardi.
Pimpinan Pusat Muhamadiyah Din Syamsudin mengatakan dalam sejumlah kasus, pemerintah terlihat lemah. Absen ketika ada pemaksaan kehendak, misalnya untuk membongkar dan menghancurkan rumah ibadah.
Menurutnya yang diperlukan pemerintah hanya keinginan baik (good will) untuk sungguh-sungguh menjalankan perannya. "Kalau ada keinginan pasti cepat selesai, pemerintah harus jalankan fungsinya menjaga tata tertib sosial," ujarnya.
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup
--------------
No comments:
Post a Comment