Wednesday, April 10, 2013

[batavia-news] Hendardi: Semua Orang Sama di Hadapan Hukum + Semua Sama di Muka Hukum, Kecuali Anak Hatta

 

Ref: Semua warga bisa saja sama dihadapan hukum di NKRI, tetapi keputusan pengadilan pengadilan bukan semata-mata tergantung pada perbuatan kriminal terhukum, melainkan didasakan pada kedudukan status terhukum, makin tinggi kedudukannya dalam masyarakat, makin tinggi kedudukannya dan/atau agamanya cocok serta etniknya  sesuai dengan hukum tidak tertulis maka makin ringan hukumannya atau bisa dibebaskan dari segala tuntutan hukum.
 
Sebaliknya makin rendah status terhukum dalam masyarakat dan/atau etniknya serta agamanya  dianggap tidak benar, maka hukuman yang ditimpalkan kepadanya dijamin jauh lebih berat. 
 
 
Hendardi: Semua Orang Sama di Hadapan Hukum
Penulis : Ilham Khoiri | Rabu, 10 April 2013 | 06:22 WIB
 

JAKARTA, KOMPAS.com — Sebelas anggota Kopassus tersangka penyerangan Lembaga Pemasyaratan Cebongan, Sleman, Yogyakarta, sebaiknya diadili di peradilan umum secara terbuka. Langkah itu penting karena mereka melakukan tindak pidana di luar dinas ketentaraan sekaligus agar proses hukum bisa diawasi publik. 

""
Mempertahankan pelaku tindak pidana umum diadili di peradilan militer dapat dianggap melanggar prinsip konstitusi.
-- Hendardi.""
 

"Semua orang sama kedudukannya di depan hukum, tanpa pengecualian. Mempertahankan pelaku tindak pidana umum diadili di peradilan militer dapat dianggap melanggar prinsip konstitusi," kata Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi, di Jakarta, Selasa.

Investigasi TNI AD, pekan lalu, menemukan, penyerangan yang menewaskan empat tahanan di Lembaga Pemsyarakatan (LP) Cebongan, Sleman, DI Yogyakarta, dilakukan oleh 11 anggota Grup 2 Kopassus Kandang Menjangan. Para tersangka selanjutnya direncanakan diproses hukum di pengadilan militer.

Menurut Hendardi, 11 anggota Kopassus tersangka penyerangan LP Cebongan semestinya diadili di peradilan umum. Proses hukum di peradilan militer dikhawatirkan akan sulit berjalan secara adil dan bertanggung jawab, bahkan sejak penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan. Kita bisa belajar pada Pengadilan Militer terhadap Tim Mawar dan kasus lain yang melibatkan TNI. 

"Alasan lain, dengan tetap memproses hukum kasus Cebongan di peradilan militer, kita juga kehilangan momentum untuk memperbaiki UU Peradilan Militer," katanya. 

Publik harus mendorong agar kasus ini diadili di peradilan umum. Jika perlu, ajukan uji materi (judicial review) atas kekhususan TNI pada Pasal 9 dan 10 UU Peradilan Militer. "Jika tetap di peradilan militer, tidak ada ruang bagi publik mendorong akuntabilitas peradilan ini, kecuali melakukan eksaminasi publik setelah putusan pengadilan. Selebihnya, publik hanya bisa menonton," kata Hendardi.

 

Editor :
Robert Adhi Ksp
 
++++
 
 
Semua Sama di Muka Hukum, Kecuali Anak Hatta
 
 
Ninuk Cucu Suwanti | Senin, 01 April 2013 - 15:34:41 WIB
 


(SH/Septiawan)
Terdakwa dalam kasus kecelakaan, Rasyid Rajasa, sedang mendengarkan pembacaan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Kamis (7/3).
Anak Hatta Rajasa praktis tidak pernah ditahan. Ini membedakannya dengan pengemudi lain.

Tepat sepekan lalu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur menyatakan Muhammad Rasyid Amrullah Rajasa bersalah dalam kasus kecelakaan di jalan tol Jagorawi pada 1 Januari 2013.

Hukuman bagi Rasyid yang telah menyebabkan dua orang meninggal dunia dan tiga lainnya terluka adalah vonis lima bulan penjara dengan masa percobaan enam bulan penjara.

Putusan itu berarti, tidak akan ada penahanan bagi anak Menteri Koordinator Perekonomian dan Ketua Partai Amanat Nasional (PAN) Hatta Rajasa apabila selama enam bulan tidak mengulangi perbuatan serupa.

Hasil putusan kasus Rasyid Rajasa tentu menuai kritik di kalangan pengamat hukum maupun masyarakat umum yang mengikuti kasus ini. Bagaimana mungkin, dua nyawa dan tiga orang yang terluka bisa dikatakan adil dengan hukuman vonis lima bulan penjara dengan masa percobaan enam bulan penjara.

Konstruksi hukum pada kasus Rasyid sejak awal penanganannya memang terbilang "istimewa" bila dibandingkan dengan kasus-kasus yang hampir serupa. Rasyid, pascakecelakaan maut di tol tidak pernah ditahan oleh pihak kepolisian, bahkan hingga kasusnya dilimpahkan ke Kejaksaan Agung.

Banyak alasan yang memperkuat anak menteri ini untuk tidak menjalani tahanan. Mulai dari alasan sikap Rasyid yang kooperatif hingga alasan Rasyid mengalami trauma dan harus menjalani terapi di RS Pertamina Pusat.

Keistimewaan yang melahirkan kejanggalan juga terletak pada proses penanganan perkara Rasyid Rajasa yang ekstra kilat. Itu karena hanya dalam waktu 11 hari, polisi melimpahkan berkasnya ke kejaksaan dan dalam waktu 1,5 bulan kasus ini sudah diproses di pengadilan.

Namun kecepatan itulah yang akhirnya membuat penanganan perkara Rasyid tidak sesuai dengan SOP dan menyebabkan BAP Rasyid Rajasa menjadi sangat lemah.

Bahkan begitu istimewanya, Jaksa Penuntut Umum seperti tidak berdaya menegakkan hukum pada anak besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu; termasuk hakim yang dalam posisi ini memutuskan hukuman beda tipis dengan tuntutan JPU.

Dengan demikian, kasus ini menunjukkan hukum benar-benar hanya tajam ke bawah dan tumpul untuk ke atas. Penegak hukum seperti tidak mengedepankan prinsip-prinsip equality before the law dalam penanganannya.

"Keputusan hakim sangat tidak berkeadilan dan mencederai rasa keadilan masyarakat. Sangat aneh, sepertinya ada kerja sama yang rapi antara polisi, jaksa, dan hakim untuk 'menyelamatkan' Rasyid dari hukuman penjara. Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial harus mengusut kasus aneh ini," tegas Neta S Pane.

Kasus Sama, Beda Perlakuan

Tentu masih ingat kejadian fenomenal kecelakaan lalu lintas di Tugu Tani yang dilakukan Afriani Susanti saat mengemudikan Xenia hitam. Sembilan pejalan kaki tertabrak mobil yang dikendarainya dan tewas. Afriani sempat mengalami depresi dan percobaan bunuh diri, namun digagalkan oleh polwan.

Tak hanya itu, Afriani ketika itu sempat menyatakan siap memberikan nyawanya kepada keluarga korban. Namun hukum tetap berproses, Afriani akhirnya di vonis 15 tahun hukuman penjara akibat perbuatannya yang menghilangkan sembilan nyawa.

Artinya, proses hukum terhadap Afriani berjalan sesuai dengan prosedur hukum dan ada sanksi hukuman yang meskipun belum menjadi adil bagi keluarga korban, tapi cukup tinggi untuk dijalani oleh Afriani.

Begitu juga, Andhika Pradipta yang menjadi sopir maut Nissan Grand Livina pada Kamis (27/12) dini hari di Jalan Ampera Raya, Ragunan, Jakarta Selatan, akan bernasib sama dengan Afriani Susanti. Kasus Nissan Grand Livina yang menewaskan dua orang terjadi karena Andhika menyerempet mobil Daihatsu Taruna.

Lantaran panik karena telah menyerempet mobil Daihatsu, Andhika melarikan diri dengan mengemudi kendaraannya dalam kecepatan tinggi.

Akibatnya, Andhika yang di bawah pengaruh minuman keras menabrak warung pecel lele dan membuat dua pembeli tewas serta lima lainnya terluka. Akan tetapi hingga kini, kasus Andhika Pradipta masih berjalan, meskipun lebih dulu terjadi ketimbang kasus Rasyid yang terjadi tepat di awal tahun ini.

Mungkin, letak keadilan hukum kasus Rasyid akan sulit diterima jika dibandingkan dengan kasus Afriani atau Andhika yang menewaskan orang lebih banyak dan di bawah pengaruh miras atau narkotik.

Namun sulit diterima oleh nalar akal sehat, ketika kasus Rasyid dibandingkan dengan seorang anak yang mencuri sandal milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap dan Briptu Simson Sipayung yang merupakan anggota Brimob Polda Sultenng pada Mei 2011.

Perbuatannya diancam hukuman 5 tahun penjara, ancaman hukuman yang sangat fantastis dengan perbuatannya, terlebih jika disandingkan dengan kasus Rasyid yang menewaskan dua nyawa.

Inilah hukum kita, hukum yang hanya menjadi tegak bagi orang-orang kecil dan menjadi lemah bagi yang berkuasa. Entah di mana moral penegak hukum yang ternyata kualitasnya tak lebih dari budak-budak kekuasaan.

Kasus ini membuktikan kalau hukum itu ibarat pisau yang tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Hukum begitu tajam untuk menghantam kaum yang tidak berdaya dan masyarakat kecil, tapi seolah tiada hukum ketika berkaitan dengan pemilik uang dan kuasa. Jika begitu, persamaan di muka hukum hanya omong kosong.

Anggota Komisi III Fraksi PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari menuturkan, ada konsekuensi hukum sebagai panglima. Dengan demikian, wajib bagi kita untuk menghormati putusan pengadilan bagaimanapun pahitnya bagi rasa keadilan.

"Masih terbuka peluang bagi kejaksaan untuk mengajukan kasasi jika tidak puas (saya ragu-red). Hanya saja ini akan memengaruhi culture of law di kemudian hari bahwa jaksa dan hakim akan merujuk putusan tersebut (termasuk pengacara). Bila menangani kasus yang sama bahwa kecerobohan yang mengakibatkan hilangnya nyawa hukumannya ringan. Di saat yang sama, putusan itu juga akan jadi bench mark untuk analisis kasus-kasus serupa yang sudah inkrach," ujar Eva Kusuma Sundari.

Sumber : Sinar Harapan
 
 

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
http://groups.yahoo.com/group/batavia-news
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup 
--------------
.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment