(dok/antara)
JAKARTA - Mundurnya dua rumah sakit swasta dari kemitraan Kartu Jakarta Sehat (KJS), dan kemungkinan akan disusul 14 RS lainnya, harus bisa dijadikan bahan evaluasi semua pihak, terutama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta selaku pelaksana program KJS dan pemerintah pusat, yang pada 1 Januari 2014 akan menjalankan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Pelayanan kesehatan gratis bagi warga tidak dapat dijalankan dengan model perhitungan "kira-kira".
Tanpa ada dasar pasti akan kebutuhan pengobatan kesehatan dan besaran anggaran yang disiapkan pemerintah, program tersebut akan amburadul.
"Saya khawatir, penetapan besaran anggaran yang diperuntukkan biaya pengobatan gratis bagi warga Jakarta tidak dilakukan dengan perhitungan yang semestinya. Karena hingga kini, Indonesia belum memiliki standar pelayanan medis, yang dapat dijadikan acuan perhitungan biaya medis," kata Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), dr Marius Widjajarta kepada SH, Rabu (22/5).
Seperti diketahui dua RS swasta, yakni RS Thamrin dan RS Adira, meminta mundur dari program kemitraan KJS. Empat belas RS lainnya diperkirakan juga akan mengajukan permintaan serupa.
Alasan mundur antara lain soal sistem pembayaran RS oleh Pemprov DKI melalui PT Askes yang jumlahnya tidak penuh sesuai klaim RS. Pihak RS mengaku rugi karena klaim tidak dibayar penuh. Alasan lainnya soal jumlah pasien yang membeludak sehingga pihak RS mengaku kewalahan.
Marius mengatakan, untuk mengetahui besaran biaya yang dibutuhkan oleh pasien yang akan berobat maka sebelumnya harus memiliki standar pelayanan medis. Setelah itu, baru dapat dibuat riwayat perjalanan penyakit atau clinical pathway.
Ketika itu semua ditentukan barulah semua pihak, seperti dokter, perawat, pihak farmasi, dan pemerintah duduk bersama untuk menentukan besaran biaya pengobatan yang dibutuhkan. Namun, yang terjadi saat ini, menurutnya, tidak menggunakan cara itu. Lebih berdasarkan perkiraan, yang dasar perhitungannya kurang tepat.
"Terlebih saat ini, PT Askes hanya bertugas sebagai verifikator dan penyedia basic manajemen. Operator merangkap regulator masih dilakukan Dinas Kesehatan. Itu tidak tepat," ungkapnya.
Selain itu, sistem pembayaran dengan menggunakan Indonesia Case Base Group (INA-CBG's) dinilainya terlalu dipaksakan. Ini karena sistem pembayaran itu ditetapkan pada 2009, awalnya hanya sebagai percontohan yang belum diketahui dengan pasti keefektifannya.
Ia mengaku tidak kaget dengan mundurnya RS swasta dari program KJS karena menanggung kerugian. Menurutnya, dengan penetapan anggaran yang menggunakan cara "kira-kira" itu, dan sistem pembayarannya membuat klaim rumah sakit jauh di bawah ketentuan tarif yang diberlakukan.
Rata-rata klaim untuk rawat inap hanya dipenuhi 59 persen, sementara untuk klaim rawat jalan diklaim 50 persen. Karena itu, dia menegaskan, Pemprov DKI Jakarta sebaiknya segera mungkin melakukan evaluasi atas program ini. Pemerintah pusat harus mematangkan Program SJSN agar hal serupa tidak terjadi di kemudian hari.
Hal serupa dikatakan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Dr Zaenal Abidin.
Menurutnya, pemerintah pusat bisa melihat apakah besaran Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang akan ditetapkan bagi BPJS nanti sudah tepat atau belum. Pasalnya, besaran premi yang ditetapkan Pemprov DKI Jakarta sebesar Rp 23.000 per orang saja banyak rumah sakit swasta yang mundur. Terlebih bila ditetapkan besaran PBI Rp 15.483.
"Saya khawatir, bila jadi ditetapkan Rp 15.483, hanya rumah sakit besar yang mampu. Rumah sakit swasta nasional yang modalnya kecil akan kesulitan," kata Zaenal.
Menurutnya, kecilnya premi untuk kelompok masyarakat miskin jelas tidak merefleksikan kemerataan dan keberadilan, yang menjadi roh kebangkitan nasional sekaligus belum merefleksikan tugas negara sebagai amanat UUD 1945. Karena itu, dia mengimbau Pemprov DKI Jakarta dan pihak rumah sakit untuk bertemu dan menyelesaikan masalah yang cukup rumit ini.
"Lebih baik Pemda DKI berbicara dan berdiskusi langsung dengan pihak rumah sakit karena rumah sakit di Jakarta ini tidak semuanya milik pemerintah. Dengan demikian, pemerintah harus lebih bijaksana dalam menentukan preminya," ucapnya.
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) menyebut ada tiga permasalahan utama dalam program KJS sehingga tidak terlaksana secara maksimal. Pertama, rumah sakit swasta yang masih berorientasi pada keuntungan.
Kedua, besaran premi Rp 23.000 per orang yang dianggapnya masih kurang dan tidak cukup untuk membiayai 4,7 juta jiwa penduduk di Ibu Kota. Ketiga, penerapan sistem INA CBG's yang mengatur tentang pemberian resep atau obat-obatan kepada pasien KJS.
Terkait premi kesehatan, Jokowi mengaku akan berpikir ulang untuk menaikkannya karena hal itu akan berpengaruh terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta.
"Untuk menaikkan premi ini, tentunya saya harus berpikir matang, kemudian berkoordinasi dengan dewan (DPRD DKI Jakarta). Kalau premi naik, berarti APBD juga harus ditambah, sedangkan saya tidak ingin sebentar-sebentar APBD naik. Tidak, saya tidak mau begitu," ungkap Jokowi, Selasa (21/5).
Posko Reaksi Cepat
Mengantisipasi permintaan mundur 16 RS swasta, Pemprov DKI dan Kementerian Kesehatan akan membentuk Posko Bersama Reaksi Cepat untuk pasien pengguna KJS. "Kami sepakat membentuk posko pengaduan cepat untuk pasien-pasien KJS. Posko ini dengan kerja sama Pemprov DKI, Kemenkes, dan Kesmik Centre," kata Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dien Emawati saat dihubungi, Selasa.
Posko Bersama Reaksi Cepat akan memanggil 14 rumah sakit yang sudah menyatakan mengundurkan diri dari program KJS secara lisan. Ke-14 rumah sakit tersebut akan diberikan keterangan dan menyampaikan keluhannya atau alasan mengundurkan diri.
"Tim terpadu dalam posko ini akan memanggil 14 RS yang sudah lisan menyatakan mengundurkan diri. Nanti kita akan briefing mereka, kendala apa yang dihadapi serta menampung keluhan mereka," ujarnya.
Dien juga menyebutkan, Kemenkes akan mengubah angka dalam INA CBG's untuk program KJS. Perubahan angka tersebut, kata Dien, dapat dilihat akhir Mei 2013. "Perubahan nilai angka INA CBG's akan ditentukan oleh Kemenkes. Saya tidak mau berandai-andai mengenai perubahan angkanya. Jadi tunggu saja akhir bulan ini," ia menambahkan.
Dalam kesempatan terpisah, Ketua Komisi IX DPR Ribka Tjiptaning mengatakan Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat kematian nomor lima di Asia. Salah satu penyebabnya adalah penolakan rakyat miskin oleh rumah sakit.
"Jadi, kematian itu bukan hanya karena rokok saja, rokok salah satunya benar mengakibatkan kanker paru. Tapi yang menyebabkan kematian itu karena penolakan rumah sakit. Orang datang, ditanya duit. Kalau tidak ada, dipermainkan," ungkapnya. (Yuliana Lantipo/Ant)
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup
--------------
No comments:
Post a Comment